iTs mE a_Ry...

Jumat, 15 Mei 2009

PENDIDIKAN ATAS

1. Pendidikan Seks Perlu Masuk Kurikulum

Pemerintah didesak untuk segera memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum sekolah. Tanpa pendidikan seks, remaja Indonesia akan semakin terjerat pada persoalan sosial dan kesehatan yang serius.

Demikian benang merah perbincangan Media dengan psikolog Tika Bisono, Kepala SMP 109 Jakarta Murhanuddin, serta artis sinetron remaja Shandy Aulia di sela-sela acara 'Program Edukasi Rexona School of Confidence' di Jakarta, kemarin.


Dalam beberapa kasus mereka memberikan contoh, misalnya kehamilan remaja yang semakin meningkat, pelecehan seksual di sekolah, serta semakin longgarnya nilai-nilai moral di kalangan generasi muda.

Tika mengungkapkan, hingga saat ini pemerintah maupun kalangan legislatif belum memperlihatkan perhatian serius terhadap pentingnya pendidikan seks untuk remaja. Padahal, ini merupakan benteng yang paling diperlukan untuk melindungi remaja dari derasnya terpaan budaya asing yang merusak moral. Ia menyarankan pendidikan seks diberikan mulai SMP, ketika remaja memasuki akil balig.

"Kita lihat sekarang, mereka dapat dengan mudah mendapat majalah, situs internet, serta VCD porno. Akses mereka terhadap tayangan yang merusak moral kian terbuka, lalu kita diam saja. Akibatnya, dengan mudah dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Sampai kapan kita terus tinggal diam," kata Tika yang mengaku dirinya telah menyuarakan isu pendidikan seks ini hampir satu dekade yang lalu. Namun, upayanya tersebut belum menemui hasil.

Psikolog yang mendalami masalah remaja ini mengakui, beberapa sekolah, terutama swasta, telah memberikan pendidikan seks pada siswa-siswanya. Namun, hal itu belum diwujudkan secara terstruktur sehingga tujuan pengajaran pun dikhawatirkan tidak tercapai. Tika menyatakan, pendidikan seks idealnya menerangkan tentang fungsi organ seksual disertai dengan penjelasan tentang aspek kesehatannya, penyakit menular seksual, serta nilai-nilai moral dan agama yang terkait fungsi dan peran gender.

Hal senada juga diungkapkan Shandy yang kini duduk di kelas satu SMA ini. Gadis berusia 17 tahun ini mengaku cukup beruntung karena di sekolahnya mendapat pendidikan seks setiap satu minggu sekali. Namun, materi yang diajarkan cenderung membosankan sehingga tidak menarik minat. "Setiap satu minggu kami mendapat pelajaran tentang seks, narkoba dan sebagainya. Tapi, cara mengajar gurunya sangat tidak menyenangkan, beberapa kali saya malah kabur. Tapi, sebenarnya pelajaran itu berguna lo, karena terus terang untuk bertanya pada guru, saya sungkan," kata Shandy.

Tika menegaskan, keluarga di Indonesia belum terbiasa berdialog tentang seks. Seks masih dianggap tabu dan vulgar. Kondisi itulah, kata Tika, yang membuat pendidikan seks perlu diformalkan. Ia menyarankan, pendidikan seks diberikan dalam jam pelajaran tersendiri. Namun, untuk menunjang efektivitasnya, edukasi seks juga disisipkan dalam seluruh mata pelajaran secara tidak langsung.

Pendapat Tika juga dibenarkan Murhanuddin. Pendidik yang kini memimpin SMP peringkat pertama di Jakarta itu menekankan materi pendidikan seks harus dipersiapkan seoptimal mungkin.

Berdasarkan data yang dihimpun Media dari Perkumpulan Remaja Indonesia (PKBI) pada 1999, sebanyak 10% remaja setuju dengan seks pranikah dan 71% remaja yang berpacaran melakukan hubungan seks dengan pacarnya. ''Angka itu pasti meningkat karena secara logika terpaan budaya asing yang permisif semakin kencang,'' ujar Tika.

Gerakan Nasional
Bak gayung bersambut, harapan Tika, Murhanuddin maupun Shandy untuk menangkal pornografi menuai secercah harapan. Kemarin, Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta mendeklarasikan 'Gerakan Nasional Bersih Pornografi dan Pornoaksi'.

Gerakan yang dideklarasikan di Jakarta ini, akan diikuti pembentukan pusat-pusat aksi di berbagai daerah untuk menjamin efektivitas kegiatan. "Gerakan ini lahir dari rasa kerisauan kami atas pornografi dan pornoaksi serta dampaknya di masyarakat yang semakin marak belakangan ini," kata Adhyaksa.

Dikatakan, pihaknya telah melaporkan masalah pornografi dan pornoaksi dan pembentukan gerakan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. "Dan Presiden bilang ini memang sudah tidak bisa ditolerir lagi, harus ada tindakan segera," tambah Menpora. Adhiyaksa mengaku peduli atas masalah itu karena sebagian besar mereka yang terkena dampak adalah dari kalangan kaum muda.

Dalam kesempatan yang sama, Meutia Hatta mengatakan salah satu target yang ingin dicapai dari gerakan ini adalah berubahnya pola pikir masyarakat terhadap perempuan, karena obyek pornografi pada umumnya adalah kaum Hawa. "Pola pikir masyarakat kita sekarang umumnya masih memandang perempuan dari segi fisik. Parahnya, banyak juga perempuan yang senang diperlakukan seperti itu," katanya. (IZ/Awi/H-4)

http://www.mediaindo.co.id/


2. Artikel: Komersialisasi Pendidikan Tinggi
15 January 2009 No Comment

Artikel yang bisa membuka wawasan berpikir kita lebih bijak untuk memandang wacana komersialisasi PendidikanTinggi.

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.

Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.

Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.

Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.

Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.

Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.

Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.

Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.

Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

Tata Sutabri S.Kom, MM — Deputy Chairman of STMIK INTI INDONESIA, Pemerhati Dunia Pendidikan TI, Jl. Arjuna Utara No.35 – Duri Kepa Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 Telp. 5654969, e-mail : tata.sutabri@inti.ac.id


3. Orang Miskin Dilarang Sekolah
Sumber : Sinar Harapan, 24 Agustus 2004


”Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah,” kata Margaret Mead suatu ketika. ”Orang miskin dilarang sekolah,” bunyi judul karangan seorang teman di Yogya, Eko Prasetyo. Dua pernyataan ini mewakili secara sungguh-sungguh kenyataan pendidikan kita. Pendidikan kita masih diragukan kemampuannya untuk membuat orang pintar dan dengan demikian mampu melepaskan belenggu masyarakat dari kemiskinan. Di sisi lain, kaum miskin memang menjadi kaum ”terlarang” untuk memasuki kawasan pendidikan tinggi.

Siapa tak heran, wong sudah jelas disaksikan bagaimana angka kemiskinan dan rendahnya pendapatan yang diderita oleh sebagian besar masyarakat, nyatanya itu tak membuat pemerintah bergeming untuk menaikkan harga segala biaya masuk dan biaya perlengkapan pendidikan.

Lalu pendidikan itu akan diperuntukkan siapa? Apakah hanya kelas atas saja —yang jumlahnya sangat kecil, dan kelas bawah tetap dengan ketertindasannya? Tampak terang, kebijakan-kebijakan pendidikan yang direkayasa oleh pemodal dan penguasa ini menjadi cermin betapa buruknya negara ini mengelola pendidikan, betapa tidak warasnya para penguasa ini memperlakukan masyarakat miskin.

Unjuk rasa menolak kenaikan biaya pendidikan, terutama untuk perguruan tinggi, muncul mula-mula ketika diputuskan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Atas kebijakan tersebut, sedikitnya ada tiga alasan atas fenomena yang menjadi perbincangan meluas itu.

Pertama, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan negara kepada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembar-gemborkan sebagai jalan menuju otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas.

Kegagalan Fungsi Negara
Penjelasan gamblang untuk alasan pertama adalah ketidakmampuan negara untuk memberikan subsidi sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenyam pendidikan. Dengan kata lain, ini merupakan kegagalan fungsi negara untuk memberikan pendidikan semurah-murahnya kepada masyarakat.

Atas alasan krisis ekonomi berkepanjangan dengan berbagai aspeknya, negara berpikir tidak lagi perlu memberikan subsidi pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Krisis ini diperparah dengan tidak kunjung membaiknya perekonomian Indonesia di tengah-tengah negara-negara lain yang sudah bangkit. Karena itu, seakan-akan absah jika negara menghendaki pemotongan anggaran pendidikan bagi masyarakat.

Penjelasan kedua mengandaikan bahwa di era reformasi ini negara tak boleh lagi mengintervensi kampus sebagai lahan persemaian keilmuan. Dunia akademis dengan segala apa yang ada di dalamnya bersifat otonom. Ilmu memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, dan kuasa negara tidak berhak untuk menentukan wacana yang berkembang di dalamnya (sebagai catatan, ini kontradiktif dengan karakter UU Sisdiknas yang baru yang sangat kental semangat etatisme-nya).

Berkaitan dengan penjelasan kedua, penjelasan ketiga mengisyaratkan adanya integrasi institusi-institusi negara ke dalam pasar. Kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar dan ia berfungsi sebagai lahan untuk beradu kekuatan. Konsekuensi dari kompetisi bebas ini adalah tersingkirnya yang lemah dan pongahnya yang kuat. Negara menjadi serba sulit untuk membela kepentingan si lemah. Akibatnya fungsi negara untuk melindungi dan mencerdaskan masyarakat, larut dalam arena pertarungan tanpa batas tersebut.

Dari kasus ini sangat perlu kita sarankan bahwa komersialisasi pendidikan sangatlah mencoreng muka dan nama besar PTN-PTN yang sudah diakui tersebut. Tanpa harus mengeksploitasi dan menciptakan ruang diskriminasi bagi mahasiswa, PTN-PTN tersebut kita yakini masih mampu mencari dana dengan cara yang lebih elegan dan profesional. Masih banyak cara untuk mendanai operasionalisasi pendidikan tanpa harus menjerat leher masyarakat. Jangan perburuk wajah Indonesia dengan melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran.

”Very-very Important Person”
Sudah dipahami masyarakat dan menjadi keprihatinan teramat luas, betapa timpangnya pendidikan kita menyerap anak didiknya. Dalam berbagai PTN, terdapat berbagai kelas khusus, dari yang super-eksekutif untuk very-very important person (VVIP), yang eksekutif untuk very important person (VIP), kelas istimewa, kelas spesial sampai kelas anak jelata.

Pendidikan ternyata tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan justru jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan. Jika tak punya uang, maka benarlah dikatakan bahwa orang miskin terlarang memasuki bangku kuliah.

Ini merupakan cermin nyata dampak integrasi pendidikan dalam pasar bebas. Jelas bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, berangkat dari soal-soal yang dikemukakan di atas, sebenarnya implikasi yang paling logis diterima atas kebijakan itu adalah mahalnya biaya pendidikan. Fenomena ini tentu saja kontradiktif dengan kondisi perekonomian masyarakat yang umumnya tak berdaya baik sebelum maupun sesudah krisis. Dari Orde Baru hingga sekarang, perkembangan perekonomian masyarakat berjalan sangat lambat di satu sisi, meski di sisi lain peredaran korupsi di tingkat elit semakin membabi-buta. Ada kesenjangan yang tidak sulit dipahami dengan mata telanjang, terutama ketika kaum elite berebut kue pembangunan, dan kaum miskin semata-mata tetap menjadi obyek pembangunan.

Terintegrasinya dunia pendidikan ke dalam pasar bebas dengan konsekuensi sebagaimana dipaparkan di atas di satu pihak, adalah fenomena yang tidak sebanding ataupun berlainan sama sekali dengan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat di lain pihak. Jika di negara-negara maju, pendidikan yang berbiaya mahal tidak mendapatkan protes adalah karena masyarakatnya yang melihat kemampuan dirinya untuk mengakses dunia pendidikan tersebut. Persoalan kita saat ini dengan demikian adalah bagaimana menyikapi dua hal berbeda yang saling bertolak belakang tersebut?

Ibarat sudah jatuh, masyarakat miskin yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata, akhirnya tertimpa tangga pula. Tertutup ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuannya di dalam universitas-universitas berkualitas. Orientasi mereka sudah digeser untuk sekedar mencari uang dan uang, kualifikasi akademis sudah dipinggirkan jauh-jauh.

Dan orang miskin memang benar-benar terlarang bersekolah!

Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Tinggal di Jakarta.


4. Membangun Spirit Lembaga Pendidikan Tinggi Islam

Beberapa tahun lalu, saya berkunjung ke Jerman untuk melihat beberapa perguruan tinggi dan lembaga pendidikan pada umumnya di sana. Dalam kunjungan itu saya memperoleh rumusan yang indah terkait dengan upaya membangun peradaban modern. Rumusan itu berbunyi, bahwa jika engkau mau membangun bangsamu maka bangunlah terlebih dahulu lembaga pendidikanmu. Sebab, pendidikan adalah pintu strategis yang harus dilalui dalam membangun peradaban bangsa. Tidak pernah ada masyarakat yang maju di muka bumi ini tanpa adanya lembaga pendidikan yang kukuh dan berkualitas. Selanjutnya, rumusan itu ditambahkan, jika engkau sedang membangun pendidikanmu, maka berikan seluruh kekuatan yang engkau miliki serta muliakanlah guru-gurumu.


Pikiran cerdas yang saya dapatkan dari negeri yang memang telah berhasil membangun pendidikan tersebut, ternyata juga sedikit banyak telah diimplementasikan di berbagai wilayah di tanah air ini. Lembaga pendidikan muncul di mana-mana, sejak dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Melalui lembaga pendidikan tinggi Islam, diharapkan lahir orang-orang yang memiliki beberapa kekuatan sekaligus, yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu pengetahuan, dan kematangan profesional. Setidak-tidaknya keempat kekuatan itu harus dimiliki oleh siapa saja yang menghendaki kemajuan. Kekuatan ilmu semata-mata, tanpa diikuti oleh kedalaman spiritual dan keagungan akhlak akan menyesatkan. Demikian pula kekuatan ilmu dan keluhuran akhlak tanpa diikuti oleh kematangan profesional juga tidak akan membuahkan hasil maksimal. Pendidikan Islam memberikan tuntunan agar kemampuan dzikir, pikir dan amal sholeh dikembangkan secara seimbang dan padu. Masyarakat maju, tenteram dan damai yang dicita-citakan, pada hakekatnya baru akan lahir, jika telah ada orang-orang menyandang keempat kekuatan tersebut, yaitu iman yang melahirkan akhlak yang luhur, ilmu pengetahuan yang melahirkan kecerdasan dan kekuatan profesional. Allah berfirman dalam al Qur’an : “yarfa’illahu alladzi na aamanu minkum walladzina uutul ilma darojah”. Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajad. Saya hormat serta memberikan apresiasi yang tinggi kepada para tokoh bangsa ini, yang telah mengambil kebijakan strategis dalam membangun masyarakat melalui pengembangan lembaga pendidikan di antaranya lembaga pendidikan tinggi Islam di berbagai wilayah.

Banyak ahli mengatakan bahwa pendidikan adalah human invesment. Keyakinan ini sesungguhnya bukan barang baru, termasuk bagi masyarakat awam sekalipun. Sering kali kita dengar, orang tua mengatakan pada anaknya, mereka tidak akan membekali putra putrinya dengan harta kekayaan, melainkan dengan pendidikan. Atas dasar pandangan ini, orang tua yang bersangkutan tidak pernah membatasi tatkala melepaskan harta miliknya jika hal itu untuk membiayai pendidikan bagi putra-putrinya. Ini membuktikan bahwa mereka telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya pendidikan. Orang mengatakan bahwa bekal hidup yang tidak pernah mengenal habis adalah berupa ilmu. Hal itu berbeda jika bekal hidup yang diberikan itu berupa kekayaan harta benda. Berapapun jumlah harta yang dapat diwariskan, akan segera habis jika tidak dibarengi dengan kemampuan mengelolanya. Hal itu sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan, tidak akan ada habis-habisnya sepanjang ilmu itu diamalkan.

Pendidikan memang mahal, apalagi pendidikan tinggi yang berkualitas. Pendidikan tinggi memerlukan sarana dan prasarana serta tersedianya tenaga ahli yang mencukupi. Lebih-lebih lagi, penyelenggaraan pendidikan di alam yang telah mengalami perubahan cepat seperti sekarang ini, tidak akan mungkin mencukupkan apa yang ada. Sarana dan prasarana pendidikan, baik berupa gedung, perpustakaan, laboratorium, apalagi tenaga dosen harus selalu ditingkatkan, baik jumlah maupun kualitasnya. Semua itu memerlukan pendanaan yang tidak sedikit. Itulah sebabnya pendidikan selalu berharga mahal. Selain itu, mengurus lembaga pendidikan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan berani mengorbankan apa saja yang ada. Mengurus pendidikan seharusnya tidak disamakan dengan mengurus bidang-bidang lainnya. Sebab jika gagal, beresiko sedemikian luas dan berpanjangan. Lulusan yang tidak berkualitas, baik dari sisi keilmuan maupun akhlaknya, tidak saja merugikan peserta didik yang bersangkutan, tetapi juga terhadap masyarakat di mana mereka itu tinggal. Lulusan yang rendah kualitasnya hanya akan menambah jumlah pengangguran. Atas dasar itulah maka upaya-upaya meningkatkan kualitas pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, baik para dosen, karyawan, mahasiswa maupun orang tua yang bersangkutan, termasuk para tokoh masyarakatnya. Beban ini amat berat, akan tetapi jika ditangani secara bersama-sama dan sinergis, maka sekalipun berharga mahal, saya yakin masih tetap dapat diselenggarakan sebaik-baiknya.

Untuk memajukan lembaga pendidikan, sebagai syarat utama yang harus ada, adalah suasana kesatuan dan kebersamaan. Saya miliki pengalaman memimpin lembaga pendidikan tinggi, -------tidak kurang dari 25 tahun, yang saya rasakan adalah betapa pentingnya melakukan konsulidasi internal secara terus menerus. Saya merasakan bahwa salah satu kunci keberhasilan dalam memajukan lembaga pendidikan adalah kesatuan di antara internal warga lembaga pendidikan itu sendiri. Kelihatannya persoalan ini sederhana, tetapi saya merasakan justru menunaikan tugas menyatukan seluruh komponen internal inilah tergolong pekerjaan yang amat sulit dilakukan. Oleh karena itu saya berani mengatakan bahwa hambatan dan bahkan ancaman utama sebuah lembaga pendidikan, bukan bersumber dari eksternal kampus melainkan justru berasal dari internalnya. Apabila konsulidasi internal ini bisa dibangun secara terus menerus, saya berani mengatakan bahwa lebih dari 80 persen keberhasilan itu sudah dapat diraih. Oleh karena itu maka ta’aruf di antara seluruh warga kampus ini menjadi kunci kemajuan dan keberhasilan yang akan diraih. Ta’aruf yang intensif akan melahirkan tafahum, yang selanjutnya akan membuahkan tadhommun. Suasana tadhommun akan melahirkan tarrokhum dan tarokhum akan melahirkan suasana ta’awun yang diperlukan untukpengembangan perguruan tinggi Islam ini. Saya tidak pernah melihat faktor eksternal mengganggu laju pertumbuhan kampus, tetapi yang justru menjadi contrain itu berasal dari internal masing-masing lembaga pendidikan. Oleh karena itu, aktifitas ta’aruf untuk membagi informasi sekecil apapun menjadi sangat penting dilakukan secara terus menerus.

Selanjutnya, hal lain yang perlu dikemukakan terkait dengan upaya membangun kualitas pendidikan, terlebih lagi pendidikan tinggi Islam adalah membangun aspek kulturalnya. Pendidikan adalah sebuah proses pembiasaan dan ketauladanan. Lulusan perguruan tinggi agama Islam tidak saja dituntut oleh masyaakat agar memiliki sebatas ketajaman analisis sebagai tanda yang bersangkuan memiliki kekuatan akademik, melainkan mereka juga dituntut memiliki kemampuan melakukan peran-peran kepemim pinan keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat ternyata memiliki ukuran-ukuran tersendiri dalam menentukan kualitas produk pendidikan, yang kadangkala berbeda dengan ukuran-ukuran yang dipegangi oleh kampus. Jika di kampus seorang mahasiswa dianggap pintar jika berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dosen atau berhasil menyusun karya ilmiah seperti makalah, laporan penelitian, skripsi atau sejenisnya, maka tidak demikian masyarakat melihat kualitas lulusan itu. Sebaik apapun Indek Prestasi yang diraih oleh lulusan perguruan tingi Islam, jika yang bersangkutan tidak berani melakukan peran-peran kepemimpinan ritual keagamaan, misalnya khotbah jum’at/hari raya, menjadi imam sholat berjama’ah, merawat janazah, ceramah agama dan semacamnya, akan dianggap kualitas lulusan itu masih rendah. Untuk membangun kemampuan itu tidak mungkin ditempuh melalui kuliah di ruang kelas, melainkan harus dilatih dan dibiasakan dalam waktu yang lama pada kehidupan nyata sehari-hari. Kemampun itu hanya dapat dibangun melalui proses pembiasaan dan ketauladanan dari para pimpinan dan seluruh dosen, karyawan dan bahkan siapa saja penghuni kampus ini. Oleh karena itu kegiatan keagamaan semacam itu, yang selanjutnya saya sebut seharusnya dijadikan sebagai bagian dari bangunan kultur kampus, saya rasakan sangat penting dibina secara istiqomah, agar membuahkan kemampuan, perilaku atau kharakter yang utuh, yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagaimana digambarkan itu. .

Membangun perguruan tinggi Islam memang berat, tetapi usaha itu sangat mulia. Saya selalu menyebut, perguruan tinggi adalah merupakan persemaian pemimpin masyarakat masa depan. Masyarakat selalu tergantung pada para pemimpinnya. Karena itu, jika kita semua mengidam-idamkan lahir masyarakat yang maju, damai, adil dan makmur, maka persiapkanlah para pemimpin yang berkualitas. Mempersiapkan pemimpin yang baik di masa depan, maka kuncinya adalah membangun perguruan tinggi yang berkualitas. Saya selalu yakin, lembaga pendidikan berkualitas akan dapat diwujudkan oleh siapa saja dan dimana saja, asal dilakukan dengan penuh kesabaran, keikhlasan, pandai bersyukur, tawakkal dan istiqomah dan itu semua dilakukan hanya berharap ridho Allah swt. Sebagai bekal untuk memajukan kampus tuntunan al Qur’an, setidak-tidaknya ayat-ayat pertama yang diturunkan oleh Allah swt, sangat penting untuk dijadikan petunjuk dan pegangan. Melalui beberapa ayat, al Qur’an pertama kali menyeru agar selalu ber qiro’ah ---membaca ayat-ayat qouliyah maupun ayat-ayat kauniyah, untuk melahirkan kesadaran menuju kebangkitan. Untuk memperjuangkan hal yang mulia ini, kita diingakan oleh Allah, agar mampu menghindari segala apa saja yang bernuansa merusak ---warrujza fahjur, wala tamnun tastaktsir. Selain iu dalam berjuang untuk kemuliyaan Islam kita diingatkan oleh Allah dengan ayat : Warabbaka fakabbir, walirabbika fashbir. Mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan kekuatan dan petunjuk-Nya kepada kita dan semua yang pada saat ini sedang gigih memajukan perguruan tinggi Islam, dengan tujuan yang amat mulia yaitu ingin membangun peradaban yang lebih maju, adil dan jujur. Allahu a’lam


5. Kontradiksi Pendidikan Tinggi

Oleh Veri Nurhansyah Tragistina • 2nd Mar, 2008 • Kategori: Opini •Dilihat:1,144 views •Kirim:Email This Post Email This Post

Pasca didengungkannya konsep BHMN pada Perguruan Tinggi (PT) di beberapa PTN, pendidikan kian dihakimi masyarakat sebagai alat diskriminasi bangsa. Kenyataanya memang demikian. Tengoklah besaran tunggakan mahasiswa UNPAD yang mencapai 15 Milyar rupiah yang penyebabnya disinyalir akibat faktor ekonomi sehingga tak mampu membayar iuran pendidikan.

Fakta ini sedikit memberikan gambaran umum kondisi mahasiswa di pelbagai PT di Indonesia. Kondisi makro-ekonomi yang kian tidak bersahabat kian merajam kalangan menengah bawah dalam mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini diperparah oleh pengurangan subsidi pemerintah pada pembiayaan pendidikan tinggi hingga birokrat kampus tak kuasa untuk menjadikan mahasiswa sebagai sumber utama pembiayaan PT.

Realitas ini kontradiktif dengan filosofis pendidikan itu sendiri. Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial Budaya (EKOSOB) tahun 1996, hak mengenyam pendidikan adalah hak paling mendasar yang harus dienyam oleh manusia. Dalam konteks ini, negara mutlak mengusahakannya.

Realitas pendidikan tinggi yang kian diskriminatif seakan menenggelamkan asa pedagogis kaum marginal. Mereka kian sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi di PT berkualitas. Tengoklah komposisi mahasiswa UI saat ini yang disinyalir 90 persen-nya adalah mahasiswa dari Jabodetabek yang borju. Dengan realitas yang demikian, konsep education for all seolah menjauh dari ekspektasi semula.

Kaum “Minority Negasive”

Berdasarkan rapid assessment yang dilakukan secara keroyokan oleh Depdiknas, Bappenas dan World Bank menunjukkan hasil bahwa pada tahun 2015 hanya sekitar 25 persen masyarakat kita yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari hasil ini setidaknya untuk beberapa tahun ke depan mahasiswa tetaplah kaum minoritas di negeri ini.

Sebagai minoritas, eksistensi mahasiswa justru menjadi penting dalam pergerakan bangsa ini. Tingkat intelektualitas yang tinggi dan semangat idealisme yang masih berkobar menjadi tumpuan masyarakat untuk menabuh genderang perubahan di negeri ini. Tak heran dalam beberapa penggalan sejarah, mahasiswa menjadi garda paling depan dalam melakukan revolusi rakyat. Dengan demikian, walaupun minoritas, mahasiswa kerap menegasikan diri dengan kemunafikan kaum mayoritas.

Dalam hal ini fungsi pendidikan sebagai the most powerfull things yang didengungkan Gayatri Spivak seolah mendapat pembuktian. Eksistensi mahasiswa adalah eksistensi kaum terdidik yang mampu menjadi penyeimbang kekuasaan dalam konteks kontrol sosial. Maka begitu vital peran mahasiswa dalam menjaga kuasa dari rongrongan absolutisme.

Kini, peran yang vital tersebut teancam tercerabut dari habitatnya akibat biaya perkuliahan dan beban hidup begitu hebat mendera sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Disadari atau tidak, realitas ini kian menjauhkan mahasiswa dari fungsi sosial yang harus diembannya. Kini, mahasiswa justru banyak yang berjuang dalam aras berfikir pragmatis-individualistik demi menyelematkan hidupnya secara personal.

“Dipaksa” Menjadi Buruh

Diakui atau tidak, realitas pendidikan tinggi yang memberatkan ini membuat mahasiswa berusaha dalam ragam cara untuk menyiasatinya. Banyak yang lari untuk bekerja part-time atau berwirausaha secara mandiri. Pada satu sisi hal ini patut dibanggakan karena membuktikan kemandirian kita sebagai penggerak zaman.

Namun, pada sisi lain, realitas ini justru kerap membuat kita menjadi pragmatis. Kita menjadi tegoda hanya untuk memikirkan materi dan materi. Kuliah bahkan terbengkalai apalagi tanggungjawab kepada masyarakat. Kecenderungan seperti ini terbaca oleh Dudley Erskine Devline dari Colorado State University (1980). Dalam artikelnya berjudul “Bussiness and Education in America”, ia menyatakan bahwa mahasiswa-pekerja memiliki kecenderungan untuk terkosentrasi memikirkan uang. Parahnya, uang tersebut seringkali tidak dipakai untuk hal yang tidak semestinya, taruhlah untuk membeli kosmetik atau hura-hura.

Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan tinggi di negeri ini setidaknya menimbulkan efek dalam 2 hal. Pertama, mengikis kesempatan kaum marginal dalam mengeyam pendidikan. Kedua, menumbuhkan sikap pragmatis-individualistik mahasiswa. Pendidikan pun kontradiktif dari tujuannya yaitu mencetak manusia yang tinggi secara intelektual dan juga memiliki kesadaran sosial yang tinggi atas nasib bangsanya.

Suatu kerugian besar jika ini terjadi kelak. Sampai para penentu kebijakan pendidikan tinggi sadar untuk melakukan reka ulang atas konsep PT beserta mekanisme pembiayaan pendidikan tinggi itu sendiri.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda