iTs mE a_Ry...

Sabtu, 02 Mei 2009

PENDIDIKAN INFORMAL

1. Pendidikan Informal Perlu Diperhatikan

Singkawang,- Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)

< Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)


2. Pendidikan Interventif Sebagai Alternatif Dalam Pendidikan Keluarga
Oleh: Dra. Djauharah Bawazir

Latar Belakang
Ditinjau dari sila pertama dari dasar negara kita yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan kesempatan untuk rakyatnya melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, maka model sistem Pendidikan yang dikemukakan ini adalah model sistem pendidikan yang ditinjau dari sudut Agama Islam.

Dalam Islam, peran ibu sangat penting, karena ia adalah pelahir manusia pembina dan pengurus generasi. Nabi mengatakan bahwa ibu adalah tempat pendidikan anaknya. Menyiapkan ibu dengan baik sama dengan menyiapkan suatu bangsa yang mempunyai moral yang baik.

Pendidikan dalam keluarga harus mengacu pada pendidikan agama sehingga menampakkan kondisi moral yang terpuji. Pendidikan agama di dalam keluarga yang sekarang ini dilaksanakan, pada umumnya adalah pendidikan tentang pelaksanaan ritual peribadatan, sedangkan tingkah laku para anggotanya dibiarkan mengikuti keadaan zaman walaupun seringkali bertentangan dengan aturan agama.

Pendidikan agama haruslah mengacu pada perbuatan beribadah, yaitu menyerahkan diri kepada Allah, dengan konsekuensi rela melakukan semua perbuatan demi Allah dan sesuai dengan ketentuan Allah. Allah memberikan aturan dalam kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memberikan aturan-aturan pada setiap langkah. Langkah yang dilakukan dari bangun tidur sampai menjelang tidur, begitu juga dalam perbuatan yang berhubungan dengan lingkungan, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam bekerja dan mengabdi pada negara.

Pengertian Pendidikan Interventif
Pendidikan Interventif adalan pendidikan yang mengacu pada pemeliharaan fitrah anak yang memiliki potensi sebagai hamba Allah dan calon khalifah Allah. Dengan demikian maka pendidikan interventif harus mampu mengantarkan anak agar menjadi makhluk religius yang selalu melakukan hubungan dengan Allah (habluminallah) dan makhluk sosial yang selalu melaksanakan hubungan kemanusiaan (hablumminannas). Pndidikan Interventif merupakan pendidikan yang mengintervensi penddikan Islam yang selama ini dilakukan oleh orang tua di rumah.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Interventif adalah pendidikan agama Islam di rumah yang bukan sekedar melaksanakan ritual peribadatan, namun pendidikan untuk beragama dalam arti yang sebenarnya, meliputi pemantapan keyakinan (aqidah), melaksanakan peribadatan baik ritual maupun pemahaman kaidah (ibadah) serta pelaksanaan dan implementasi dari pemahaman arti ibadah yang berbentuk pelaksanan perbuatan terhadap lingkungannya (muamalah).

Landasan Dasar Pendidikan Interventif
Landasan dasar dari tata cara kehidupan manusia adalah Al-Qur’an dan Hadist. Ayat-ayat Al-Qur’an bukan dimaksudkan untuk dibaca dalam satuan waktu namun merupakan landasan dari seluruh sistem kehidupan.
Tentang hakekat kehidupan ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an : “ Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia , melainkan untuk berbakti (beribadah) kepadaKu “ (QS.51 : 56). Konsep ibadah yang disebut dalam ayat di atas mengandung arti menyerahkan diri kepadaNya dan berperilaku sesuai dengan ajaranNya. Ha ini sesuai dengan firman Allah : “Katakanlah : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta Alam.” (Q.S. 6 : 162).

Khusus mengenai masalah pendidikan, landasan yang dipakai di sini adalah :
1. Surat Al Baqarah ayat 30 (manusia diciptakan sebagai khalifah).
2. Surat Adhariyaat ayat 56 (manusia diciptakan untuk berbakti kepada Allah).
3. Surat Luqman ayat 12-17 (Pendidikan Luqman pada anaknya).
4. Surat Shaffaat ayat 100 – 103 (Pendidikan Nabi Ibrahim kepada Ismail).
5. Surat Al-Ahqaaf ayat 15 (Pendidikan Nabi Daud kepada Nabi Sulaiman).

Pentingnya Pendidikan Interventif
Kepada anak perlu diberikan pendidikan moral yang tidak hanya mengikat dirinya dengan kehidupan sosial siantara manusia, melainkan 1) mendudukkan dirinya sebagai bagian dari sistem ciptaan Allah ; 2) mendudukkan dirinya sebagai makhluk yang selalu terikat dengan khaliknya. Sebagai makhluk yang diciptakan anak harus selalu tunduk pada yang menciptakannya. Selanjutnya sebagai makhluk yang bermoral, anak harus didik untuk mampu mengaplikasikan keterikatan dan ketundukannya kepa Allah dalam kehidupan sehari-hari. Apabila hal ini terlaksana, maka terwujudlah suatu bangsa yang bermoral dengan moral yang sesuai dengan tuntutan agama yang dianutnya (Islam).

Dengan mengikuti sistem pendidikan yang Islami anak akan mandiri dan dewasa secara moral pada saat ia mencapai aqil balig, atau selambat-lambatnya pada umur 15 tahun. Oleh karenanya materi pendidikan moral beserta metodologinya harus dipersipkan sedemikian rupa, sehingga pada umur 15 tahun ia bisa mencapai dewasa secara moral; yang berarti tidak perlu lagi dikhawatirkan terjadinya masalah-masalah sosial terutama pada usia puber.

_______________________
Untuk sementara, sampai saat ini sejak tahun 1994 telah di kembangkan Model Sistem Pendidikan Interventif yaitu model Pendidikan Islam yang di integrasikan dengan pendidikan informal di rumah. Sedangkan sejak tahun 2000 telah dikembangkan Model Sistem Pembelajaran Kreatif Imajinatif yang diterapkan di Taman Kanak-kanak. Pada tahun 2007 diluncurkan Model Sistem Pendidikan Bunyan, yaitu Pendidikan Interventif di rumah dan Pembelajaran Kreatif Imajinatif di sekolah.

Model Sistem Pendidikan Interventif adalah model sistem pendidikan yang mengacu pada pemeliharaan fitrah anak yang memiliki potensi sebagai hamba Allah dan calon khalifah Allah. Model Sistem Pendidikan Interventif akan mengantarkan anak agar menjadi:
1. Makhluk religius yang selalu melakukan hubungannya dengan Allah atau hablumminallah.
2. Makhluk sosial yang selalu melaksanakan hubungan sesama manusia atau hablumminannaas.

Model Sistem Pendidikan Interventif adalah merupakan:
1. Suatu model untuk menyusun program pendidikan sesuai dengan kebutuhan orang tua dalam meningkatkan cara pendidikan awal pada anak-anaknya.
2. Suatu model mengajar belajar bagi orang tua sesuai dengan minat dan pengetahuan yang dimiliknya.
3. Suatu model pembinaan yang terkoordinasi, terarah dan dapat di selenggarakan secara berkelanjutan oleh semua keluarga Indonesia yang beragama Islam.
4. Suatu untuk mekanisme kerja dalam menyusun dan melakukan setiap kegiatan pembangunan yang di arahkan untuk mengatasi masalah penghayatan dan pengalaman iman Islam.

______________
Disampaikan pada acara seminar di Universitas Djuanda pada tanggal 21 Agustus 2001 dan pada acara pertemuan karyawan karyawati PT Satelindo pada tanggal 10 September 2001

(admin) — Kamis, 19 Juni 2008
Copyright © 2006-2009 : PT. BUNYAN ANDALAN SEJATI
Jl. Wedana Dalam 12A RT.08/01 - Balimester Jatinegara - Jakarta Timur 13310 - Indonesia | Tel/fax (+6221) 852-0076


3. Program Pendidikan Gratis Belum Menyentuh Pendidikan Luar Sekolah
Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan hingga saat ini belum menyentuh peserta didik tidak mampu yang ikut dalam program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
“Selama program pendidikan gratis belum menyentuh peserta didik kesetaraan, kami yakin program itu belum tepat sasaran,” kata Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan kota Makassar, Zainal Abidin di Makassar, Selasa.
Dia menyayangkan, sikap pemegang kebijakan ditingkat Diknas pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Sulsel yang masih menganggap pendidikan luar sekolah (non-formal) tidak berhak diikutkan dalam program pendidikan gratis yang telah dicanangkan pemerintah provinsi Sulsel pada tahun ini.
Padahal, lanjutnya, pendekatan masyarakat yang belum tersentuh dengan pendidikan formal seperti masyarakat pemulung, pengemis, gelandangan, anak jalanan, serta masyarakat kepulauan sangat efektif bila memanfaatkan jalur pendidikan non-formal.
“Pejabat dilingkup dinas pendidikan hanya memfokuskan program itu ke pendidikan formal, sementara pendidikan formal hanya sebagian saja yang mampu menyerap peserta didik dari golongan tidak mampu,” ujarnya.
Program pendidikan gratis dikhawatirkan akan mengalami ketimpangan apabila pemerintah tidak segera menyentuh masyarakat golongan yang tidak mampu yang telah lama menjadi peserta didik pendidikan non-formal melalui kegiatan belajar kesetaraan yakni pendidikan kejar paket A, B, dan C.
“Masih banyak pejabat di lingkup Diknas daerah yang belum memahami keberadaan pendidikan kesetaraan atau non-formal,” ungkap Zainal.
Hal ini terlihat dari alokasi APBD kota Makassar tahun anggaran 2009 tidak mencapai satu persen yang dialokasikan untuk program pendidikan luar sekolah.
Total APBD Makassar 2009 untuk sektor pendidikan yang mencapai Rp143 miliar, hanya Rp1 miliar diantaranya yang dianggarkan untuk pendidikan luar sekolah.
“Itulah wajah APBD kita, yang belum menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat tidak mampu. Kami tidak bisa berbuat banyak dengan alokasi anggaran tersebut,” katanya.
Zainal menyayangkan, program “Life Skill” pendidikan kesetaraan yang ditawarkan pada pembahasan Rancangan APBD Makassar 2009 yang lalu, ditolak oleh angggota DPRD Makassar dengan alasan anggaran tahun ini akan difokuskan pada pembiayaan program pendidikan gratis.
Padahal, program “Life Skill” itu untuk memberikan bekal keahlian bagi peserta didik kesetaraan untuk dapat diperhitungkan dalam dunia kerja seperti kursus merias, merangkai bunga, menata rambut bagi wanita dan sablon, kursus teknisi elketronika bagi laki-laki serta kegiatan pengembangan keahlian diri lainnya.
Sementara, usulan program pelatihan kepala sekolah yang diajukan bersamaan dengan program pelatihan PLS justru memperoleh tanggapan positif dari anggota legislatif kota Makassar.
“Kami sudah tidak bisa lagi melihat prioritas pemerintah dalam merumuskan program pendidikan di daerah ini,” ujarnya Selain itu, dia juga menyayangkan, alokasi anggaran peserta didik di Makassar hanya difokuskan bagi siswa/siswi yang terdapat di pendidikan formal, sedangkan peserta didik non-formal yang mencapai ribuan peserta didik hingga kini belum tersentuh dana sharing pendidikan gratis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
“Seharusnya mereka paham, peserta didik pendidikan kesetaraan keseluruhan adalah orang yang tidak mampu, sementara peserta didik pendidikan formal hanya mampu menyerap sekitar 70 persen saja peserta didik yang golongan tidak mampu,” katanya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel mengalokasikan dana Rp165 miliar untuk penyelenggaraan pendidikan gratis tingkat dasar di Sulsel.
Dana tersebut dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2009 dan akan dilakukan sharing dana dengan pemerintah kabupaten/kota.
Total dana yang akan dikucurkan selama setahun, yaitu Rp420 miliar dan merupakan hasil sharing dana dengan perbandingan 40:60 untuk kabupaten/kota.
Kepala Dinas Pendidikan Nasional Sulsel, Patabai Pabokori mengatakan, dengan jumlah tersebut, kuota alokasi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBD telah terpenuhi.
“Pemprov hanya menyiapkan Rp165 miliar. Sementara menjalankan program pendidikan gratis selama 2009 dibutuhkan dana Rp420 miliar,” ujarnya.(Ant).


4. Menuju Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Perumusan yang demikian ini tampaknya menjadi keyakinan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (the founding fathers) bahwa melalui pendidikanlah bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diyakini akan menghasilkan bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All”. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan Indonesia mensukseskannya, maka Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984 dan 10 berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15 tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.

Berbagai program yang diarahkan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di berbagai negara adalah mengenai anak-anak yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SD sehingga mereka ini menjadi warga negara yang buta aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke dalam kelompok tenaga kerja kasar.

Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga negara dapat memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.

Sebagai unit organisasi sosial terkecil, orang tua dari setiap keluarga tergugah dan terpanggil untuk setidak-tidaknya membimbing dan membelajarkan anak-anaknya, baik melalui pendidikan formal persekolahan, lembaga pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk belajar melalui lembaga pendidikan sekolah sudah jelas yaitu mulai dari taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan lain hal, seorang anak tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada pendidikan non-formal, seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang anak tidak memungkinkan juga mengikuti pendidikan melalui pendidikan formal dan non-formal, maka masih ada model pendidikan alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini, orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang menyelengggarakan “Sekolah di Rumah” dan kemudian mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di lembaga atau unit pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan SD, SMP atau SMA.

Pada satuan lembaga, baik yang sepenuhnya bernafaskan pendidikan maupun yang tidak, hendaknya memiliki komitmen yang sama yaitu untuk membelajarkan anak-anak dari orang tua yang bekerja pada masing-masing lembaga. Bentuk komitmen dari lembaga tidak harus dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan tetapi dapat saja dalam bentuk beasiswa. Bagi lembaga industri atau perusahaan, bentuk komitmennya dapat saja dalam bentuk pemberian beasiswa atau berfungsi sebagai orang tua asuh setidak-tidaknya bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja di industri atau perusahaan.

Apabila semua komponen bangsa bergerak serempak bagaikan sebuah orkestra, masing-masing komponen bangsa memberikan yang terbaik yang ada padanya demi pencerdasan kehidupan bangsa, maka tidak akan diragukan lagi bahwa orkestra akan menghasilkan/ memberikan lagu yang terbaik (the best). Analoginya di bidang pendidikan, bahwa melalui gerakan masyarakat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri menerapkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka penuntasan wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun akan dapat lebih cepat tercapai.

Seiring dengan rencana alokasi anggaran untuk sektor pendidikan pada APBN Tahun 2009 sebesar 20%, tentunya diharapkan akan dapat lebih mempercepat penuntasan Wajib Belajar 6 dan 9 Tahun serta terbuka kemungkinan untuk mempersiapkan pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun. Dengan menjadikan pendidikan sebagai gerakan masyarakat dan ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta komitmen untuk mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka dalam beberapa tahun ke depan diharapkan hasil atau dampaknya dalam bentuk keunggulan kompetetif akan dirasakan secara nasional dan juga diapresiasi secara regional/internasional.

Oleh: Sudirman Siahaan

Sumber : e-dukasi.net

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda