iTs mE a_Ry...

Minggu, 10 Mei 2009

PENDIDIKAN DASAR

1. Dukung Pendidikan Dasar Gratis
Oleh arif
Selasa, 06 Januari 2009 05:11:59
Fokus pada Pendidikan Berkualitas

Pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan berkualitas harus menjadi komitmen pemerintah. Dukungan untuk penyelenggaraan wajib belajar SD-SMP gratis justru harus semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

”Untuk persoalan pendanaan pendidikan dasar, UU BHP bisa dikatakan menghapus ketidakkonsistenan aturan lain. Di sini ditegaskan pemerintah harus menanggung biaya pendidikan dasar. Dukungan pemerintah untuk sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar juga harus ada,” kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Senin (5/1) di Jakarta, dalam acara konsultasi pakar pendidikan menguji UU BHP yang dilaksanakan Education Forum.

Tanggung jawab pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar di sekolah swasta meliputi biaya operasional dan beasiswa. Selain itu, pemerintah berkewajiban memberikan bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sehingga menikmati layanan pendidikan sesuai dengan standar nasional.

Di level SD-SMP

Di sisi lain, Abbas mengingatkan, pencapaian pendidikan dasar berkualitas masih dipertanyakan.

Di pihak lain, pemerintah justru berorientasi pada pencapaian statistik semata. Fokus pada pendidikan dasar gratis dan berkualitas ini harus dilakukan karena secara umum pendidikan masyarakat Indonesia masih di level SD atau di tahun pertama SMP.

Chitra Hariyadi dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengatakan, pencapaian pendidikan dasar secara kuantitatif dan kualitatif pada kenyataannya masih rendah.

Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kebutuhan birokrasi, sedangkan pemerintah daerah masih mengandalkan kucuran dana dari pusat.

Sementara itu, persiapan untuk uji materiil UU BHP terus dilakukan Education Forum. Pakar pendidikan Soedijarto, Winarno Surachmad, dan Utomo Dananjaya meyakini penerapan BHP hanya akan menimbulkan masalah dan tidak memecahkan persoalan keterpurukan pendidikan di negara ini.

Sumber: kompas.com/(ELN)
Edisi: Selasa, 6 Januari 2009


2. Mendiknas: Pendidikan Dasar Gratis Bisa Dilaksanakan
By admin
Wednesday, February 18, 2009 06:58:00

Rabu, 18 Februari 2009 06:58 WIB

Mendiknas: Pendidikan Dasar Gratis Bisa Dilaksanakan

SEMARANG--MI: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan pendidikan dasar gratis dapat dilaksanakan karena telah dijamin dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20/2003.

Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, karena program wajib belajar merupakan tanggung jawab negara, kata Mendiknas. Namun, kata Mendiknas, penyelenggaraan pendidikan dasar gratis perlu diberi batasan yang jelas disesuaikan dengan APBD masing-masing daerah.

Beberapa daerah juga telah melaksanakan pendidikan gratis, antara lain Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, katanya di Semarang, Selasa (17/2).

DKI Jakarta, kata Mendiknas, memang masih membatasi pendidikan gratis untuk sekolah negeri, tetapi di Jawa Barat dan Kalimantan Timur sudah melaksanakannya untuk sekolah negeri maupun swasta. Selain itu, kata Mendiknas, biaya operasional sekolah (BOS), termasuk BOS buku, per siswa/tahun mengalami peningkatan secara signifikan mulai bulan Januari 2009. SD di kota mendapatkan Rp400.000, SD di kabupaten mendapat Rp397.000, SMP di kota Rp575.000, dan Rp570.000 untuk SMP di kabupaten, katanya.

Dengan adanya kenaikan BOS, lanjutnya, maka semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali untuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Ia menjelaskan, pemda juga wajib mengendalikan pungutan biaya operasional di SD dan SMP swasta sehingga siswa miskin terbebas dari pungutan tersebut dan tidak ada pungutan berlebih terhadap siswa yang mampu.

Pemda, kata Mendiknas, juga wajib mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan BOS tahun 2009, memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pelanggaran dan memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD apabila BOS dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) belum mencukupi. Tetapi, sumbangan suka rela dan tidak mengikat kepada sekolah tetap perlu dihidupkan untuk menunjang kegiatan pendidikan, kata Mendiknas. (Ant/OL-06)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NjEyODg=


3.Pendidikan Dasar Bukan Hak Hukum? Addendum artikel Asvi Warman Adam


Dr. Asvi Warman Adam telah mengajak kita kembali merenungkan situasi bangsa ini, dengan mengetengahkan dua fakta: miskinnya kebanyakan orang Indonesia dan mahalnya biaya pendidikan di Negeri ini. Dalam artikelnya di Media Indonesia (3/9) ia menulis ulang kisah Haryanto (12 tahun), pelajar kelas VI SD di Kabupaten Garut, yang nekad gantung diri karena tidak mampu membayar Rp 2.500 untuk kegiatan ekstrakulikuler. Anak ini malu karena ibunya tak ada uang untuk membayar kegiatan membuat sulaman burung disekolahnya. Sehari-hari, sang Ayah, bermata pencaharian buruh pikul di Pasar Garut, hanya memperoleh pendapatan Rp 20.000 sehari.

Menurut penulis, setidaknya ada 2 upaya pencegahan agar tragedi tersebut tidak terjadi. Pertama, peristiwa tragis semacam kasus Haryanto, dapat dipecahkan antara lain dengan kemauan Negara untuk memproteksi setiap warga negaranya. Lingkaran setan di bidang pendidikan seperti yang dikemukakan Asvi, menuntut obligasi Negara yang aktif. Dalam disiplin HAM, obligasi dibidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak-hak ekosob) mewajibkan Negara melakukan implementasi dari 3 jenis obligasi HAM yakni promosi, perlindungan dan pemenuhan. Pemenuhan hak asasi manusia, mempunyai dua makna: memfasilitasi dan menyediakan hak asasi bagi setiap warga Negara. Keberlakuan ini melekat juga pada issu hak atas pendidikan setiap individu.

Kedua, tragedi “Haryanto” bisa dicegah kalau korupsi diberantas di Negeri ini. Katarina Tomasevski, pelapor khusus PBB untuk hak atas pendidikan sempat memberikan catatan untuk isu ini. Selama seminggu, 1 – 7 Juli 2002, ia menjalankan tugasnya untuk melakukan pengamatan tentang pemenuhan hak atas pendidikan di Indonesia. Hasil kunjungannya, ditulis dalam sebuah laporan resmi, dimana salah satu paragraf menegaskan, problem keuangan untuk pemenuhan hak atas pendidikan tidak relevan dibahas, karena alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih menghadapi masalah serius: korupsi, kolusi dan nepotism (para. 62). Di negeri ini, pendidikan dasar, diterjemahkan dengan adanya wajib belajar 9 tahun, yang secara konsep difasilitasi oleh Negara, seperti ada ketentuan SPP gratis. Dalam praktek, yang terjadi seperti apa yang dikemukakan Tomasevski, dan juga sempat dijabarkan Asvi. Menurut Asvi, di Indonesia, korupsi paling banyak terjadi dibidang pendidikan karena melibatkan seluruh anggota masyarakat. Asvi mencontohkan proses berantai praktek korupsi dibidang ini: ''Kanwil memeras kepala sekolah, kepala sekolah memeras guru, guru memeras murid, dan murid memeras orang tua.''

Tulisan ini akan membahas upaya tindakan pencegahan yang pertama, dimaksudkan sebagai catatan pelengkap untuk isu penting yang sama dimunculkan Asvi Warman Adam, dengan menggunakan perspektif disiplin hukum hak asasi manusia. Penulis akan mendiskusikan pendidikan dasar sebagai hak konstitusional dan hak hukum.

Pendidikan sebagai hak konstitusional

Dalam konstitusi, UUD 1945, terdapat 2 pasal yang dengan tegas menyatakan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional: pasal 28E – Amendemen ke-2 dan, pasal 31 – Amandemen ke-4. Dalam pasal 31 ayat (2) ditegaskan, “(s)etiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya, ayat (4) dinyatakan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Kedua pasal ini, pada hakikatnya, yang dikenal dengan obligasi positif Negara dalam hukum HAM, dimana Negara mempunyai kewajiban memfasilitasi dan menyediakan, antara lain anggaran pendidikan untuk terlaksananya pendidikan dasar bagi setiap warga Negara.

Karena hak atas pendidikan, diadopsi dalam konstitusi, hak asasi ini boleh dikatakan menjadi hak konstitusional. Karenanya, di banyak Negara, hak atas pendidikan ini secara praktek difasilitasi Negara. Di Amerika Latin, seperti Argentina, pendidikan dasar difasilitasi Negara dengan cuma-cuma. Ambil contoh lain, penulis sempat berdiskusi dengan aktivis HAM dari Bangladesh, yang menceritakan di Negerinya, masih dapat ditemui universitas yang gratis, tentu saja untuk dapat masuk melalui proses seleksi yang ketat. Dibanyak Negara, pendidikan secara cuma-cuma bagi warga negaranya, dianggap investasi yang paling efektif dan sangat berguna.

Kalimat pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar, seperti tercantum dalam pasal diatas, mempunyai implikasi pertanggungjawaban (responsibility and accountability) pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Pendidikan mesti melakukan klarifikasi terhadap kasus-kasus seperti yang menimpa keluarga Haryanto. Secara lebih luas, Menteri Pendidikan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat (public) mengenai pelaksanaan minimum core obligation dalam pemenuhan pendidikan dasar di Indonesia, sebagai jabaran dari kewajiban konstitusional Pemerintah. Secara sederhana, semisal, apa yang akan atau tengah dilakukannya untuk mencegah hal yang sama terulang? Upaya positif (positive measures) apa yang tengah dan sedang dilakukan? Tentu jawaban dan penjelasan tentang hal ini ditunggu masyarakat.

Pendidikan dasar sebagai hak hukum?

Dapat dikatakan, promosi dan upaya pengadopsian hak atas pendidikan, sebagai hak hukum (legal rights) belum begitu banyak dilakukan. HAM menjadi hak hukum saat pemenuhannya dapat diklaim lewat proses yudisial (judicial process) dan pemenuhannya menjadi justiciable – dapat diklaim lewat mekanisme yudisial.

Sebagai contoh, dalam kasus Haryanto, pertanyaan yang muncul: bisakah orangtuanya mengupayakan judicial remedies ke Pengadilan atau lembaga-lembaga lainnya atas dasar telah terjadi pelanggaran hak atas pendidikan dasar yang seharusnya menjadi tanggungjawab Pemerintah, sesuai dengan UUD 1945? Bisakah sang Ibu mengklaim restitusi dan kompensasi? Untuk hari ini, kalau pun orang tua Haryanto atau advokat dan aktivis HAM mengajukan gugatan berkaitan dengan kematian Haryanto, besar kemungkinan, akan ditertawakan Hakim di Pengadilan.

Trend pengadopsian justisiabilitas (justiciability) hak-hak ekosob sedang berkembang dilevel internasional dan domestic. Dengan kata lain, upaya pengadopsian hak-hak ini menjadi hak hukum tengah marak. Beberapa preseden, bisa dirujuk, seperti kasus hak atas kesehatan – yang juga dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak ekosob, seperti hak atas pendidikan. Preseden , seperti di Argentina dan Turki. Di Turki, salah satu Pengadilan Tingginya di tahun 1997, memerintahkan proyek pertambangan emas dihentikan karena dinilai melanggar konstitusi. Hakim yang memeriksa kasus ini memutuskan bahwa pengoperasian pertambangan ini melanggar salah satu pasal konstitusi Turki yang melindungi setiap orang untuk menikmati lingkungan yang sehat dan utuh. Sedangkan di Argentina, Pengadilan Banding, di tahun 1999, mengharuskan Negara memproduksi vaksin untuk mengobati dan melindungi warganegaranya dari ancaman penyakit serius: Argentine Haemorrhagic Fever. Setelah keluar keputusan ini, Pemerintah menyediakan dana dan fasilitas laboratorium untuk membuat vaksin, dan selanjutnya pembangunan pabrik.

Dari pengalaman Argentina dan Turki, terlihat ada kemauan Negara memberikan perlindungan, sekaligus pemenuhan hak-hak ekosob. Perlu digarisbawahi kemauan ini dilaksanakan karena ada keterlibatan luas masyarakat. Di Argentina, masyakarat umum mendesak Negara untuk menghormati hak asasi mereka. Seperti di Argentina, di Turki, perjuangan dilakukan dengan demonstrasi damai, melibatkan tidak kurang 10.000 orang dan 1000 traktor para petani yang merasa hak atas kesehatannya terganggu atas operasi tambang.

Kembali melihat realitas di Negeri ini. Wajib belajar 9 tahun, merupakan kebijakan positif Negara, yang tentu saja menggembirakan. Namun demikian, diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas untuk memastikan bahwa kebijakan pendidikan dasar gratis dilaksanakan Negara. Promosi terhadap hak atas pendidikan dasar cuma-cuma sebagai hak hukum perlu digalang luas. Dengan cara seperti ini, tragedi yang menimpa keluarga Haryanto diberikan peluang untuk mendapatkan judicial remedies. Justisiabilitas hak ini, bertujuan juga agar kasus-kasus serupa dapat dicegah agar tidak terulang dan keluarga-keluarga miskin, dapat mengklaim haknya atas pendidikan dasar gratis lewat judicial process.

Lewat justisiabilitas hak atas pendidikan, dibuka peluang untuk pertanggungjawaban pemerintah secara hukum, pertanggungjawaban Menteri Pendidikan, pertanggungjawaban pemerintah lokal, dan seterusnya. Semoga terwujud di Negeri ini.


4. Pendidikan Rendah dan Pendidikan Dasar

In Pendidikan Indonesia, Penelitian Pendidikan, Serba-serbi Indonesia on Nopember 9, 2008 at 9:24 am

Menjawab pertanyaan tentang hal-hal kecil yang saya tulis beberapa waktu yang lalu, akan saya mulai dengan tulisan ini. Sebelumnya saya sependapat dengan komentar beberapa teman yang masuk (terima kasih ya Bu Al dan Pak Al :D )

Hal-hal kecil yang saya tanyakan tersebut adalah materi salah satu bab disertasi yang saya ringkas menjadi artikel ilmiah dan akan diterbitkan dalam Jurnal kampus insya Allah edisi mendatang. Semula sebagai orang Indonesia, saya sama dengan teman2 yang lain menganggap hal itu biasa saja sebagai sebuah perubahan yang alami. Tetapi seorang professor yang meneliti tentang Indonesia medorong saya untuk membuat perkara2 sepele itu menjadi lebih jelas, dan mencoba menyusun sebuah pakem penerjemahan istilah pendidikan bagi penelitian di Jepang tentang pendidikan Indonesia. Beberapa pandangan datang dari beliau, tetapi dengan rendah hatinya beliau mengatakan saya lebih berhak menuliskan itu daripada dia.

Maka menjadilah materi itu sebagai salah satu bab awal disertasi saya. Di Indonesia, barangkali saya akan ditertawai oleh para pakar pendidikan untuk mengerjakan hal sesimple ini. Tapi, karena saya juga penasaran, maka mulailah saya membongkar literatur dan produk hukum sejak jaman Belanda hingga masa reformasi. Dan memang tidak ada perubahan yang sekedar iseng dari kebijakan pendidikan kita.

Istilah Pendidikan Rendah dipergunakan pertama kali untuk mengkategorikan beragam sekolah tingkat dasar pada jaman Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan pada jaman Belanda dibedakan berdasarkan status masyarakat, dan salah satu literatur menyebutkan ada 3 kelompok besar masyarakat yaitu Kelas orang Eropa dan Belanda, Kelas Orang Indonesia Elit dan Cina, dan Kelas orang Indonesia kelas bawah/kebanyakan.

Pada jaman Jepang istilah Pendidikan Rendah tetap dipakai sebab mengacu kepada istilah yang dipakai di Jepang, yaitu (初等教育=syotoukyouiku). Kata 初等 diterjemahkan dalam Bahasa Inggris menjadi “Primary”, dan dalam Bahasa Indonesia menjadi “rendah”.

Dalam usulan sistem persekolahan yang dikeluarkan oleh BP-KNIP dan Panitya Penyelidikan Pendidikan (P3) tahun 1946 dan 1947, istilah pendidikan rendah atau pendidikan dasar sama sekali tidak dipergunakan, dan nama sekolah tingkat dasar pada waktu itu adalah Sekolah Rakyat (KNIP mempunyai usulan tiga jenis sekolah, yaitu Sekolah Rakyat 3 tahun, Sekolah Pertama 3 tahun dan Kelas Masyarakat, sedangkan P3 lebih modern dengan mengusulkan satu bentuk sekolah yaitu, Sekolah Rakyat 6 tahun).

UU Pendidikan pertama di Indonesia adalah UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah. Dalam UU ini, istilah yang dipergunakan adalah “Pendidikan dan Pengadjaran Rendah”, dan nama sekolah berdasarkan UU ini adalah Sekolah Rendah atau sebagian masih menggunakan nama Sekolah Rakyat.

Tahun 1965 berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 19 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila, terdapat sebuah konsep baru tentang pendidikan di Indonesia. Dalam pasal 8, istilah Pendidikan Dasar dipergunakan untuk menggantikan istilah Pendidikan dan Pengadjaran Rendah. Dalam konsep pendidikan Dasar ini, bentuk persekolahan yang dimaksud dinamakan Sekolah Dasar (SD) dengan masa belajar 9 tahun, terhitung sejak siswa berusia 6 tahun.

Konsep Pendidikan Dasar 9 tahun sepintas sama dengan konsep Pendidikan Dasar 9 tahun yang tertera pada UU Sisdiknas 2003, tetapi terdapat jelas perbedaannya. Dalam sebuah literatur yg ditulis oleh Drs Estiko Suparjono, Panitya Tehnis Panitya Negara Penjempurnaan Sistem Pendidikan Pantjawardana (ditulis sesuai ejaan lama-red) pada tahun 1966, dijelaskan bahwa kebijakan Pendidikan Dasar 9 tahun dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada siswa yang tidak dapat meneruskan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah, dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja kasar/teknisi yang banyak dibutuhkan pada saat itu, maka pendidikan 6 tahun dianggap tidak memadai, sehingga dilakukan perpanjangan 3 hingga 4 tahun. Selain itu Indonesia telah menyusun UU Pokok Perburuhan tahun 1948 yang melarang anak berusia di bawah 16 tahun untuk bekerja dan dipekerjakan. Dengan demikian jika anak mulai belajar pada usia 6 tahun, maka dengan melewati pendidikan dasar 9-10 tahun, dia akan berusia 15 atau 16 tahun. Dan selulusnya dari SD, anak tersebut dianggap sah untuk bekerja. Dengan UU 1965 ini, selain SD dikenal juga istilah SD Kedjuruan (SDK) yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih jurusan/keterampilan pada saat kelas 7, dan berkonsentrasi untuk memperdalam materi kejuruan dari kelas 8 hingga kelas 9 atau kelas 10. (SDK dan SMP Kejuruan dihapus).

Konsep Pendidikan tahun 1965 tersebut tidak berjalan lama, sebab adanya pergantian ORLA ke ORBA. Dan dari segi hukum agak sulit menjadikan produk hukum tersebut sebagai UU Pendidikan karena hanya merupakan Penetapan Presiden. Sementara produk UU Pendidikan yang lainnya adalah produk MPR. Maka sebelum lahirnya UU Pendidikan 1989, sistem pendidikan di Indonesia masih didasarkan kepada UU 1950, dengan beberapa perubahan yang ditetapkan berupa PP, Keppres, Permen dsb.

Adapun Pendidikan Dasar 2003 adalah sebuah konsep yang dilatarbelakangi oleh upaya menyukseskan wajib belajar 9 tahun yang ditargetkan tercapai tahun 2009. Konsep ini sebenarya mulai dicetuskan sejak UU Pendidikan Nasional tahun 1989, yang dipertegas dalam PP no.27 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar. Dalam PP tersebut jelas disebutkan bahwa Pendidikan Dasar terdiri dari dua jenjang yaitu 6 tahun SD dan 3 tahun SLTP.

Dengan demikian kita dapat berargumentasi tentang perubahan pendidikan rendah menjadi pendidikan dasar sbb :

1. Kata “rendah” memiliki nuansa penggunaan yang cenderung negatif, misalnya untuk menyatakan lapisan masyarakat, maka dipergunakan istilah “Masyarakat Kelas Rendah” atau Masyarakat Kelas Bawah”. Untuk menghilangkan kesan sebagai pendidikan yang dikhususkan untuk kelas bawah, atau menghilangkan pengelompokkan sekolah berdasarkan sistem Belanda, maka kata “Dasar” dipakai sebagai alternatif yang lebih mewakili pendidikan untuk seluruh rakyat tanpa pengkelasan status.

2. Selama tahun 1950~1961, berdasarkan artikel yang ditulis oleh Eugene Mooney, menunjukkan bahwa sekitar 200 orang guru, praktisi pendidikan dikirim ke Kentucky Univ untuk belajar tentang pendidikan Amerika, dan terdapat pula nota kesepakatan/kerjasama antara Kementerian Pendidikan saat itu dengan New York Univ, untuk mengembangkan pendidikan tinggi di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pada tahun-tahun tersebut konsep persekolahan di Amerika banyak mempengaruhi penyusunan kebijakan di Indonesia. Istilah Elementary Education, Elementary School, Junior High School dan Senior High School, menjadi acuan untuk mengubah nama Sekolah Rakyat atau Sekolah Rendah menjadi Sekolah Dasar atau istilah Pendidikan Rendah (Primary Education ) menjadi Pendidikan Dasar (Basic/Elementary Education).

3. Pendidikan Rendah adalah pendidikan 6 tahun Sekolah Rakyat atau Sekolah Rendah, sedangkan Pendidikan Dasar adalah pendidikan 9 tahun, SD dan SMP untuk menyiapkan dasar-dasar pendidikan ke jenjang menengah.

Sebagai catatan, pendidikan jaman Belanda adalah pendidikan yang banyak dipengaruhi oleh sistem persekolahan di Eropa. Istilah Primary Education, Middle Secondary dan Upper Secondary adalah istilah yang banyak dipakai oleh negara yang mengacu kepada sistem Eropa. Sebagai contoh Malaysia, menggunakan istilah Primary Education yang diterjemahkan menjadi “Pendidikan Rendah” dalam Bahasa Melayu.


5. Program Pengelolaan Pendidikan Dasar (MBE)

MBE, adalah singkatan dari Managing Basic Education atau Program Pengelolaan Pendidikan Dasar. Program yang didukung oleh USAID ini bertujuan meningkatkan kemampuan SDM di tingkat Kabupaten/Kota (Daerah) agar mampu mengelola Pendidikan Dasar. MBE adalah suatu bagian dari program USAID yang lebih luas dalam meningkatkan kemampuan SDM Pemerintah Daerah. Pendidikan Dasar dipilih sebagai fokus program ini dengan alasan bahwa sektor ini adalah bagian terbesar yang dikelola oleh Daerah. Selain itu, Pendidikan Dasar adalah kunci pembangunan sosial dan ekonomi, baik untuk masa kini maupun masa depan. Program ini dikelola oleh konsultan RTI (Research Triangle Institute).

Program ini diutamakan bekerja di tingkat kabupaten/kota, dengan mengembangkan praktek-praktek yang baik yang sudah ada dan mendorong pengembangan dan diseminasi praktek yang baik tersebut dan gagasan-gagasan lain di tingkat kabupaten/kota. Praktek ini meliputi:

Fasilitas dan Pengelolaan Pegawai
Pendanaan Sekolah
Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) dan Peran Serta Masyarakat (PSM)
Proses Belajar Mengajar

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda