iTs mE a_Ry...

Sabtu, 18 April 2009

PENDIDIKAN DASAR

1.Pendidikan Rakyat di Era Kekhalifahan Usmani


Kategori : Sejarah Peradaban Islam

Kamis, 15 Mei 2008 @ 09:06:18



Pada masa kejayaannya, Kekhalifahan Usmani Turki sempat menjadi negara adikuasa yang disegani di seantero dunia. Berbagai prestasi gemilang yang berhasil ditorehkan kerajaan yang didirikan Padishah Alu Usman pada 1300 M itu tak lepas dari keberhasilannya dalam pembangunan institusi pendidikan.

Dinasti Ottoman yang berpusat di Turki itu begitu peduli dengan dunia pendidikan. Di era Usmani, pendidikan sudah dimulai ketika anak-anak Turki menginjak usia lima tahun. Setiap anak mengenyam pendidikan dan pengajaran dasarnya di sekolah yang disebut sibyan mektepleri atau sekolah dasar. Sekolah dasar itu merupakan kelanjutan dari sekolah yang dikenal dalam Islam sebagai kuttab.

Pada periode klasik, sekolah dasar atau sibyan mektepleri umumnya didirikan oleh para elite seperti pejabat atau sultan. Sekolah dasar pada masa itu dibangun dalam kompleks masjid. Kehadiran sekolah itu pun akhirnya menyebar ke hampir berbagai penjuru desa, lantaran pembangunannya tak membutuhkan dana yang terlalu besar.

Anak laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam ruangan kelas yang berbeda. Setiap anak Muslim memiliki hak untuk bersekolah. pada masa itu, tak ada prosedur pendaftaran di sekolah dasar. Sekolah dikelola dan dijalankan melalui lembaga wakaf. Guru yang boleh mengajar di sekolah dasar adalah lulusan mereka yang telah lulus madrasah.

Pada awalnya sekolah dasar mengajarkan anak-anak mengenai dasar-dasar ilmu keislaman. Membaca Alquran, menghafal surat-surat Alquran tertentu, dasar aritmatika, serta puisi Arab dan Persia. Tak jelas apakah pada periode klasik sudah ada kurikulum resmi atau belum. Yang jelas, sistem pendidikan dasar di era Usmani mulai berubah ketika Sultan Mahmud II berkuasa.

Sultan Mahmud mengeluarkan maklumat tentang pendidikan dasar. Sejak itu di sekolah dasar juga mula diperkenalkan seluk beluk kemiliteran. Sultan mewajibkan orangtua untuk menyekolahkan anaknya, ketimbang bekerja. Anak-anak diharuskan sekolah paling tidak sampai mereka mengalami masa pubertas. Maklumat itu berlaku di Istanbul dan memuat sanksi bagi yang mengabaikannya.

Reformasi pendidikan sekolah dasar kembali dilakukan Sultan Mahmud II. Perubahan itu antara lain; mewajibkan kehadiran siswa di kelas, dibuatnya sitem kelas, membuka sekolah asrama bagi anak-anak yatim, dan mengawasi kualitas guru. Administrasi sekolah pun mulai dikelola oleh Shaykh al-Islam.

Pada 1845, Imperium Usmani memasuki periode Tanzimat atau reorganisasi kerajaan. Pendidikan dasar pun ikut mengalami perubahan. Sekolah-sekolah didata dan ditata ulang. Pemerintahan Usmani menegaskan tak boleh sembarang orang menjadi guru. Mereka yang berhak untuk mengajar di sekolah adalah guru yang mengantongi surat izin.

Sejak saat itu mulai diterapkan sistem tingkatan kelas dan ujian bagi para siswa. Bidang pendidikan mendapat perhatian yang makin besar seiring dengan dibentuknya kementerian sekolah umum. Kementerian itu bertugas untuk menerapkan berbagai kebijakan di sekolah dan mengawasinya. Jenjang pendidikan dasar dibatasi sampai empat tahun dan setelah itu bisa melanjutkan ke sekolah lanjutan.

Penguasa Usmani mewajibkan rakyatnya untuk sekolah. Pendidikan dinasionalisasikan. Papan tulis, pensil, dan kotak pensil mulai digunakan dan kehadiran di sekolah diwajibkan. Pada 1857, Kerajaan Usmani membentuk kementerian pendidikan. Akibatnya, reformasi di bidang pendidikan dasar pun kembali digulirkan. Pendidikan dasar digratiskan dan gaji guru dibayar oleh negara.

Pada 1864, Usmani Turki membentuk Komisi Sekolah Dasar Muslim. Kurikulum mulai disusun lebih baik. Di sekolah dasar mulai diajarkan beberapa pelajaran tambahan seperti; seni menulis indah, kewarganegaraan, geografi, dan aritmatika. Di setiap lingkungan atau desa paling sedikit diharuskan berdiri satu sekolah dasar.

Bila dalam satu desa ada dua sekolah, maka satu sekolah digunakan untuk sekolah bagi anak laki-laki dan sekolah yang lain digunakan untuk anak perempuan. Anak laki-laki diwajibkan sekolah dasar mulai usia enam hingga 10 tahun. Sedang anak perempuan diharuskan mengenyam pendidikan dasar mulai umur tujuh tahun hingga 11 tahun.

Sekolah dasar di era Usmani tak memungut biaya dari orangtua siswa. Sumber dana untuk operasional sekolah dasar itu berasal dari wakaf, pajak lokal, zakat fitrah pada akhir Ramadhan, zakat, serta uang hasil penjualan kulit hewan kurban. Pada 1869, pendidikan dasar kembali mengalami perubahan. Berdasarkan aturan itu, sekolah dasar ditata ulang dan berubah menjadi ibtidaiyah mulai 1870.

Aturan itu tak hanya berlaku di Istanbul saja, namun juga di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Usmani. Buku-buku baru untuk ibtidaiyah pun mulai disusun dan dipersiapkan. Buku-buku ibtidaiyah itu memang berbeda baik secara isi maupun format. Pada era kekuasaan Sultan Abdulhamid II, pendidikan dasar mulai mendapat tempat dalam konstitusi negara tahun 1876.

Undang-undang Dasar Kerajaan Usmani itu mewajibkan seluruh remaja di wilayah kekuasaannya untuk menamatkan pendidikan dasar. Di era pemerintahan Sultan Abdulhamid II, sekolah dasar telah berkembang begitu pesat. Di kota Istanbul saja, telah berdiri tak kurang dari 355 sekolah dasar negeri dan tujuh sekolah dasar swasta.

Sekolah dasar juga berkembang pesat di kota-kota di kawasan Anatolia. Di Aydin terdapat tak kurang dari 1.379 sekolah, terdiri dari 669 sekolah untuk anak laki-laki, 92 sekolah dasar khusus puteri dan 669 sekolah lainnya campuran antara laki-laki dan perempuan. Di Kastamonu yang juga wilayah kekuasaan Usmani terdapat 855 sekolah dasar. Selain itu, di Bursa juga terdapat 56 sejolah negeri dan 1.406 sekolah swasta.

Sedangkan, di Canakkale terdapat 400 sekolah dasar. Sementara itu, di kota Ankara, Diyarbakir, Konya, Sivas dan Izmit terdapat lebih dari 200 sekolah dasar dan di Erzurum terdapat lebih dari 100 sekolah dasar. Sekolah dasar pun berkembang di Kosovo dan Manastir yang merupakan dua wilayah kekuasaan Kerajaan Usmani di Balkan. Di kedua wilayah itu terdapat 500 sekolah. Selama dalam kekuasaan Usmani, di wilayah Yerusalem pun terdapat 300 sekolah dasar. Selain itu ada 200 sekolah di Beirut dan lebih dari 100 di Aleppo. heri ruslan




Sumber : Republika, Khazanah


2.Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.

Davy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/30/opini/3716123.htm


3.Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE)

MBE, adalah singkatan dari Managing Basic Education atau Program Pengelolaan Pendidikan Dasar. Program yang didukung oleh USAID ini bertujuan meningkatkan kemampuan SDM di tingkat Kabupaten/Kota (Daerah) agar mampu mengelola Pendidikan Dasar. MBE adalah suatu bagian dari program USAID yang lebih luas dalam meningkatkan kemampuan SDM Pemerintah Daerah. Pendidikan Dasar dipilih sebagai fokus program ini dengan alasan bahwa sektor ini adalah bagian terbesar yang dikelola oleh Daerah. Selain itu, Pendidikan Dasar adalah kunci pembangunan sosial dan ekonomi, baik untuk masa kini maupun masa depan. Program ini dikelola oleh konsultan RTI (Research Triangle Institute).

Program ini diutamakan bekerja di tingkat kabupaten/kota, dengan mengembangkan praktek-praktek yang baik yang sudah ada dan mendorong pengembangan dan diseminasi praktek yang baik tersebut dan gagasan-gagasan lain di tingkat kabupaten/kota. Praktek ini meliputi:

Fasilitas dan Pengelolaan Pegawai
Pendanaan Sekolah
Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) dan Peran Serta Masyarakat (PSM)
Proses Belajar Mengajar


4. Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

MUNGKIN kita perlu bersyukur karena hampir semua anak Indonesia telah memperoleh akses pendidikan dasar. Meski
demikian, kita juga perlu mawas diri. Dalam rangka mawas diri inilah, saya tidak tahu kita harus menangis atau tertawa
jika menengok aneka indikator yang tersedia untuk dikaji.
Salah satu komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu Rata-rata Lama Pendidikan, menunjukkan angka- angka
yang kurang membanggakan, terutama setelah merdeka lebih dari setengah abad. Angka tertinggi dimiliki Jakarta (9,7
atau setara dengan lulus SLTP), terutama Jakarta Selatan (10,0 atau setara dengan kelas I SMA), dan terendah adalah
Nusa Tenggara Barat (5,2 atau setara dengan kelas V SD) dan Kota Sampang, Jawa Timur (2,5 atau tidak sampai kelas III
SD). Apa sebabnya? Setelah lebih dari 60 tahun pendidikan nasional pascapenjajahan, generasi dengan lama pendidikan
0-10 tahun seharusnya sudah berganti dengan mereka yang memperoleh akses lebih baik. Mari kita memeriksa dua
indikator penting sebagai berikut:

Akses terhadap pendidikan

Akses terhadap pendidikan memberikan informasi kepada publik tentang berapa banyak anak kita yang dapat
memanfaatkan fasilitas pendidikan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Indikator yang digunakan adalah:
Angka Partisipasi, Angka Mengulang, Angka Putus Sekolah, Angka Kelulusan, Angka Melanjutkan, dan Angka
Penyelesaian. Angka-angka ini bersumber pada data Depdiknas 2002. Di tingkat sekolah dasar (SD/MI) hampir semua
indikator cukup memuaskan. Angka Partisipasi tahun 2002 cukup tinggi (APM: 94,04; APK: 113,95; dan APS: 98,53), berarti
hampir semua anak usia 7-13 tahun tertampung di sekolah. Angka Mengulang (5,4 persen) dan Angka Putus Sekolah (2,7
persen) cukup rendah.

Persoalan timbul ketika kita mengamati Angka Menyelesaikan (tepat waktu) dan Angka Melanjutkan. Meski kebanyakan
anak yang melanjutkan ke SD/MI akan lulus, tetapi hanya sekitar 71,8 persen yang berhasil menyelesaikan sekolah tepat
waktu (enam tahun). Angka Melanjutkan juga amat mengkhawatirkan, karena hanya separuh (51,2 persen) yang akhirnya
melanjutkan ke SMP/MTs.

Angka Partisipasi di SMP/MTs dan tingkat selanjutnya amat dipengaruhi Angka Menyelesaikan dan Angka Melanjutkan
yang relatif rendah. Di tingkat SMP/MTs, Angka Partisipasi 2002 cukup tinggi (APM: 59,18; APK: 77,44; APS: 77,78) dan
Angka Mengulang (kurang dari 0,5 persen untuk semua kelas) dan Angka Putus Sekolah (3,5 persen) juga cukup rendah.
Sekali lagi yang mengganggu adalah Angka Menyelesaikan karena hanya 45,6 persen yang sanggup menyelesaikan
sekolah tepat waktu.

Kualitas pendidikan

Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan Iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas
pendidikan. Terlepas dari kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional, hasil yang diperoleh adalah baik di tingkat
SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan kurang dari 60 persen dari materi belajar yang dikuasai siswa. Ini amat
merisaukan. Jika standar kualitas itu digunakan untuk menilai kualitas sekolah di tingkat SMP/ MTs, maka hanya 24,12
persen SMP/MTs yang masuk kategori "sedang" ke atas. Di antara mereka hanya 0,03 persen yang tergolong "baik sekali"
dan 2,14 persen tergolong "baik".

Jika rasio guru : siswa (1 : 23) dan siswa : kelas dijadikan salah satu tolok ukur kualitas, maka kesan yang diperoleh
adalah standar mutu telah dipenuhi. Meski demikian, pengamatan di lapangan menunjukkan distribusi guru dan kelas
memang tidak merata, terutama antara kota dan desa. Selain itu, untuk semua provinsi masih ada sekolah-sekolah SD/MI
maupun SMP/ MTs yang harus melakukan jam masuk sekolah ganda (double shift) karena kekurangan ruangan.
Ketersediaan Laboratorium IPA, Bahasa, dan IPS baru dinikmati 68 persen dari sekolah SMP/MTs yang ada meski tanpa
ada informasi tentang kelayakan fasilitas yang ada. Kualitas fisik yang digunakan sebagai tolok ukur adalah kerusakan
atau kelayakan ruang kelas. Data menunjukkan, kurang dari separuh (42,82 persen) fasilitas ruang kelas SD/MI
berkategori "baik" dan pada tingkat SMP/MTs 85,78 persen dalam kategori itu.

Kualitas guru sudah menjadi perhatian nasional. Kriteria kualitas ditentukan dengan prasyarat pendidikan, yaitu D2 untuk
mengajar di SD/MI dan D3 untuk SMP/MTs. Berdasarkan kriteria itu, hanya 49,9 persen guru SD/MI dan 66,33 persen guru
SMP/MTs yang memenuhi standar kualitas. Sayang, standar kompetensi bidang pelajaran fakultatif tidak tersedia.
Akses terhadap buku pelajaran wajib merupakan tolok ukur kualitas yang penting. Pada tingkat SD akses terhadap buku
adalah 75 persen untuk bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Angka akses terhadap buku
menyembunyikan keragaman antarprovinsi. Dari data yang tersedia masih ada kesenjangan dalam akses terhadap buku
wajib yang berkisar dari 38,8 persen sampai 99,3 persen (persentase penyediaan buku yang paling rendah adalah buku
IPA).

Mencari solusi

Rata-rata akses terhadap buku pelajaran wajib pada tingkat SLTP sebesar 70 persen dengan kesenjangan berkisar dari
37,6 persen sampai 99,5 persen. Dari data yang ada, penyediaan buku-buku IPA, Fisika, dan Biologi masih terbatas.
Selain akses, mutu dari isi pelajaran juga mungkin bermasalah. Menurut analisis Sri Redjeki (1997), sebagai contoh,
ditemukan isi buku-buku teks biologi SD-SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan buku teks geografi
SLTP yang menunjukkan banyak informasi yang disajikan sudah usang.

Solusi yang baik berawal dari pengetahuan yang baik atas masalah. Data-data itu tersedia di lingkungan departemen.
Artinya, semua birokrat pendidikan tahu masalah dalam angka itu. Meski demikian, ada aneka masalah lain yang
diketahui, tetapi tak pernah dijadikan kajian serius dalam policy making. Misalnya, kita tahu dengan subsidi pemerintah,
masyarakat mampu menyekolahkan anak ke SD meski masih banyak yang terseok-seok karena biaya yang dipaksakan,
yaitu buku pelajaran nonterbitan Depdiknas, seragam, sepatu, serta transportasi dan makanan (jajan) untuk anak. Pada
tingkat SLTP, biaya jauh lebih besar. Persoalan ini klasik, tetapi solusi tak ada yang signifikan. Orangtua masih
dipermainkan sekolah yang tidak menggunakan buku terbitan Depdiknas, membeli seragam dan membayar ongkos
transpor dan makanan anak sendiri.

Hal lain yang juga diketahui adalah pengelolaan pendidikan di Indonesia dilakukan Depdiknas dan departemen lain,
khususnya Departemen Agama. Investasi pada sekolah di kedua departemen ini amat berbeda sehingga menciptakan
kesenjangan mutu. Kita tahu sekolah-sekolah berbasis agama di bawah Departemen Agama banyak dilakukan dalam
skala amat kecil sehingga anak tidak terjamin kelanjutan studinya. Masalah ini diketahui, tetapi jarang dibahas karena
sensitif.
Kita juga tahu banyak sekolah SD yang rusak dan tidak layak pakai, tetapi aneka keluhan bagai teriakan di padang pasir.
Penyebabnya jelas, tanggung jawab pembangunan ada di tingkat kabupaten (Depdagri melalui kantor dinas). Selain
persoalan korupsi, tidak semua pemerintah lokal mempunyai komitmen yang tinggi pada sektor pendidikan.
Kita sadar mutu pendidikan amat ditentukan kualitas dan komitmen guru, tetapi kita tidak dapat melawan kehendak zaman
yang kian alergi dengan sekolah keguruan, IKIP, atau FKIP. Profesi guru menjadi tidak menarik di banyak daerah karena
tidak menjanjikan kesejahteraan finansial dan penghargaan profesional.
Kita tahu untuk memperbaiki sistem pendidikan dasar secara menyeluruh diperlukan komitmen tinggi masyarakat dan
pemerintah. Masalah ini sering menjadi wacana politik dan tetap tinggal sebagai wacana seperti dalam grafik berikut.
(grafik)

Dibandingkan dengan negara-negara serumpun, komitmen Indonesia sampai tahun 1999- 2001 adalah yang terendah.
Kenyataan ini sudah lebih dari dua dasawarsa.
Menghadapi semua masalah yang seharusnya dapat diatasi satu per satu secara serius, kita justru sibuk mengutak-atik
kurikulum, "bermain-main" dengan Ujian Nasional, bereksperimen dengan sistem pengelolaan sekolah, sibuk dengan
menata kembali peristilahan, dan mengacuhkan berbagai persoalan yang jelas-jelas ada di depan mata. Padahal, semua
yang kita lakukan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit yang akan lebih baik dialokasikan untuk menyelesaikan
hal-hal yang lebih mendasar dulu. Dalam menyaksikan berbagai gebrakan Depdiknas, kita bertanya: Mau dibawa ke mana
anak- anak kita? Jika pendidikan dasar dikelola seperti ini, sepuluh tahun lagi angka-angka yang sama akan kita jumpai.
Semoga tidak demikian!

Irwanto Dosen Fakultas Psikologi, Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/12/opini/1744895.htm


5. Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.

Davy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/30/opini/3716123.htm


Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan
pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan
bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil
pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished
Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan
pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti
membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran
kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar
terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu
mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman
penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01
triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya
pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak
bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah
tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi
anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan.
Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari
kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil
pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat
terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi
yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap
mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai
hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya
diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah
sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk
SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak,
setelah itu nasib mereka tidak berubah.

Davy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padang

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0707/30/opini/3716123.htm

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda