iTs mE a_Ry...

Sabtu, 02 Mei 2009

PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

1. Upaya Pemberian Layanan Pendidikan

Judul: Upaya Pemberian Layanan Pendidikan
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih
Saya Guru di SDN Anjasmoro Semarang
Topik: ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Tanggal: 8 Juli 2008
Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Anak adalah buah hati dalam setiap keluarga. Tanpa anak, keluarga akan terasa sepi, gelap, dan tanpa warna. Tak heran jika ketemu teman lama yang pertama kali terlontar adalah pertanyaan berapa anakmu sekarang? Bukan berapa mobilmu, rumahmu atau yang lainnya.

Sering terdengar ungkapan anak adalah titipan dari yang Maha Pencipta, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya, berilah tempat yang paling baik, jadikanlah manusia yang berguna karena anak itu terlahir suci adanya seperti kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi penuh warna tergantung pada orang tua dan lingkungan yang akan memberi warna maupun coretan pada kertas tersebut.

Interaksi anak dengan orang tua ketika di rumah, dengan guru dan teman ketika di sekolah dan dengan tetangga atau orang lain ketika di masyarakat akan membentuk berbagai karakter dalam diri anak tersebut. Ada yang pendiam, periang, egois, peramah, cerdas, bodoh, pemurung, sosial dan sebagainya. Semua karakter-karakter ini tentunya sebagai akibat dari proses pewarnaan pada diri anak.

Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat, baik cacat fisik maupun mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak berkebutuan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus kemudian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan.

Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah bagaimana upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus?

3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus.

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara teoretis, untuk mengkaji upaya dalam memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Secara praktis, bermanfaat bagi:
(1) para pendidik untuk memperhatikan dan memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus,
(2) mahasiswa agar memahami cara memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus.

B. PEMBAHASAN

Always say you yes for children. Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut.

Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman.

Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik.

Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi.

Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119).

Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut.

Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi.

Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri.

Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu :

1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan.

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus.

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53

4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat.

5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004.

Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya:

1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus.

2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran."

3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus.

Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan :
(1) kerja sama dengan orang tua,
(2) kerja sama antara guru,
(3) kerja sama organisasi profesional,
(4) kerja sama dengan masyarakat.

Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat.

C. PENUTUP

1. Simpulan

Anak berkebutuhan khusus hendaknya memperoleh pelayanan secara khusus. Apapun upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di antaranya:
(1) menindaklanjuti landasan yuridis,
(2) menindaklanjuti Konvensi hak anak,
(3) Melakukan kerjasama dengan orang tua, guru, organisasi profesional, dan masyarakat.

2. Saran

Pentingnya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya para guru mampu memberikan layanan secara khusus pada anak-anak yang membutuhkan sehingga anak-anak tersebut tidak kehilangan hak-haknya. DAFTAR PUSTAKA

Kartono Kartini, 1995. Psikologi Anak. Bandung, Mandar Maju.

Sularto St, 2003. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Jakarta, Buku Kompas.

Suyanto Slamet, 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta, Hikayat.

Suparno, 2007. Pendidikan anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas
Saya Rustantiningsih setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

2.LAYANAN PENDIDIKAN

Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru
Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.
Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.
”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.
Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.
Tumbuh dari masyarakat
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.
Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.
Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.
Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.
Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.
”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.
Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)


3. Anak Nelayan Terima Layanan Khusus

Muaraangke, Warta Kota

Anak-anak yang tinggal di perkampungan nelayan Muaraangke, Penjaringan, Jakarta Utara, membutuhkan perlakukan khusus. Pasalnya, anak-anak tersebut tinggal bersama orangtua yang tergolong miskin dan tidak bisa memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka juga tergolong sulit untuk bersekolah.

Atas pertimbangan itu, Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Lentera Bangsa menyelenggarakan pendidikan untuk anak-anak nelayan di Blok Empang, Kampungbaru, Muaraangke. Sebanyak 180 anak usia TK hingga SMA bersekolah di sekolah khusus tersebut. Mereka tanpa berseragam sekolah bisa menikmati pendidikan layaknya di sekolah formal.

Khaerul (10), salah satunya. Siswa kelas 4 SD ini sangat senang bisa bersekolah di PLK Lentera Bangsa. Alasannya, dia bisa belajar menggunakan komputer. ”Baru bisa pakai komputer sedikit,” ucapnya saat ditemui Warta Kota di Muaraangke, Rabu (8/4).

Selain itu, Khaerul bisa menambah pengetahuan pendidikan formal, seperti matematika, bahasa Indonesia, dan IPA di sekolah tersebut. Darsidah (48), orangtua Khaerul, ingin agar anaknya bisa terus bersekolah, selama sekolah itu tidak memungut biaya. ”Kalau harus pakai biaya, duit darimana,” ucapnya.

Dikatakan Darsidah, penghasilan suaminya sebagai kuli dorong gerobak ikan tidak memadai untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. ”Kalau ada pekerjaan, paling sehari dapat Rp 50.000,” katanya.

Bangunan sekolah di PLK Lentera Bangsa tidak seperti sekolah umumnya. Sekolah yang berdiri dua tahun terakhir itu dibangun di atas empang. Jika hujan, jalanan di sekitar sekolah becek. Akibatnya, sandal atau sepatu anak-anak pun tebal dengan tanah cokelat. Ibu-ibu yang mengantar sekolah anaknya biasanya tanpa alas kaki atau memakai sepatu boot.

”Yang penting anak bica cari ilmu,” ujar Rohani (30) yang dua anaknya duduk di bangku TK PLK Lentera Bangsa.

Bangunan sekolah dibuat dari bilah-bilah bambu, jendela dari kawat, lantai dari kayu, dan atap dari asbes. Bangunan sekolah yang luasnya sekitar 36 meter persegi itu terbagi dua ruang. Setiap ruang memiliki dua papan tulis. Guru yang siap sedia mengajar ada 6 orang, termasuk 3 mahasiswa yang mendapat beasiswa dari Lentera Bangsa.

Selain memberikan pendidikan formal, Lentera Bangsa juga memberikan pendidikan keterampilan, seperti perbengkelan dan cuci motor atau mobil. ”Kami juga akan memberikan keterampilan tata boga dan tata busana, tapi peralatannya belum ada dan sedang diusahakan,” ucap Saefudin Zuhri, Ketua PLT Lentera Bangsa.

Dia mengatakan, untuk membawa anak-anak mau bersekolah, bukan perkara mudah, walaupun sekolah gratis. Zuhri dan teman-temannya harus terus membujuk agar para orangtua menyekolahkan anak-anaknya.

Biaya operasional itu diperoleh Saefudin dari para donatur dan blockgrand dari pemerintah Rp 50 juta per tahun.

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, Ekodjatmiko Sukarso, mengatakan, anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar melalui PLK. (Intan Ungaling)


4. Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah

Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)
(uchie)

Sumber: kompas cyber media


5. Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Ditulis oleh Rahmintama


Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.
Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu
Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.
"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.
Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.
Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.
Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.
Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.
Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.***(rht)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda