iTs mE a_Ry...

Jumat, 13 Maret 2009

Budhis Utami: Pendidikan Agama Jangan Menakut-nakuti

Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun.
Ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang dalam memutuskan pilihan agama. Juga saat ia berkeputusan untuk beralih agama. Faktor itu bisa ditemukan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar di mana ia tumbuh dan mendapat pendidikan keagamaan. Tidak kalah penting adalah faktor internal dalam di sanubari orang itu sendiri. Faktor internal dan eksternal kemudian menjelma sebuah keputusan. Dan saat keputusan keimanan dibuat, tentu ada pergulatan iman yang tidak ringan. Rabu (24/12/2008), Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mengorek pergulatan iman Budhis Utami, seorang aktivis perempuan, pegiat LSM Kapal Perempuan, Jakarta. Berikut wawancaranya:
JIL: Sebagai unit sosial terkecil, keluarga berperan signifikan dalam perjalanan kehidupan keagamaan seseorang. Seperti apakah latar belakang keagamaan keluarga anda semasa kecil?
Saya berasal dari Jember, Jawa Timur. Teman-teman pasti tahu Jember itu basis keagamaannya apa. Keluarga saya dan seluruh orang di kampung adalah Islam dan NU (Nahdlatul Ulama). Keluarga saya juga Islam, meski secara politis kakek punya afiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tapi bapak saya sangat NU meskipun masih memilih PDI waktu itu. Belakangan bapak memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena faktor Gus Dur. Mati-hidup dia ikut Gus Dur. Ibu saya anggota Muslimat NU meskipun tidak terlalu aktif. Minimal ikut pengajian-pengajian. Kakek saya dari garis ibu berasal dari Madura. Beliau ini sangat displin mengajar saya mengaji.
Jadi saya cukup fasih membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas dan lainnya. Kakek juga sangat disiplin memberi pendidikan agama. Jadi kalau kakek datang ke rumah saya di Jember, tiap subuh dia nggedor-nggedor pintu kamar supaya bangun salat, meski setelah bangun pura-pura ke kamar mandi, lalu masuk kamar dan tidur lagi. Poin yang ingin saya sampaikan adalah: latar belakang Islam dan NU itu sangat kental dalam keluarga saya.
JIL: Bagaimana pula dengan latar belakang keagamaan lingkungan sosial anda?
Saya melihat lingkungan tempat saya tinggal itu sangat kuat keislamannya. Tempat saya tinggal itu dekat hutan. Banyak orang berburu babi hutan. Nah, kalau ada orang yang berburu babi, akan dibilang orang Kristen. Karena babi hutan dalam Islam haram hukumnya. Dari situlah saya melihat bahwa sebenarnya lingkungan tempat saya tinggal itu memang sangat kuat keislamannya.
JIL: Bagaimana dengan internalisasi nilai-nilai agama semenjak anda kecil?
Waktu kecil, bapak-ibu saya bercerai. Jadi saya ikut keluarga paman yang memeluk Islam, meski bukan dari jenis Islam yang taat. Paman saya punya enam anak, tujuh dengan saya. Di situ saya belajar mengaji. Keluarga paman sendiri lebih menekankan bagaimana orang harus berbuat baik. Dari situ saya berpikir, apakah ini yang disebut dengan Islam abangan? Tapi kenapa anak-anaknya juga disuruh mengaji, termasuk saya?! Tapi paman memang orang yang disiplin. Dia kepingin anak-anaknya, termasuk saya, mendapatkan pendidikan yang ketat. Maka dia menyekolahkan kami di sekolah Katolik.
Tapi di antara kami bertujuh, hanya tiga orang—saya dan dua kakak sepupu saya—yang kemudian memilih untuk masuk Katolik. Jadi kalau dalam keluarga, sayalah yang pertama kali masuk Katolik. Itupun melalui sebuah proses panjang dan tidak segera disetujui oleh gereja Katolik. Sebab kalau mau masuk Katolik, harus mengikuti pendidikan agama yang panjang dulu. Saya harus jadi katekisasi (orang yang menerima pengajaran mengenai prinsip-prinsip agama Kristen sebagai persiapan menuju pembaptisan) dulu selama satu tahun. Saya mengikutinya sampai tiga kali. Dari dua sebelumnya, saya masih belum berhasil dibaptis. Sebab ada peraturan, untuk bisa dibaptis, anak-anak harus mendapat persetujuan orangtua.
Tentu saja paman dan orang tua saya tidak setuju. Tapi saya tidak mau konfrontasi dengan mereka. Saya memutuskan untuk konsentrasi belajar saja. Sebab waktu SMA nilai saya jelek, karena mesti juga belajar semua agama; belajar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Saya benar-benar stres waktu SMA dulu mempelajari empat agama.
JIL: Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan yang demikian kuat Islam dan NU-nya, bagaimana reaksi yang muncul ketika anda memutuskan pindah dari Islam dan memilih Katolik?
Reaksi yang keras pertama kali datang dari Ibu. Karena ibu saya ini memang betul-betul mendapat didikan dari kakek. Kakek saya rajin mengajar ngaji di mushalla. Waktu itu ibu bilang begini: “Kalau kamu masuk Kristen, saya tidak akan membiayai kamu!” Padahal setelah bapak-ibu bercerai, satu-satunya harapan saya untuk bisa sekolah adalah ibu. Akhirnya saya nurut saja. Sementara paman saya—yang saya sebut abangan itu—bilang begini: “Kamu jangan masuk Kristen, tetap saja di Islam. Orang itu tidak penting agamanya. Yang penting adalah perbuatan baiknya.” Itulah yang membuat saya bisa berkrompomi waktu itu. Dalam hati sendiri saya bilang, “Iya ya, saya masih SMP. Ya sudahlah saya fokus belajar aja. Gereja toh juga tidak akan membaptis saya kalau tidak ada persetujuan orang tua.”
Beberapa tahun kemudian saya naik SMA. Sewaktu SMA tekanannya masih sama. Respon gereja masih sama, karena keluarga saya masih belum memberikan persetujuan. Bapak saya masih diam saja, tidak berkomentar. Nah, ketika sudah berusia 23 tahun dan sudah satu tahun setengah ikut pelajaran agama Katolik, gereja tak kunjung mau membaptis saya gara-gara di dalam surat pernyataan itu tidak ada tanda tangan orang tua. Akhirnya saya balik marah ke gereja. Saya bilang begini: “Saya kan sudah berusia 23 tahun. Saya bisa mengambil keputusan sendiri dong! Tidak perlu persetujuan orang tua. Saya tidak mungkin memaksa ibu saya. Dan kalau gereja tidak mau membaptis saya, biar Yesus saja yang membaptis saya!” Saya bilang demikian ke gereja.
JIL: Bagaimana pula relasi anda dengan keluarga setelah pembaptisan itu? Apakah ada kekhawatiran muncul gap atau jarak pemisah antara anda dan keluarga?
Ya, ada kekhawatiran seperti itu. Waktu saya dibaptis, pada akhirnya saya merasa ada sesuatu yang jauh antara saya dan keluarga. Saya sudah mencecap banyak hal tentang Katolik, sementara orang tua saya adalah orangtua di kampung yang tidak tahu-menahu soal-soal demikian. Jadi saya merasa ada semacam gap atau jarak. Tapi saya sudah berjanji pada ibu waktu itu: saya pindah agama biar saya baik; baik pada orang tua, hormat dan berbakti kepada orangtua, baik pada sesama. Menghormati orang, siapapun dia, apapun latar belakang agamanya, kelasnya, dan seterusnya. Itulah yang saya pegang, dan itulah yang saya yakini sebagai sesuatu yang universal dari agama.
Jadi spirit itu yang saya ambil. Dan saya pikir spirit itu ada dalam semua agama. Saya punya teman Islam, teman-teman Budha, Hindu, dan sering berdialog dengan mereka. Ternyata mereka punya spirit yang sama. Karenanya, ketika saya masuk Kristen dengan segala perubahan-perubahan yang ada pada diri saya, ibu kemudian tidak marah dan bisa menerima saya. Meskipun kadang-kadang ibu saya—dengan logat Maduranya yang membuat saya ketawa—sering bilang: “Kamu itu kafir, pengikutnya Fir’aun!” Tapi saya tidak tersinggung. Saya justru ketawa aja sambil menimpali balik: “Ibu, di mana-mana orang Kristen itu pengikutnya Isa, bukan pengikutnya Fir’aun.” Jadi, saya bawakan secara rileks saja. Mau dibilang kafir, mau dibilang apapun, saya cuma ketawa. Yang penting saya berusaha menjadi pribadi yang baik. Saya berusaha bertanggung jawab, tidak merepotkan orangtua. Itu inti yang saya pegang. Kemudian di luar itu, orang mengatakan segala macam, saya tidak marah, tidak tersinggung.
JIL: Apakah anda cukup yakin bahwa pihak keluarga tidak menyayangkan keputusan yang anda pilih dan merelakan anda sepenuhnya?
Waktu itu, buat ibu dan bapak, relatif sudah tidak ada masalah. Terutama bapak. Dia punya guru, seorang kiai, namanya Kiai Mahmud (almarhum), yang bisa dibilang kiai besar untuk ukuran kampung saya. Kiai itu bilang ke bapak saya: “Pak Bun (nama bapak saya), biarkan aja anakmu mau masuk Kristen, mau masuk Islam, mau masuk apa, yang penting dia sungguh-sungguh meyakini agamanya dan menjalankannya!” Itu yang membukakan hati bapak saya untuk kemudian membiarkan saya berpindah agama dan tidak pernah mempersoalkan lagi.
JIL: Taruhlah urusan dalam keluarga beres. Tapi kadang-kadang lingkungan menjadi tekanan bagi keluarga dan juga anda sendiri. Mungkin mereka menyebut anda mengkhianati keluarga dan sebagainya. Bagaimana respon lingkungan sekitar?
Dalam konteks keagamaan yang saya pahami dan saya jalankan, saya sama sekali tidak merasa mengkhianati orangtua saya. Bahkan dalam banyak hal, saya selalu dijadikan contoh bagi anak-anak bapak saya dari istri keduanya. Karena di dalam keluarga, saya tidak pernah membawa embel-embel agama. Tapi perbuatanlah bagi saya yang lebih penting; bagaimana saya membantu orangtua dan adik-adik saya agar bisa sekolah. Dan saya memperjuangkan itu semua tanpa syarat. Misalnya mereka harus berbuat baik pada saya, harus ada imbalan dan lain-lain. Tidak. Ketika orang harus membantu, ya bantulah. Ketika orang harus berempati, ya berempatilah. Dan saya yakin semua agama pasti mengajarkan demikian. Karena itu, lingkungan saya tidak pernah melihat saya sebagai Budhis yang Kristen, sebagai Budhis anaknya si A atau si B.
JIL: Di samping memutuskan untuk pindah agama yang menuai pro dan kontra di lingkup keluarga sendiri, anda juga memutuskan untuk melaksanakan nikah beda agama. Bagaimana respon keluarga dan teman-teman anda saat itu?
Waktu saya mau menikah dengan suami saya yang Islam, paman datang dan bilang: “Mbok ya kamu kembali lagi ke Islam. Toh suamimu juga Islam!” Saya bilang: “Ketika saya beragama Kristen, apa paman melihat ada perubahan dalam diri saya?” Dia bilang, tidak. “Ya sudah, clear kan!” saya bilang begitu. Lantas suami saya bilang ke paman: “Saya bisa menerima dia apa adanya kok!” Saya sendiri waktu itu diledek dan ditakut-takuti sama teman-teman. Tapi di dalam hati saya bilang begini: “Lho kalau saya tidak boleh menikah dengan dia karena beda agama, padahal saya mencintainya dan ingin hidup bersamanya, terus gimana?” Apakah saya dipaksa untuk jatuh cinta dengan orang lain yang sama agamanya? Kan tidak bisa. Ini kan soal perasaan.
JIL: Bagaimana anda tetap bisa melangsungkan pernikahan beda agama tersebut? Bukankah undang-undang perkawinan kita tidak membenarkan pernikahan beda agama?
Ya, awalnya ada semacam dilema dengan hukum negara kita. Tapi bagi saya yang penting, dalam Katolik pernikahan beda agama diperbolehkan. Jadi ada dispensasi untuk menikah berbeda agama. Tapi memang harus menikah di dalam gereja Katolik. Tapi, waktu itu memang ribet sekali, karena saya tinggal di Yogyakarta, KTP saya Jakarta. Kemudian saya akan menikah di Jember, dan saya dibaptisnya di Jember. Jadi memang harus mengurus surat baptis, pendaftaran, dan segala macam. Secara organisasi, Katolik itu memang sangat ketat. Nah, karena urusannya cukup ribet, akhirnya saya memilih menikah secara Islam. Saya sendiri tetap Katolik. Dan keluarga maupun suami saya mendukung tidak perlu ada yang berpindah agama dan tidak perlu ada yang harus mengubah keyakinan. Jalanin aja masing-masing.
JIL: Dalam pernikahan beda agama, pasti banyak sekali perbedaan-perbedaan yang harus ditanggulangi. Bagaimana anda mengatasi perbedaan-perbedaan pada level konsep keagamaan, misalnya?
Ketika memilih suami, saya berprinsip suami harus punya perspektif yang sama dengan saya. Harus sama-sama punya perspektif pluralis, bisa menerima orang yang berbeda keyakinan untuk hidup bersama. Kalau saya tidak bertemu dengan laki-laki seperti itu, ya saya tidak mau. Karena bagi saya, tidak boleh ada pemaksaan dalam sebuah relasi perkawinan, termasuk pemaksaan untuk berubah keyakinan. Jadi bagi saya tidak bisa hanya berdasarkan cinta, perasaan menggebu-gebu dan berbunga-bunga saja. Tapi juga harus ditimbang-timbang cocok-tidaknya dalam hal perspektif, konsep, dan visi ke depannya. Sebab kalau tidak punya perspektif, konsep atau visi yang sama, apa bisa kita bertahan terus dalam relasi demikian?
Nah, alhamdulillah suami saya punya perspektif yang sama dengan saya. Maka kami relatif tidak mengalami hambatan di level konsep keagamaan. Kami berdua tidak melihat dengan serius perbedaan keyakinan kegamaan kami berdua. Makanya, ketika suami saya sakit dan saya harus berdoa dengan cara Islam, dengan senang hati saya melakukannya. Waktu itu ada yang kasih tahu ke saya, kalau mau suami saya sembuh, saya harus me-wirid-kan al-Fatihah 21 kali, al-Ikhlas 16 kali, al-Falaq 16 kali, dan al-Nas 16 kali. Meski wirid surat itu saya baca dalam bahasa Indonesia, tapi saya yakin Tuhan pasti tahu maksud seluruh bacaan wirid saya.
Di samping baca wirid, saya juga melakukan doa novena (doa pribadi atau doa bersama selama sembilan hari berturut-turut yang dipanjatkan guna mendapatkan suatu rahmat khusus). Jadi doa saya bisa dibilang doa yang “hybrid”. Sampai pada akhirnya ketika suami saya sudah dalam kondisi kritis, saya berdoa pakai cara sendiri: “Tuhan, suami saya sudah kritis, tunjukkan cara yang terbaik, pilihkan yang terbaik untuk dia!” Saya tidak pakai lagi surat-surat Alquran, tidak lagi pakai doa novena, betul-betul berdoa dengan cara saya sendiri. Dan doa saya terjawab dua jam kemudian; suami saya meninggal dengan tenang sekali dan saya mendampinginya.
Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun. Termasuk dengan suami saya. Berantemnya ya persoalan pembagian pekerjaan dalam rumah tangga. Tidak pernah berantem masalah agama.
JIL: Kalau anda refleksikan ulang sekarang, faktor-faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi anda untuk menganut agama tertentu dan tidak yang lainnya?
Sebenarnya saya sendiri juga bertanya-tanya, seberapa jauh pendidikan enam tahun yang saya jalani di institusi Katolik mengkonstruksi iman saya? Padahal saya tidak pernah mengikuti pelajaran agama dengan sungguh-sungguh. Jadi kalau ada pelajaran agama Katolik, yang bukan Katolik itu keluar. Artinya saya juga tidak dimasuki oleh agama itu. Lantas saya juga bertanya-tanya tentang faktor lingkungan. Lingkungan saya Islam. Saya diajari Islam. Tapi kok saya tidak tetap di Islam dan malah pindah ke Kristen?
Dulu ketika saya belum mengenal Islam dan ketika sudah mempelajarinya, saya berpikir kok Islam itu galak banget ya. Apa-apa ada hukumannya. Kalau mati nanti ada azab neraka jika kita tidak taat dalam beragama. Bayangan neraka itu luar biasa menakutkan bagi saya. Dan saya tidak menemukan itu di Katolik. Karena surga dan neraka itu jarang dibicarakan. Yang sering dibicarakan adalah bagaimana relasi kita dengan sesama dengan penuh kasih dan sebagainya. Saya lantas berpikir, kok enak ya agama ini?! Mungkin ini salah satu yang mendorong saya untuk memilih Katolik.
Tapi saya benar-benar bingung. Saya kelas 3 SMA waktu itu. Dengan kondisi penuh kebingungan itu, di dalam hati saya berdoa: “Tuhan, tolong tunjukkan yang terbaik pada saya. Saya kepingin hidup saya baik.” Waktu itu saya benar-benar sudah pasrah.
JIL: Apakah anda merasa itu adalah pilihan terbaik dari Tuhan dan kini anda merasa sebagai true believer di agama Katolik?
Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu. Saya juga tidak tahu kenapa saya tetap memilih itu. Mungkin ada hal-hal yang menyentuh hati saya di dalamnya, misalnya ajarannya yang menekankan kasih. Juga dalam beberapa hal, Katolik itu kini agak lebih terbuka. Misalnya pastor-pastor di gereja biasa mengucapkan assalamu’alaikum. Jadi tidak pernah ada larangan mengucapkan selamat hari raya. Itu yang membuat saya nyaman, bisa bersilaturahmi dengan banyak saudara-saudara saya, apapun agamanya. Tapi kadang saya juga ketemu dengan pastor yang fundamentalis. Tapi saya sudah punya filter sendiri, sehingga saya bisa memilah mana yang tidak cocok dan cocok untuk teman diskusi saya. Tapi dalam berelasi, kami tetap saling menghormati.
JIL: Sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan, apa makna agama atau keberagamaan bagi diri anda sekarang?
Agama menurut saya adalah sebuah rambu-rambu bagi saya untuk menjalani hidup ini. Jadi sebuah rambu-rambu jalan saja, di mana saya bisa mengkritisinya. Makanya, secara kelembagaan, saya sering mengkritik agama Katolik. Bagaimana dia memposisikan perempuan, itu tetap saya kritisi sampai sekarang. Misalnya kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin atau imam. Saya tanya teman-teman pastor: “Sebenarnya ada tidak sih dasar Biblis-nya bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pastor, menjadi imam?” Mereka bilang tidak ada, dan itu hanya semacam tradisi. Artinya itu bisa diubah. Bagaimana mengubahnya dan kapan usaha itu akan berhasil, itulah yang menjadi persoalan. Nah, kalau sudah mikir-mikir begitu, Islam sebenarnya lebih terbuka terhadap perempuan. Akhirnya ada pikiran seperti itu.
Saya juga mempertanyakan sikap Katolik dalam soal pernikahan beda agama. Menurut Katolik hal itu boleh. Tapi pertanyaan kritis saya, kenapa anak-anaknya harus berjanji untuk tetap setia memeluk Katolik? Makanya secara kelembagaan saya tidak ngotot; pokoknya tradisi ini atau itu harus diperjuangkan. Tidak. Nah, tentang pertanyaan anda sebelumnya, apakah saya ini Katolik beneran atau—istilah anda true believer—tidak sih? Ya terserah saya mau disebut Katolik apa. Terserah orang mau menilai saya seperti apa. Bagi saya yang penting adalah apa yang saya yakini, yang saya imani, yang saya jalankan. Soal apakah saya sudah berbuat yang baik atau tidak, bukan orang yang menilainya. Tuhan yang menilainya. Persoalan saya akan masuk ke neraka atau surga, itu juga bukan urusan saya. Tidak penting saya mau diletakkan di mana, yang penting saya diberi rambu-rambu-Nya agar saya masuk dalam rambu-rambu Tuhan. Sebab, acuan saya adalah teladan Yesus.
16/01/2009

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda