iTs mE a_Ry...

Sabtu, 25 April 2009

PENDIDIKAN NON-FORMAL

1. Pendidikan nonformal di Daerah Perbatasan
Konon, Yayasan Peduli Pendidikan anak Indonesia yang sebelumnya bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia telah berhasil mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah perbatasan dengan Negara bagian sabah, Malaysia (Kompas, 22 nopember 2008). Dikatakan pula oleh Kompas bahwa ke dua PKBM itu dalam operasionalnya belum pernah mendapatkan bantuan dana maupun sarana prasarana dari pemerintah (Depdiknas), dalam menjalankan operasionalisasi PKBM hanya mengandalkan iuran dari para peserta didik serta donatur yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat marginal yang belum tersentuh pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga maupun adanya kendala geografis.

Kondisi semacam ini hendaknya bisa ditangkap oleh para pekerja pendidikan nonformal yang kantornya berdekatan dengan daerah perbatasan dibawah koordinasi subdin pendidikan nonformal propinsi ataupun BPPNFI. Hal ini tentunya dengan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk block grand, program pendidikan keterampilan hidup (life skill), Kursus kewirausahaan Desa (KWD) serta dana Kelompok Belajar Usaha (KBU). Program-program diatas menurut penulis sangatlah cocok diberikan pada masyarakat perbatasan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-harinya. Seperti diketahui bahwa program kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Dalam implementasinya, program life skills berprinsip pada empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan Unesco (Ditjen Diklusepa, 2003), yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadikan dirinya sebagai orang berguna), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Begitu juga dengan program KWD maupun KBU yang prinsipnya sama,
Disinilah peran dari para pekerja pendidikan nonformal di lingkungan Ditjen PNF untuk membelajarkan masyarakat daerah perbatasan agar kualitas hidupnya meningkat sejajar dengan warga negara lain yang sama2 hidup di perbatasan. Artinya program2 PNF yang dikembangkan di daerah perbatasan haruslah dikelola, dikerjakan dan dilaksanakan dan diprogramkan dengan serius dan sungguh2, bukan sekedar berjalan untuk “menggugurkan” kewajiban.

Berdasarkan catatan yang ada, beberapa sanggar kegiatan belajar yang berada atau dekat dengan wilayah perbatasan adalah sanggar kegiatan belajar yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Timur dan sanggar kegiatan belajar di Kalimantan yang berdekatan dengan wilayah Negara Malaysia, juga Sulawesi Utara dan Papua. Sayangnya keberadan “Dinas Pendidikan” yang berada dekat perbatasan dengan Negara lain itu tupoksinya kurang dapat dimainkan secara optimal, padahal disana sangat rawan dengan persengketaan wilayah perbatasan yang bisa mengarah pada sengketa politik maupun bentrok bersenjata. Seandainya program-program pendidikan nonformal yang diarahkan ke daerah perbatasan, dikelola dengan sungguh-sungguh, pastilah taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan akan meningkat dan tidak mudah tergoda untuk pindah kewarganegaraan atau lari menyeberang ke Negara tetangga. Program ini tentunya akan menarik jika bisa dikerjasamakan dengan Tentara yang bertugas diperbatasan untuk mewujudkan konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat yang sering didengungkan dalam acara seremonial. Paling tidak konsep OBAMA (Operasi Bhakti Abri Manunggal Aksara) bisa di tata ulang kembali disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Mudah-mudahan wacana sederhana yang digulirkan penulis bisa menjadi inspirasi positif dalam arti bisa turut mewarnai kebijakan yang akan (dan mungkin) sedang disusun untuk tahun anggaran 2009. yakinlah bahwa bersama kita bisa berbuat untuk kemaslahatan umat. Wassalam.

*penulis adalah pamong belajar bppnfi reg-4 surabaya


2. Pemerintah Kurang Peduli Pendidikan Non Formal
umat, 3 April 2009 | 20:50 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Indira Permanasari S
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan, Jumat (3/4), pemerintah sejauh ini masih lebih memfasilitasi pendidikan formal. Padahal, kenyataannya pendidikan formal belum sepenuhnya mampu menyiapkan tenaga terampil. Tenaga terampil justru banyak disiapkan oleh pendidikan nonformal, seperti kursus.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah baru menyusun regulasi mengenai kursus. Salah atu yang direncanakan akan diatur ialah pembatasan wilayah operasional kursus berskala internasional hanya sampai ibukota provinsi.
Di tengah kondisi tersebut, menurut Darmaningtyas, pemerintah seharusnya tidak hanya bersifat mengawasi, tetapi lebih banyak lagi memfasilitasi. "Kalau ada lembaga pendidikan lokal yang tumbuh, perlu dibantu fasilitasnya, perizinan dipermudah, dan diba ntu berjejaring untuk menyalurkan lulusannya. Jadi, iklimnya mendukung," ujarnya.
Departemen Pendidikan Nasional perlu pula bersinergi dengan sektor lain, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta koperasi.
"Departemen Pendidikan Nasional , misalnya, bisa menyusun kurikulum. Koperasi menyalurkan produk-produk karya peserta kursus. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengurusi ketenagaan seperti soal sertifikasi," ujarnya.
Kualitas sebuah lembaga kursus sebetulnya yang menilai ma syarakat. Kursus yang berkualitas pasti diminati masyarakat. Jika kualitas kursus di dalam negeri sudah berkualitas, akan lebih baik. Pada dasarnya, masyarakat akan tetap keluar uang untuk memeroleh pendidikan.
"Kalau yang kian dominan itu warala ba asing, ada modal yang akan mengalir ke luar. Biaya waralaba itu dibayarkan ke luar negeri," ujarnya.


3. PERAN Strategis PENDIDIKAN NON FORMAL
Rabu, 25 Juni 2008 04:22:18 - oleh : redaksi
S U W A N T O
Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing.
Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun
Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.

Mahasiswa Jurusan Biologi, FKIP, UMM


4. Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah
Senin, 27 Oktober 2008 | 21:48 WIB
JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.
Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.
Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.
Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.
"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.
Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.
Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.
Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.



5. UNJUK KARYA PENDIDIKAN NON FORMAL BPPNFI REGIONAL IV SURABAYA


Ditulis oleh Drs. Edi Basuki
“Sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya, anak didik bisa dibina untuk meningkatkan kepekaan dan mengasah kemampuan emosional dan intelektual dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial.” Demikian ujar Anita Lie, Dosen Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya dalam acara seminar yang mengambil tema “Home Schooling, Mengembalikan Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak”, hari kamis, 13 desember 2007 di Gedung Serba Guna BPPLSP regional IV.
Acara seminar yang dibuka oleh Kepala BPPLSP, Harun Al Rasyid ini merupakan salah satu dari serangkaian acara yang dikemas dalam kegiatan Gebyar Unjuk Karya Pendidikan Non Formal 2007. Dalam acara tersebut ditampilkan hasil karya dari kelompok belajar program keaksaraan, program life skills, program kesetaraan dan program rintisan lainnya di lingkungan pendidikan non formal, yang dibina oleh SKB, UPT PKB, TLD dan Penilik di wilayah regional IV Surabaya. “Alhamdulillah, hasil karya yang dipamerkan juga terjual habis. Pengunjung pameran juga tertarik untuk melihat mobil yang digunakan untuk belajar, biasa disebut kelas berjalan dan Taman Bacaan Keliling.” Kata seorang panitia ditengah-tengah kesibukannya mengawasi pameran yang digelar setiap tahun sekali dalam rangka pencitraan kelembagaan.
Unjuk Karya yang dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Direktur Kesetaraan serta Direktur PTK-PNF, Selain menampilkan hasil ketrampilan, masing-masing daerah juga mempertontonkan kebolehannya dalam bidang tarik suara dan tarian tradisionalnya. “Tentu saja tampilan budaya Bali sangat menyita perhatian pengunjung pameran.” Ujar undangan dari dinas pendidikan.
Pada kesempatan yang sama juga digelar lomba pembuatan media belajar bagi para Tutor dalam rangka upaya meningkatkan kompetensi Tutor menyongsong berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta Permendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk pendidikan dasar dan menengah.
Kegiatan Gebyar Unjuk Karya Pendidikan Non Formal 2007 ini sekaligus menandai perubahan nama kelembagaan, dari BPPLSP menjadi BPPNFI (Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal).
Seiring berubahnya nama, wilayah kerjanya pun mengalami pengurangan, dari lima propinsi menjadi dua propinsi, yaitu Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur, sedang yang lain rencananya akan berdiri bergabung dengan dua BPPNFI yang akan dibentuk, yaitu BPPNFI Nusa Tenggara Barat dan BPPNFI Kalimantan Selatan.
Dengan bertambahnya BPPNFI diharapkan akan semakin meningkatnya pelaksanaan good governance, akuntabilitas dan pencitraan publik yang sampai sekarang sedang mencari bentuknya melalui berbagai media sosialisasi, diantaranya mengadakan gebyar unjuk karya pendidikan non formal 2007 yang rencananya akan dijadikan tradisi tahunan dalam rangka memacu kreatifitas insan Pendidikan Non Formal yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan kinerja. Semoga.
[edi basuki @bpplsp-reg4]



elajar atau mengenyam pendidikan tidak hanya di dalam pendidika formal seperti di SMA SMP atau di SD saja. elajar atau mengenyam pendidikan tidak hanya di dalam pendidika formal seperti di SMA SMP atau di SD saja. Namun pendidikan non formal seperti di Kelompok bermain (KB), Taman penitipan anak (TPA), Lembaga kursus, Sanggar pelatihan, Lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim. Bahkan akhir akhir ini banyak mereka orang orang kaya yang malas untuk melakukan pendidikan secara formal memilik pendidikan nonformal di rumah masing masing.
Sebenarnya Pendidikan non formal ini sangat penting bagi mereka yang hanya melulu melakukan pendidikan formal saja. Masalah nya tidak selamanya pendidikan formal itu menunjang karir mereka, buktinya banyaknya Sarjana S1 dan S2 yang menganggur menunggu pekerjaan yang tidak kunjung singgah kepada mereka. Namun pendidikan non formal sering menjadi yang di kesampingkan, biasanya banyak mereka yang sejak kecil sampai besar hanya mengenyam pendidikan formal dan setelah lulus mereka hanya terdiam tidak bisa apa apa, setelah lama tidak ada perkembangan barulah mereka mencari pendidikan non formal seperti les, kursus menjahit, dan lain lain. Saat ini telah banyak hasil yang dicapai, seperti kursus-kursus keterampilan untuk meningkatkan kemampuan para ibu, terutama di bidang kecantikan, tata boga, jahit menjahit dan merangkai bunga.
Kadang banyak ilmu yang tidak di dapat dari pendidikan formal dan ilmu tesebut malah ada dalam pendidikan nonformal, seperti membaca tartil alquran, atau merias pengantin, kemampuan akting, dan lain lain.
Jadi jangan anggap pendidikan non formal itu tidak penting. Hal ini juga dapat mempersempit orang orang yang bergabung dalam Black communityNamun pendidikan non formal seperti di Kelompok bermain (KB), Taman penitipan anak (TPA), Lembaga kursus, Sanggar pelatihan, Lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim. Bahkan akhir akhir ini banyak mereka orang orang kaya yang malas untuk melakukan pendidikan secara formal memilik pendidikan nonformal di rumah masing masing.
Sebenarnya Pendidikan non formal ini sangat penting bagi mereka yang hanya melulu melakukan pendidikan formal saja. Masalah nya tidak selamanya pendidikan formal itu menunjang karir mereka, buktinya banyaknya Sarjana S1 dan S2 yang menganggur menunggu pekerjaan yang tidak kunjung singgah kepada mereka. Namun pendidikan non formal sering menjadi yang di kesampingkan, biasanya banyak mereka yang sejak kecil sampai besar hanya mengenyam pendidikan formal dan setelah lulus mereka hanya terdiam tidak bisa apa apa, setelah lama tidak ada perkembangan barulah mereka mencari pendidikan non formal seperti les, kursus menjahit, dan lain lain. Saat ini telah banyak hasil yang dicapai, seperti kursus-kursus keterampilan untuk meningkatkan kemampuan para ibu, terutama di bidang kecantikan, tata boga, jahit menjahit dan merangkai bunga.
Kadang banyak ilmu yang tidak di dapat dari pendidikan formal dan ilmu tesebut malah ada dalam pendidikan nonformal, seperti membaca tartil alquran, atau merias pengantin, kemampuan akting, dan lain lain.
Jadi jangan anggap pendidikan non formal itu tidak penting. Hal ini juga dapat mempersempit orang orang yang bergabung dalam Black communit

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda