iTs mE a_Ry...

Jumat, 15 Mei 2009

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

1. Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan Keberhasilan Pendidikan Masa Depan

Judul: Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan Keberhasilan Pendidikan Masa Depan
Nama & E-mail (Penulis): Drs. H. Agus Ruslan, M.MPd
Saya di Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ma'arif Bandung
Topik: Pendidikan Usian Dini
Tanggal: 31 Mei 2007

PENDIDIKAN USIA DINI YANG BAIK LANDASAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN MASA DEPAN

Keberhasilan anak usia dini merupakan landasan bagi keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Usia dini merupakan "usia emas" bagi seseorang, artinya bila seseorang pada masa itu mendapat pendidikan yang tepat, maka ia memperoleh kesiapan belajar yang baik yang merupakan salah satu kunci utama bagi keberhasilan belajarnya pada jenjang berikutnya.

Kesadaran akan pentingnya PAUD cukup tinggi di negara maju, sedangkan di Indonesia baru berlangsung pada  10 tahun yang lalu, dan hingga pada saat ini belum banyak disadari masyarakat begitu juga praktisi pendidikan

. Martin Luther (1483 - 1546)

Menurut Martin Luther tujuan utama sekolah adalah mengajarkan agama, dan keluarga merupakan institusi penting dalam pendidikan anak.

Pemikiran Martin Luther ini sejalan dengan tujuan madrasah (sekolah Islam) yaitu pendidikan agama Islam, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian integral dari agama Islam. Dengan demikian pendidikan di madrasah akan menghasilkan ulul-albaab (QS. 3 : 190 - 191), yaitu penguasaan iptek yang dapat digunakan dalam kehidupan dengan ahlak mulia, berdampak rahmatan lil alaminn, yang dijanjikan Allah akan ditingkatkan derajatnya (QS. 58 : 11).

. Jean - Jacques Rousseau (1712 - 1718)

Bukunya Du de 'education, menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir hingga remaja.

Menurut Rousseau: "Tuhan menciptakan segalanya dengan baik; adanya campur tangan manusia menjadikannya jahat (God make every things good; man meddles with them and they become evil).

Rousseau menyarankan "kembali ke alam" atau "back to nature", dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak yaitu : "naturalisme". Naturalisme berarti, pendidikan akan diperoleh dari alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu berkembangnya mutu, seperti kebahagiaan, sportivitas dan rasa ingin tahu. Dalam prakteknya naturalisme menolak pakaian seragam (dress code), standarisasi keterampilan dasar yang minimum, dan sangat mendorong kebebasan anak dalam belajar.

Anak dibekali potensi bawaan (QS. 16 : 78) yaitu potensi indrawi (psikomotorik), IQ, EQ dan SQ. Semua manusia perlu mensyukuri pembekalan dari Allah SWT, dengan mengaktualisasikannya menjadi kompetensi.

. Johan Heindrich Pestalozzi (1746 - 1827)

Dalam bukunya "Emile" ia sangat terkesan dengan "back to nature". Ia mengintegrasikan kehidupan rumah, pendidikan vokasional dan pendidikan baca tulis. Pestalozzi yakin segala bentuk pendidikan adalah melalui panca indra dan melalui pengalamannya potensi untuk dikembangkan. Belajar yang terbaik adalah mengenal beberapa konsep dengan panca indra. Ibu adalah seorang pahlawan dalam dunia pendidikan, yang dilakukannya sejak awal kehidupan anak.

. Frederich Wilhelm Froebel (1782 - 1852)

Froebel menciptakan "Kindergarten" atau taman kanak-kanak, oleh karena itu ia dijadikan sebagai "bapak PAUD". Pandangan Froebel terhadap pendidikan dikaitkan dengan hubungan individu, Tuhan dan alam. Ia menggunakan taman atau kebun milik anak di Blankenburg Jerman, sebagai milik anak. Bermain merupakan metode pendidikan anak dalam "meniru" kehidupan orang dewasa dengan wajar. Kurikulum PAUD dari Froebel meliputi :

- Seni dan keahlian dalam konstruksi, melalui permainan lilin dan tanah liat, balok-balok kayu, menggunting kertas, menganyam, melipat kertas, meronce dengan benang, menggambar dan menyulam.

- Menyanyi dan kegiatan permainan.

- Bahasa dan Aritmatika.

Menurut Froebel guru bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan agar anak menjadi kreatif, dengan kurikulum terencana dan sistematis.

Guru adalah manajer kelas yang bertanggung jawab dalam merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, membimbing, mengawasi dan mengevaluasi proses ataupun hasil belajar. Tanpa program yang sistematis penyelenggaraan PAUD bisa membahayakan anak.

. John Dewey (1859 - 1952)

John Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.

Bandingkan pendapat Dewey tsb dengan sabda Rasulullah SAW "didiklah anak-anakmu untuk jamannya yang bukan jamanmu"

. Maria Montessori (1870 - 1952)

Sebagai seorang dokter dan antropolog wanita Italy yang pertama, ia berminat terhadap pendidikan anak terbelakang, yang ternyata metodenya dapat digunakan pada anak normal.

Tahun 1907 ia mendirikan sekolah "Dei Bambini" atau rumah anak di daerah kumuh di Roma. Metode Montessori adalah pengembangan kecakapan indrawi untuk menguasai iptek untuk diorganisasikan dalam pikirannya, dengan menggunakan peralatan yang didesain khusus. Belajar membaca dan menulis diajarkan bersamaan. Montessori berpendapat anak usia 2 - 6 tahun paling cepat untuk belajar membaca dan menulis. Kritik terhadap Montessori adalah karena kurang menekankan pada perkembangan bahasa dan sosial, kreatifitas, musik dan seni.

Ijtihad dengan hasil yang benar bernilai dua, apabila hasilnya salah nilainya satu, sedangkan taklid atau mengikuti bernilai nol, jadi berfikir kreatif itu dikehendaki oleh Allah SWT.

. McMiller Bersaudara

Rachel dan Margaret mendirikan sekolah Nursery yang pertama di London pada tahun 1911. sekolah ini mementingkan kreatifitas dan bermain termasuk seni.

. Jean Piaget (1896 - 1980)

Ilmuwan Swiss ini tertarik pada ilmu pengetahuan proses belajar dan berfikir, meskipun ia sendiri ahli dalam biologi. Menurut Piaget ada tiga cara anak mengetahui sesuatu :

Pertama, melalui interaksi sosial, Kedua, melalui interaksi dengan lingkungan dan pengetahuan fisik, Ketiga, Logica Mathematical, melalui konstruksi mental.

. Benjamin Bloom

Bloom (1964) mengamati kecerdasan anak dalam rentang waktu tertentu, yang menghasilkan taksanomi Bloom. Kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan hasil PAUD. Pendapat ini dukung oleh Hunt yang menyatakan bahwa PAUD memberi dampak pada pengembangan kecerdasan anak selanjutnya.

. David Werkart

Metode pengajarannya menggunakan prinsip-prinsip :
- Memberikan lingkungan yang nyaman,
- Memberikan dukungan terhadap tingkah laku dan bahasa anak,
- Membantu anak dalam menentukan pilihan dan keputusan,
- Membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dengan melakukannya sendiri.
Werkart mendirikan lembaga High Scope Education (1989).


Layanan bagi Anak Usia Dini

Anak usia dini meliputi usia 0 - 6 tahun. Pada usia 0 - 2 tahun pertumbuhan fisik jasmaniah dan pertumbuhan otak dilakukan melalui yandu (pelayanan terpadu) antara Depertemen Kesehatan, Depsosial, BKKBN dan Depdiknas. Dalam program PAUD, diharapkan Depdiknas menjadi "Leading Sector".

Pada usia 2 - 4 tahun layanan dilakukan melalui penitipan anak (TPA) atau Play Group. Pada usia 4 - 6 tahun layanan dilakukan melalui Taman Kanak-kanak (TK - A dan TK - B).

Perkembangan Kepribadian dan Kognitif Anak Usia Dini

. Teori perkembangan Psikososial Erikson

Ada empat tingkat perkembangan anak menurut Erikson, yaitu :

Pertama, usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust Vs mistrust. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Apabila sebaliknya akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan.

Kedua, usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy Vs shame and doubt. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua/guru yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila guru tidak sabar, banyak melarang anak, menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak. Jangan membuat anak merasa malu.

Ketiga, usia 4 - 5 tahun, yaitu Inisiative Vs Guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Guru dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak (ingat metode Chaining nya Gagne), maka mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu dihalangi, pertanyakan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah.

Keempat, usia 6 - 11 tahun, yaitu Industry Vs Inferiority, bila anak dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, guru maupun lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual, dan kurang percaya diri.

. Teori perkembangan Konitif Piaget

Ada tiga tahapan perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu :

Pertama, tahap sensori motorik (usia 0 - 2 tahun) anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya.

Kedua, tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol, (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat ego centris, melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.

Ketiga, tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak.

Keempat, tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berfikir abstrak.

Kurikulum PAUD

Kurikulum TK dikembangkan berdasarkan integrated curriculum (kurikulum terintegrasi) dengan pendekatan tematik. Kurikulum diorganisasikan melalui suatu topik atau tema. Katz dan Chard (1989) yang dikutip oleh Soemiarti Patmonodewo (2003) menetapkan kriteria untuk memilih tema yaitu: ada keterkaitannya, kesempatan untuk menerapkan keterampilan, kemungkinan adanya sumber, minat guru.

Bahan-bahan untuk mengembangkan tema antara lain :
a) Lingkungan anak seperti : rumah, keluarga, sekolah, permainan, diri sendiri.
b) Lingkungan : kebun, alat transportasi, pasar, toko, museum.
c) Peristiwa : 17 Agustus, hari Ibu, upacara perkawinan.
d) Tempat : Jalan raya, sungai, tempat bersejarah
e) Waktu : jam, kalender, dan sebagainya.

Program PAUD

. Day Care atau TPA (Taman Penitipan Anak), yang berfungsi sebagai pelengkap pengasuhan orang tua. TPA dirancang khusus dengan program dan sarananya, untuk membantu pengasuhan anak selama ibunya bekerja. Pengasuhan dilakukan dalam bentuk peningkatan gizi, pengembangan intelektual, emosional dan sosial anak. TPA di Indonesia sudah berkembang dalam bentuk: TPA perkantoran, TPA perumahan, TPA industri, TPA perkebunan, TPA pasar. Sekarang banyak bermunculan TPA keluarga, yang diselenggarakan di rumah-rumah.

. Pusat pengembangan anak yang terintegrasi yang memberikan pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dengan tujuan peningkatan kualitas hidup anak. Di Indonesia dikenal dengan nama Posyandu (pos pelayanan terpadu) yang memberikan pelayanan makanan bergizi, imunisasi, penimbangan berat badan anak, layanan kesehatan oleh dokter, pemeriksaan kesehatan keluarga berencana. Pelatih dan pelaksana semuanya relawan yang sebelumnya mendapat pelatihan.

. Pendidikan Ibu dan Anak

Yang menjadi tujuan adalah pendidikan ibu yang memiliki balita, dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak.

Pola pendidikan seperti ini berkembang menjadi HIPPY (Home Instruction Programme for Preschool Youngster) di Israel Pendidikan orang dewasa dengan pendekatan kelompok juga dilaksanakan oleh Indonesia, Cina, Jamaica, dan Kolumbia.

Di Indonesia dikenal dengan program Bina Keluarga Balita, yang dikoordinasikan oleh Meneg Urusan Peranan Wanita dan BKKBN dengan bantuan UNICEF, yang dilaksanakan sejak 1980.

. Program Melalui Media

Media yang digunakan bisa media cetak, TV, Radio, dan Internet. Tahun 1980 Venezuela program dengan media dikenal sebagai "Project to Familia", dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan anak sejak lahir hingga usia 6 tahun, yang diberikan kepada Ibu. Program melalui TV saat ini bisa mengangkat jauh ke pelosok desa.

. Program "Dari Anak Untuk Anak"

Pengasuhan adik oleh kakaknya terjadi secara spontan. Kakaknya diajarkan tentang pentingnya vaksinasi, gizi, dab bagaimana mendorong adik untuk berbicara, mengajak bermain, dan menyuapi adik, yang kemudian dipraktekkan dirumah. Pola ini punya beberapa keuntungan antara lain yaitu :

- Si Kakak, telah mendapatkan keterampilan untuk menjadi orang tua dengan pola pengasuhan anak yang baik.

- Si Kakak ini bisa menularkan keterampilannya kepada teman sebayanya.

- Keterampilan si kakak tadi dapat diterapkan dilingkungannya.

Program ini dilakukan di sekolah formal dengan bekerja sama dengan pusat kesehatan, BKKBN, Departemen sosial dan pramuka. Program ini untuk pertama kalinya dilakukan di London.

. "Head Start" di Amerika

Tujuan "Head Start" adalah untuk memerangi kemiskinan, dengan cara membantu anak-anak untuk mempersiapkan mereka memasuki sekolah. Head Start memberikan sarana pendidikan, sosial, kesehatan, gigi, gizi dan kesehatan mental anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.

. Taman Kanak-kanak atau Kindergarten

TK merupakan buah fikiran Froebel dari Jerman, melalui konsep belajar melalui bermain yang berdasarkan minat anak, dimana anak sebagai pusat (child centered). Pola belajar sebelumnya adalah teacher centered seperti yang dilaksanakan di Amerika dengan menitikberatkan pada mata pelajaran.

The Nebraska Department of Education di Amerika memberikan saran tentang bentuk TK yang baik yaitu :

- Ada kerjasama sekolah dan orang tua dalam memberi pengalaman belajar bagi anak.

- Pengalaman anak hendaknya dirancang untuk terjadi exploration and discovery, tidak hanya duduk dengan kertas diatas meja.

- Anak belajar melalui alat permainan.

- Anak belajar menyukai buku dan bahasa melalui kegiatan bercerita dengan bahasanya sendiri.

- Anak melakukan kegiatan sehari-hari melatih motorik kasar dan halus, dengan berlari, melompat, melambung bola, menjahit, kartu, bermain dengan lilin,

- Anak berlatih mengembangkan logika matematika, dengan bermain pasir, unit balok, alat bantu hitung, .

- Anak berlatih mengembangkan rasa ingin tahu tentang alam, melalui pengamatan percobaan dan menarik kesimpulan.

- Anak mengenal berbagai irama musik dan alatnya.

- Anak berlatih menyukai seni.

Semua kegiatan TK dirancang untuk mengembangkan self image yang positif, serta sikap baik pada teman dan sekolah; dengan bermain sebagai media belajar.

Beberapa Model Penyelenggaraan TK

Pengasuhan bagi anak-anak dapat dilakukan secara home based atau center based. Ada tiga model center based.

a) Model Montessori

Untuk pertama kalinya, sekolah model Montessori didirikan pada tahun 1907 di Breka di Italia, dan beberapa tahun kemudian berkembang di Eropa.

Beberapa filsafat Montessori dalam belajar yaitu :

- Absorbent minds (ingatan yang meresap)

- The prepared environment (limgkungan yang dipersiapkan).

- Sensitive period (periode sensitive)

Alat-alat yang digunakan dalam pendidikan model Montessori terbagi dalam empat kelompok, yaitu:

- Alat pengembangan keterampilan, untuk menumbuhkan disiplin diri, kemandirian, konsentrasi dan kepercayaan diri.

- Alat pengembangan fungsi sensoris untuk memperhalus fungsi indra.

- Alat pengembangan akademis, seperti huruf-huruf yang bisa ditempelkan di papan.

- Alat pengembangan artistik yang berorientasi pada budaya, agar anak belajar menyukai dan menghargai musik, belajar seni dan keselarasan musik.

Dalam model Montessori, anak bebas memilih aktifitas, yang berhubungan dengan "auto - education" dimana anak harus mendidik diri sendiri tanpa di dikte guru.

Secara keseluruhan, menurut American Montessori Society (1984), tujuan pendidikan Montessori adalah :

- Pengembangan konsentrasi,

- Keterampilan mengamati,

- Keselarasan memahami tingkatan dan urutan,

- Koordinasi kesadaran dalam melakukan persepsi dan keterampilan praktis.

- Konsep yang bersifat matematis,

- Keterampilan membaca dan menulis,

- Keterampilan berbahasa,

- Terbiasa dengan kesenian yang kreatif,

- Memahami dunia alam lingkungan,

- Memahami ilmu sosial,

- Berpengalaman dalam menyelesaikan masalah

b) Model Tingkah Laku

Model ini didasarkan atas teori John B. Watson, E Thorn dan B.F Skinner, yang meyakini bahwa tingkah laku dapat dibentuk dengan "stimulus" dan "respons", dan "operant conditioning". Tingkah laku dikontrol oleh "reward" dan "punishment". Model ini kurang memperhatikan pengembangan fisik dan emosi, karena mereka berpendapat bahwa anak akan memperoleh "Self Esteem" apabila anak berhasil dalam prestasi intelektualnya.

c) Model Interaksionis

Model ini didasari oleh teori Piaget, contohnya adalah program "The High Scope" yang dikembangkan oleh David Weikart, "Educating the Young Thinker" yang dikembangkan oleh Irvan Siegel dalam "Piaget of Early Education" yang dikembangkan oleh Contance Kamii dan Rheta Devries.

Menurut Piaget, belajar adalah proses yang didasarkan atas "Intrinsic Motivation". Kemampuan berfikir tumbuh hingga tahapan berfikir abstrak dan logis.

Tujuan model ini adalah untuk menstimulasi seluruh area perkembangan anak, baik fisik, sosial, emosional maupun perkembangannya kognitif, yang kesemuanya dianggap sama pentingnya.

Kamii dan Devries (1979) menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan jangka panjang, suatu perkembangan dari seluruh kepribadian, intelektual dan moral.

Piaget menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan manusia yang mampu membuat sesuatu yang baru, kreatif, berdaya cipta, nalar dengan baik, kritis, dan bukan hanya mengulangi dan meniru sesuatu yang telah terjadi dahulu.

Bermain Sebagai Proses Belajar

Bermain merupakan proses pembelajaran di TK, yang berupa bermain bebas, bermain dengan bimbingan dan bermain yang diarahkan. Bentuk-bentuk bermain antara lain bermain sosial, bermain dengan benda dan bermain sosio dramatis.

Bermain sosial terdiri dari bermain seorang diri (solitary play), bermain dimana anak hanya sebagai penonton (onlooker play), bermain paralel (parallel play), bermain asosiatif (associative play) dan bermain kooperatif (cooperative play).

Perkembangan Tingkah Laku dan Bermain

Bayi bermain dalam tingkat sensori motoris, dengan menjelajahi benda dan manusia yang ditemuinya, dan menyelidikinya. Pada akhir usia satu tahun ia mulai bermain dengan Ciluk - Ba. Kemudian ia bermain dengan menggunakan alat, dan pada usia menjelang sekolah ia bermain konstruktif, dengan benda dan beberapa aturan. Anak usia 3 tahun dapat bermain dengan berperan sebagai keluarga. Anak bisa bermain dengan peraturan, pada usia 7 - 12 tahun dan menunjukkan bahwa ia berada pada tahap kongkrit operasional.

Hubungan Orang Tua dan PAUD

Orang tua merupakan guru yang pertama bagi anak-anaknya. Apabila ada kerjasama antara orang tua dan anak akan menghasilkan :

- Peningkatan konsep diri pada orang tua dan anak,

- Peningkatan motivasi belajar, dan

- Peningkatan hasil belajar.

Keterlibatan orang tua, ada tiga kemungkinan, yaitu :

- Orientasi pada tugas.

- Orientasi pada proses.

- Orientasi pada perkembangan.

Komunikasi antara sekolah dengan orang tua bisa bersifat komunikasi resmi atau tidak resmi, kunjungan ke rumah, pertemuan orang tua, dan laporan berkala.

*Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Darul Ma'arif Bandung
Saya Drs. H. Agus Ruslan, M.MPd setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .


2. Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahu

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama (Penulis): Ferdinand Hutabarat
E-mail (Penulis): ferdinand.hutabarat@gmail.com
Saya Guru di Jakarta
Judul: Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun
Topik: OPTIONAL
Tanggal: 11-05-2007


Mewujudkan PAUD Nonformal Dalam Mendukung Wajib Belajar 9 Tahun

Bullying dan UAN

Pada saat kita dihadapkan pada kenyataan banyak siswa yang tidak siap mengikuti UAN, kekerasan (bullying) yang dilakukan anak-anak kini kian marak diperbincangkan. Anak yang menjadi kebanggaan orang tua dapat menjadi korban dan pelaku kekerasan dalam dunia pendidikan. Sudah lama kita menyadari dampak negatif informasi yang belum saatnya diterima anak. Walaupun demikian, tetap saja kekerasan yang dilakukan anak-anak terhadap temannya terus terjadi pada lingkungan sekolah.

Dengan melihat tayangan gulat (smack down) di layar televisi, anak-anak pun dengan gampangnya meniru adegan tersebut layaknya seorang pegulat professional. Banyak anak menganggap adegan tersebut sebagai hal yang wajar dan layak dilakukan. Tanpa bimbingan orang dewasa, bisa dibayangkan berapa banyak nyawa anak-anak kita yang akan melayang setelah bersmack down ria dengan teman sepermainannya.

Ironisnya, dunia pendidikan yang semestinya menjadi tempat anak mengembangkan kognitif, emosional, sosial, fisik, dan akhlak sekilas tampak gagal dalam mengoptimalkan potensi anak. Ditambah lagi ketakutan para siswa SMA dalam menghadapi UAN. Kecenderungan ini terlihat jelas ketika kita dihadapkan pada kenyataan banyaknya siswa yang tidak lulus dan penolakan sebagian siswa terhadap UAN itu sendiri.

Ketakutan para siswa menghadapi UAN dan maraknya kekerasan yang dilakukan anak-anak dilingkungan sekolah bisa jadi merupakan ketidaksiapan anak secara intelegensia/kognitif, emosional, sosial, fisikal, dan spiritual. Perhatian terhadap kecerdasan intelektual anak belumlah cukup tanpa diikuti perhatian terhadap kecerdasan emosional, spiritual, sosial dan kemampuan memecahkan masalah (adversity) si anak itu sendiri.

Melihat fakta-fakta diatas, sudah selayaknya pemerintah memperhatikan kembali pendidikan dasar 9 tahun yang semakin kurang relevan terhadap tuntutan jaman globalisasi seperti sekarang ini. Bukankah jaman juga memiliki peran penting dalam menentukkan sistem pendidikan?

Pada jaman globalisasi seperti sekarang ini, industrialisasi dan pesatnya informasi yang berkembang memegang peranan penting terhadap kualitas hidup seseorang. Belum lagi persaingan dan tekanan yang ditimbulkan serta ketidaksiapan menjalani hidup menjadi pergumulan yang tiada berujung. Tanpa diikuti dengan kematangan intelegensia, emosional, sosial, fisik, dan akhlak sebagai pedoman pribadi, segala informasi akan dengan mudah diterima anak-anak sebagai kebenaran yang hakiki. Tak ayal, segala kekerasan yang terlihat di layar televisi pun kini menjadi konsumsi dan kian dimanipulasi anak-anak itu sendiri. Apakah ini produk jaman yang dihasilkan? Penerus-penerus bangsa yang tidak siap menghadapi tantangan jaman?

Hal-hal tersebut diatas sebenarnya dapat dihindari dengan mengoptimalkan potensi anak sejak dini. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat membantu dalam mendukung wajib belajar 9 tahun. Anak-anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap PAUD menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar.

Perhatian Khusus Terhadap Anak

Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun.

Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak itu sendiri:

1. Perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh.

2. Perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi.

3. Perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan.

4. Perkembangan Kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak.

5. Perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu.

6. Perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial.

Fase Pertumbuhan

Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara.

Fase kedua terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama sekali dengan berbagai macam permainan, dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Binatang-binatang diberikanya sifat-sifat dan kesanggupan seperti dirinya sendiri. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya.

Fase ketiga terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul.

PAUD dan Kendala Umum

Pendidikan dasar 9 tahun haruslah didahului dengan PAUD. Pendidikan yang diberikan sebelum memasuki sekolah dasar merupakan salah satu alternatif yang harus dikembangkan dalam mempersiapkan anak menuju wajib belajar 9 tahun. Pendidikan dan perhatian terhadap anak pada usia 0-6 tahun sangat membantu perkembangan sosial, emosi, fisik, dan kognitif anak. Studi memperlihatkan bahwa anak-anak yang mendapatkan perhatian khusus lebih awal menunjukan pencapaian akademis yang lebih baik pada saat mengenyam pendidikan formal disekolah begitu juga dalam memahami pribadinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Sebelum memasuki pendidikan formal di bangku sekolah dasar, anak-anak perlu disosialisasikan di bangku prasekolah. Persiapan ini bisa merupakan pendidikan formal (TK), nonformal (TPA & KB), maupun informal (Keluarga). Ini sangat diperlukan untuk mengoptimalkan potensi anak pada tingkat pendidikan selanjutnya dan dalam hidup bermasyarakat. Kebijakan yang diambil dapat berupa PAUD plus wajib belajar 9 tahun.

Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui PAUD masih sangat terbatas dan tidak merata. Dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau sekitar 32,36 %) yang memperoleh layanan pendidikan di TK. Anak-anak yang memperoleh kesempatan PAUD tersebut umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan PAUD secara proporsional.

Kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih jauh dibawah standar kehidupan layak merupakan kendala lain dalam meningkatkan akses PAUD. Untuk mendapatkan pelayanan ini masyarakat harus mengalokasikan sejumlah dana yang mungkin tidak sedikit. Banyak pendidikan prasekolah yang memberi perhatian terhadap anak seperti High Scope dan Montessori, namun tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya karena kemampuan ekonomi keluarga yang minim.

Selain itu kendala berikutnya adalah kurangnya pengetahuan orang tua. Sebagian besar orang tua tidak memahami akan potensi luar biasa yang dimiliki anak-anak pada usia 0-6 tahun. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang tua menyebabkan potensi yang dimiliki anak tidak berkembang.

Pemerintah memang sejak awal melindungi hak anak mendapatkan layanan pendidikan. Ini terbukti pada pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur PAUD, namun implementasinya dilapangan masih jauh dari apa yang diharapkan, contohnya: tidak meratanya jumlah lembaga pendidikan atau program layanan pendidikan anak usia dini, fasilitas yang minim, lemahnya mutu pendidikan, dan minimnya guru PAUD yang berkualitas.

Lembaga yang sudah ada pun hanya berstatus lembaga swasta dengan biaya yang relatif mahal dan didominasi oleh kota-kota besar saja, sehingga tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmati layanan ini. Selain itu, lembaga pendidikan tersebut tidak memiliki program yang terstruktur, dalam arti tidak adanya keterpaduan antara mutu pendidikan yang berkualitas dengan guru yang terlatih, layanan gizi, perawatan dan pengasuhan kesehatan yang minim. Tak heran jika tingkat pengembangan sumber daya manusia (HDI) kita hanya berada di peringkat 110 dari 173 negara. Singkat kata, lembaga pendidikan usia dini harus segera mendapat prioritas dari pemerintah, tidak hanya dari pengadaan sarana, tapi juga kurikulum, kualitas pengajaran, sosialisasi yang optimal, fasilitas dan lingkungan belajar yang baik serta program yang terstruktur.

Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB)

Desentralisasi pendidikan mutlak diperlukan sehingga dapat diakses seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik kaum marginal sekalipun. Mengingat akses PAUD Formal yang terbatas dan tidak merata, pemerintah harus lebih menitikberatkan peningkatan mutu layanan PAUD Nonformal baik ditingkat propinsi, kota, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan. Diharapkan setiap kota dan kabupaten memiliki Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Kelompok Bermain (KB) sendiri sebagai upaya peningkatan PAUD Nonformal yang pengelolaannya dapat diserahkan kepada pemerintah setempat, lembaga keagamaan, komunitas masyarakat lokal, maupun organisasi swasta dan publik non-profit.

KB maupun TPA dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan potensi anak sejak dini. KB dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan TPA dan Satuan PAUD Sejenis dapat diikuti anak sejak lahir maupun usia tiga bulan. TPA dan KB itu sendiri sendiri harus dibawah pengawasan Pemerintah Propinsi. Tentu saja pemerintah propinsi akan berkordinasi kepada Pusat PAUD Nasional dalam rangka mengoptimalkan kualitas pengajaran, lingkungan belajar, tenaga pendidik, kurikulum dan pembelajaran yang berkualitas. Pemerintah pusat dapat membuat kebijakan satu atap, misalnya: kurikulum Pendidikan Bermain yang menggunakan pendekatan simulasi dan pendekatan holistik terhadap perkembangan fisik, intelegensia/kognitif, emosional dan pendidikan sosial.

Kebijakan ini juga harus mengatur proses pembelajaran yang berkualitas yang didasarkan pada kesatuan konsep bahwa anak-anak mulai belajar sejak usia 0+ tahun, interaksi bersahabat yang berpusat pada anak itu sendiri, fokus terhadap optimalisasi dan pengembangan potensi anak dengan cara bermain dengan obyek-obyek kongkrit, permainan manipulasi dan interaksi dengan lingkungan sekitarnya.

Kurikulum Pendidikan Bermain PAUD Nonformal

Belajar adalah proses panjang yang dimulai sejak kelahiran sampai kematian. Selama masa hidupnya seseorang terus mencari dan mengumpulkan segala pengetahuan, kecakapan hidup, sikap, dan masukan-masukan dari pengalaman sehari-hari dan lingkungan sekitar. Pada saat bekerja, dirumah dan bermain manusia sebenarnya masih berada dalam tahap pembelajaran begitu juga dengan anak-anak.

Fun education harus menjadi patokan segala proses pembelajaran anak. Anak dibangkitkan minatnya melalui hal-hal yang menyenangkan. Dengan bermain anak-anak dapat memiliki kesempatan mengeksplorasi, memanipulasi dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Bermain dapat menumbuhkan minat anak-anak dalam menghasilkan, menemukan, dan menyelidiki segala hal yang belum mereka ketahui yang pada akhirnya memberikan kesempatan kepada anak untuk memahaminya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Aktifitas ini pada akhirnya menantang anak mengetahui hal-hal baru dan memahami kejadian-kejadian, orang lain, dan lingkungan sekitar dengan cara berinteraksi dengan obyek-obyek yang konkrit.

Bermain merupakan bagian yang penting dan khusus pada masa kanak-kanak. Aktifitas tersebut dapat membimbing anak bereksperimen dengan dunia sekitar dan berhubungan dengan emosi yang ada dalam dirinya. Bagi kebanyakan orang tua, aktifitas ini sepintas terlihat sebagai satu permainan anak saja, namun banyak manfaat yang tersirat dibalik itu semua seperti kemampuan mengembangkan pemahamannya, menyelesaikan masalah dan mengatasi tantangan fisik serta mental dan lain sebagainya.

Bermain dengan obyek-obyek buatan di TPA dan KB dapat membantu anak membangun kepercayaan diri, menumbuhkan pembelajaran mandiri, dan memantapkan konsep pribadi. Hal tersebut sangat penting bagi perkembangan motorik, mata dan tangan anak-anak karena mereka dapat bermain dengan benda-benda alami disekitarnya. Pasir, lumpur, maupun tanah liat dan air memiliki peran penting disini. Memberikan waktu bagi anak-anak bermain sendiri membuatnya semakin percaya diri.

Sebagai orang dewasa, kita dapat memasuki kehidupan imaginasi dan fantasinya dan membiarkan mereka sebagai pusat yang mengontrol segalanya. Hal tersebut dapat menumbuhkan kepercayaan diri, kenyamanan, dan perasaaan aman ketika berada didekat kita. Biasanya orang tua cenderung menaruh perhatian terhadap moral dan pencapaian pribadi ketika bersama mereka. Ketika anak menyadari bahwa kita juga tertarik menghargai caranya bermain dan bersenang-senang, anakpun akan semakin lebih percaya diri. Ini akan menumbuhkan kesadaran untuk menyelidiki arti persahabatan dengan orang lain.

Menaruh perhatian khusus terhadap anak sejak usia dini dapat membantu mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan berbahasa, serta kemampuan awal membaca dan menulis dengan cara bermain dan bersenang-senang. Anak juga mulai dapat mengembangkan kemampuan dasar berhitung, hal-hal konseptual dan kognitif serta konsep-konsep dasar ilmu alam dan pengetahuan teknis lainnya. Beberapa hal penting dapat mereka peroleh pada saat bermain seperti kemampuan memahami budaya dan seni, kemampuan memahami mahkluk hidup dan lingkungan sekitar, bangkitnya kesadaran terhadap kesehatan lingkungan, olahraga dan rekreasi.

Perluasan Fasilitas PAUD Nonformal

Sarana penunjang yang tak langsung ikut berpengaruh terhadap pendidikan usia dini juga agar menjadi perhatian, misalnya: posyandu karena anak-anak diusia dini harus diperhatikan cakupan gizinya yang berfungsi sebagai nutrisi pertumbuhan. Sarana kesehatan seperti posyandu sangat berpengaruh terhadap peningkatan gizi anak karena gizi mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Jika anak mendapatkan gizi yang buruk maka berisiko kehilangan IQ 13-20 poin. Kini jumlah anak yang kekurangan gizi mencapai 1,3 juta, berarti potensi kehilangan IQ anak di negara ini 22 juta poin.

Pemerintah daerah harus memperluas berbagai fasilitas yang mendukung lingkungan pembelajaran berkualitas bagi anak usia dini sehingga dapat dinikmati setiap masyarakat di wilayahnya masing-masing. Pendidikan anak usia dini dapat berjalan baik jika semua pihak dapat saling bekerja sama. Sebab, pendidikan usia dini adalah modal dasar membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas yang diharapkan mampu bersaing dengan bangsa lain.

Partisipasi Lembaga Keagamaan

Pendekatan terhadap lembaga keagamaan juga perlu dilakukan. Pemerintah daerah dapat memberi perhatian khusus terhadap Taman Pendidikan Alquran yang dikelola pemuda masjid dan gerejapun dapat turut serta mengembangkan program Sekolah Minggu bagi anak-anak yang dikelola muda-mudi gereja. Diharapkan TPA dan KB dapat dibentuk dan dikelola lembaga keagamaan itu sendiri sebagai perwujudan sosial bagi umatnya.

Partisipasi Organisasi Publik dan swasta Non-Profit

Dengan pendekatan partnership/rekanan, peran organisasi publik dan swasta non-profit yang terkait dan berperan dalam pemberdayaan masyarakat seperti organisasi pemberdayaan perempuan, keluarga atau anak dapat diberdayakan sebagai tempat memberikan pendidikan, sosialisasi dan informasi tentang pentingnya PAUD kepada komponen-komponen yang paling berpengaruh seperti para orang tua dan masyarakat karena keluarga dan masyarakat sangat berperan penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.

Keluarga dan masyarakat harus dapat memberikan contoh yang baik karena pada dasarnya seorang anak akan senantiasa mengikuti dan mencontoh orang-orang di sekitarnya. Orang tua pun harus mengembangkan potensi diri dengan cara memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi melalui media masa ataupun media elektronik terutama informasi dan ilmu pengetahuan terkini, sehingga orang tua bisa menjadi tempat bertanya yang baik bagi anak mereka.

Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan organisasi-organisasi tersebut dalam menghasilkan guru-guru PAUD Nonformal yang berkualitas. Guru-guru ini pada akhirnya harus diarahkan untuk terjun langsung mengawasi dan memberi pengarahan terhadap pendidik dan administrasi pendidikan TPA dan KB yang dikelola mandiri oleh lembaga keagamaan maupun komunitas masyarakat. Tentu saja, untuk meraih ini semua organisasi rekanan harus menekankan kapasitas pendidik dan pengelola pendidikan untuk memfasilitasi dan mempromosikan pengembangan PAUD Nonformal pada tingkat lokal.

Partisipasi Komunitas Masyarakat

Sekolah rumah/home schooling tunggal juga harus diberdayakan. Sekolah rumah tunggal dapat dikelola para orang tua yang tentu saja berbeda denga PAUD Informal karena ditingkat ini, para orang tua sudah mulai memikirkan berbagai macam pendekatan pembelajaran yang berkualitas.

Sekolah rumah majemuk melibatkan seluruh anggota keluarga misalnya kakak, paman maupun anggota keluarga yang lain. Pendekatan pendidikannya tidak jauh berbeda dengan sekolah rumah tunggal.

Gabungan sekolah rumah di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun kelurahan melibatkan komunitas sekolah rumah yang terdiri dari gabungan beberapa sekolah rumah tunggal dan majemuk ditingkat lokal. Dengan memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal ditingkat lokal, maka seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan yang murah tanpa harus mengabaikan arti pendidikan itu sendiri.

Akhirnya peningkatan akses mutu layanan PAUD Nonformal diharapkan dapat mendukung wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dengan mengoptimalkan potensi anak sejak dini maka anak juga semakin siap memasuki pendidikan sekolah dasar, menengah, dan atas yang tentu saja memberi nilai tambah terhadap keyakinan, kematangan emosi, dan kemampuan kognitif para siswa menghadapi UAN serta menghilangkan kekerasan yang dilakukan anak (bullying) terhadap teman sepermainanya.

Perluasan akses dan mutu pelayanan PAUD Nonformal sejenis TPA dan KB harus dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, baik kalangan atas, menengah, bawah maupun kaum marginal sekalipun. Bukankah pemerintah telah mendukung hal tersebut. Lihat saja Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang anak. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 53 ayat (1): "Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil". Selamat berkarya.

Saya Ferdinand Hutabarat setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).


3. Fokuskan Pendidikan Usia Dini ke Anak Usia 0-6 Tahun!

Jumat, 15 Mei 2009 | 20:34 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu

JAKARTA,KOMPAS.com - Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di daerah-daerah masih banyak berfokus pada usia 5-6 tahun atau anak-anak yang bersekolah di Taman Kanak-kanak. Akibatnya, empat tahun pertama di masa emas anak-anak tersebut menjadi kurang diperhatikan, padahal di usia tersebut mereka juga perlu dimaksimalkan potensi dan tumbuh kembangnya.



"Pendidikan anak usia dini atau PAUD itu penting mulai anak usia 0-6 tahun. Tetapi pemerintah daerah belum banyak yang mendukung karena tidak wajib seperti pendidikan dasar sembilan tahun," kata Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, Hamid Muhammad, di Jakarta, Jumat (15/5).

Program PAUD merupakan salah satu program prioritas Depdiknas. Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD tahun 2008 baru mencapai 50,03 persen dari 29,8 juta anak. Target APK PAUD formal maupun PAUD nonformal akhir tahun ini adalah 53,9 persen, baik yang dikelola Depdiknas maupun Departemen Agama.

Hamid mengatakan, upaya untuk meningkatkan akses pendidikan dilakukan terutama untuk perintisan PAUD di daerah terpencil, yaitu di 50 kabupaten dari 21 provinsi di Indonesia. Intinya, kata dia, pertama adalah untuk pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan pada pengelola PAUD di desa. Kedua, untuk para pembina di provinsi dan kabupaten. Ketiga, yang paling besar jumlahnya, adalah untuk pendirian lembaga PAUD. "Total 783 ribu anak yang bisa masuk program ini," katanya.



Hamid mengungkapkan, kendala yang dihadapi untuk mendongkrak APK PAUD adalah tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya PAUD. Anggota masyarakat, kata dia, terutama di daerah pedesaan kurang peduli terhadap PAUD. "Bagi mereka yang penting masuk sekolah dasar. Padahal betapa pentingnya PAUD sebagai landasan wajib belajar sembilan tahun," katanya.



Pemerintah, kata Hamid, juga memberikan perhatian terhadap tutor PAUD. Dia menjelaskan, tutor PAUD tidak seperti guru pada taman kanak-kanak yang diwajibkan berkualifikasi S1 ditambah pendidikan profesi. Tutor PAUD, kata dia, dilihat dari kompetensinya.

"Belum ada standardisasi kualifikasi, tetapi secara bertahap akan kita lakukan beberapa standardisasi. Sementara ini yang kita lakukan dengan pelatihan," katanya.



Direktur PAUD Depdiknas Sudjarwo Singowidjojo menyampaikan, upaya lain yang ditempuh untuk meningkatkan APK PAUD adalah diversifikasi bentuk-bentuk PAUD, yakni kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis. Dia mencontohkan, melalui PAUD sejenis yaitu dengan membina di antaranya posyandu dan taman pendidikan Alquran.



"Kemudian dengan melakukan kemitraan dengan organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Muslimat NU, dan PKK. Diharapkan, APK PAUD dapat mencapai 72,6 persen pada 2014," katanya.



Hamid mengatakan, progam PAUD didukung melalui APBN dan grant dari pemerintah Belanda. Beberapa tahun belakangan ini, kata dia, program ini juga dibantu oleh UNICEF khususnya di kawasan Indonesia bagian timur. "Oleh karena itu, pada tahun ini, bersamaan dengan program reguler, APBN, dan pihak donor, kita akan melakukan kegiatan publikasi dan sosialisasi berupa sejumlah lomba," katanya.



Sumber : KOMPAS


4. PAUD Berbasis Aqidah Islam Upaya Melahirkan Generasi Berkualitas

Urgensi Pendidikan Anak Dini Usia

Rasulullah Swt bersabda uthlubul’ilma minalmahdi ilallakhdi yang artinya tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Hadits tersebut menekankan betapa pentingnya seseorang belajar sedini mungkin, bahkan sejak dalam buaian. Lantas bagaimana seorang bayi yang masih dalam buaian dapat menuntut ilmu? Sedangkan ia masih lemah, belum bisa bicara, berjalan, apalagi berpikir. Lagipula, bukankah akal seorang bayi belum sempurna? Inilah yang justru dituntunkan oleh Rasulullah Saw bahwa sejak anak dalam buaian pun, ia dapat menuntut ilmu. Tentu kesadaran akan perlunya belajar sejak usia dini ini tidak muncul dari si bayi yang ‘belum bisa apa-apa’, namun dimulai dari kesadaran orang tuanya untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada anaknya sejak dini. Karena pada dasarnya, ketika seorang manusia telah terlahir ke dunia ini, ia telah dilengkapi berbagai perangkat seperti panca indera dan akal untuk menyerap berbagai ilmu.

Inilah peletak dasar pentingnya pendidikan dini usia. Sejak dini anak harus diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik anak pada usia ini ibarat membentuk ukiran di batu yang tidak akan mudah hilang, bahkan akan melekat selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan sangat melekat hingga anak dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini ini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.

Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi keberhasilannya pada masa yang akan datang. Ia akan menjadi sebuah individu yang cerdas, penuh percaya diri dan mampu mengarungi kehidupan dengan segala tantangannya dengan baik. Dia akan menjadi manusia yang berkualitas, berkepribadian kuat dan berguna bagi masyarakat.

Bagi orang tua, anak adalah tumpuan hari tua, tempat di mana orang tua bergantung ketika kelak usia sudah uzur. Anak adalah amanah yang harus dijaga, dirawat dan dididik semaksimal mungkin. Merawat, mendidik dan membesarkan anak adalah ladang pahala bagi orang tua yang akan dipanen kelak di akhirat. Ya, anak adalah tabungan bagi kehidupan akhirat orang tuanya. Jika berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang sholeh, akan menjadi jembatan bagi orang tuanya untuk mendapatkan surga. Rasulullah Saw bersabda yang artinya: "Bila seorang meninggal, terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: amal jariah, ilmu yg bermanfaat, dan anak yg shaleh yg

berdoa untuknya." (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw bertanya pada para sahabat: "Tahukah engkau siapakah orang yang mandul." Berkata para sahabat: "Orang yang mandul ialah orang yang tidak mempunyai anak." Lalu Rasulullah SAW berkata: "Orang yang mandul itu ialah orang yang mempunyai banyak anak, tetapi anak-anaknya itu tidak memberi kemanfaatan kepadanya sesudah ia meninggal dunia." (Maksud Al-Hadith )

Bagi umat, anak-anak adalah generasi pewaris dakwah. Anak-anak adalah pewaris perjuangan yang sedang kita laksanakan hari ini. Mereka akan dipertanggungjawabkan untuk meneruskan perjuangan suci, demi eksistensi kalimatullah di muka bumi. Di samping mendidik anak-anak menjadi anak yang sholeh, mereka harus diproses dengan rapi agar bersedia memikul dan melaksanakan tanggung-jawab dakwah dan jihad. Anak-anak adalah mad’u (orang yang diseru) yang perlu dibentuk melalui satu proses tarbiyah, yaitu proses penyucian diri, pembentukan pemahaman, kesadaran dan pembinaan kepribadian (syakhsiyah). Oleh karena itu kita dituntut untuk mendidik anak-anak melalui proses pendidikan Islami sejak dini.

Sedangkan bagi negara, anak adalah aset penerus masa depan bangsa dan negara. Merekalah yang akan menghantarkan bangsa ini menuju bangsa yang bermartabat dan diridloi Allah. Karena itu, pendidikan anak usia dini merupakan investasi pembangunan manusia yang amat penting bagi pembangunan sumber daya manusia berkualitas, demi masa depan lebih baik. Produktivitas bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh bagaimana upaya pengembangan anak usia dini dilakukan.

Pakar Gizi Prof. Dr Hidayat Syarief mengatakan, konsep holistik sumber daya manusia menegaskan bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh kondisi pada saat manusia berupa janin dalam kandungan seorang ibu sampai dengan usia balita, anak dan remaja. Dengan demikian dalam konteks pembangunan sumber daya manusia kita dihadapkan pada agenda menyiapkan generasi masa depan yang mampu menjadi tumpuan umat dalam meneruskan pembangunan.

Jelaslah, mendidik anak dengan baik bukan saja untuk kepentingan masa depan anak itu sendiri atau untuk jaminan hari tua ayah dan ibunya, namun juga demi kemajuan bangsa dan negara serta umat secara keseluruhan. Karena itu, pendidikan anak usia dini tidak dapat dipandang sempit hanya demi kemaslahatan anak itu sendiri atau orang tuanya, melainkan untuk kepentingan yang jauh ke depan, demi kemajuan umat di dunia dan tabungan pahala di akhirat.

Pentingnya melakukan investasi untuk pengembangan anak usia dini, antara lain untuk membangun SDM yang berkemampuan intelegensia tinggi, berkepribadian dan berperilaku sosial yang baik serta mempunyai ketahanan mental dan psikososial yang kokoh. Terlebih lagi berbagai penelitian menyebutkan bahwa masa dini usia merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Betapa tidak, sebanyak 50 persen kapabilitas kecerdasan manusia terjadi ketika anak berumur 4 tahun dan 80 persen telah terjadi ketika berumur 8 tahun. Ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya dan selanjutnya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Itulah kenapa masa ini dinamakan masa emas perkembangan (the golden age), karena setelah masa perkembangan ini lewat, berapa pun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi. Disinilah pentingnya memulai pendidikan sejak usia dini, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menuntut ilmu sejak dari buaian.


Tujuan Pendidikan Anak Dini Usia Berbasis Aqidah Islam

Tujuan pendidikan anak dini usia berbasis akidah Islam adalah membentuk anak yang berkepribadian islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai landasan ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki kepribadian Islam adalah anak yang memiliki kelebihan dalam banyak hal, sehingga mereka bisa dikatakan sebagai Anak unggul. Anak unggul adalah anak yang sholeh/sholehah, cerdas,sehat dan pemimpin. Anak sholeh/ah adalah anak yang banyak melakukan amal yang diridloi oleh Allah SWT dan orang tuanya. Anak sholeh adalah anak yang menyenangkan orang tua dan semua orang di sekitarnya.. Anak yang sholeh memahami betul hakekat hidupnya didunia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nyam yang artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”(QS:Adz-dzariyat(51):56) ). Dengan kata lain, anak sholeh adalah anak yang bertaqwa (senantiasa melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi seluruh larangan-Nya termasuk menghiasi diri merka dengan akhlaq-akhlak mulia seperti jujur, bertutur kata yang sopan dan punya rasa malu. Sehingga anak yang sholeh akan menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak diridloi Allah seperti: terlibat narkoba, memperlihatkan aurat pada orang yang tidak berhak dan menghambur-hamburkan uang untuk kepuasan hawa nafsu. Sebagai orangtua, pastilah ibu menginginkan memiliki anak yang sholeh yang didalam alQur’an dikatakan sebagai ‘qurrata a’yun”, sebagimana do’a yang sering ibu lafadzkan setelah sholatnya ; “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” (QS:Al-Furqam(25):74)

Anak cerdas adalah anak yang mau dan mampu melakukan segala sesuatu. Anak seperti ini memiliki tingkat berpikir yang melebihi anak pada umumnya dan mempunyai kelebihan dalam bidang-bidang tertentu sehingga menonjol di kalangan anak seusianya. Ia berani tampil dan menunjukkan kemampuan yang dimilikinya. Anak yang cerdas akan memiliki keahlian pada bidang yang digelutinya dan mampu menjawab tantangan zaman. Sehingga mereka tidaklah mudah dibohongi dan dikendalikan orang lain, bahkan mereka menjadi agen perubahan ditengah-tengah masyarakat untuk mengajak mereka kepada perubahan yang hakiki yaitu mengeluarkan manusia daripada kegelapan (kebodohan dan keterbelakangan) kepada cahaya (keimanan Islam dan kemajuan peradaban)

Anak sehat adalah anak yang memiliki fisik yang kuat, tidak mudah jatuh sakit, gesit dan enerjik. Anak seperti ini terbiasa makan makanan halal dan bergizi (sekalipun tidak harus mahal), mau berolahraga dan cukup beristirahat. Anak sehat adalah anak yang mampu melakukan segala aktivitas dengan sempurna tanpa ada hambatan fisik maupun mental. Anak yang sehat siap mengerahkan tenaganya untuk melakukan amal-amal yang baik termasuk menjadi pejuang yang mempertahankan kemuliaan Islam di muka bumi.

Pemimpin, anak yang menjadi pemimpin memiliki ciri-ciri: pemberani, amanah, bertanggung jawab dan melindungi yang lemah. Pada saat menjadi pemimpin mereka tidak berlaku zholim kepada orang yang dipimpinnya, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kesulitan yang dihdapi rakyatnya. menjadi pelayan ummat (mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi), mereka berani mengambil keputusan yang benar dan tepat pada saat kritis Sosok pemimpin seperti inilah yang dirindukan oleh bangsa ini untuk mengeluarkan negeri ini dari kondisi yang semrawut/ibarat benang kusut.

Dengan demikian anak unggul adalah anak yang terarah cara berpikir dan bersikapnya berdasarkan akidah Islam dan memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa ia gunakan untuk kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga mereka siap menjadi pemimpin dimasa mendatang yang akan memberi sumbangan yang besar bagi kemajuan peradab suatu bangsa di mana mereka hidup.

Anak unggul tidak lahir begitu saja seperti membalikkan telapak tangan. Namun lahirnya anak unggul membutuhkan suatu proses pendidikan yang berkesinambungan (“dari buaian sampai ke liang lahat”) yang membutuhkan kerjasama dari berbagai komponen yaitu keluarga, sekolah, masarakat dan negara. Keberhasilan suatu tahapan pendidikan perlu diikuti oleh tahapan berikutnya sehingga akan dapat mewujudkan anak yang unggul yaitu anak yang memiliki kepribadian Islam.


Tahap Pendidikan Anak

Tahap pendidikan anak dibagi atas tiga periode. Periode pertama, yakni usia dini. Periode ini adalah tahap pembentukan konsep diri dan pemberian rangsangan (stimulan). Konsep diri anak yang ditanamkan sejak dini adalah anak unggul (sholeh, cerdas dan sehat). Penanaman konsep diri sebagai anak unggul akan memberi nilai positif bagi anak sebagai tabungan energi (motivasi) untuk tampil sebagai individu yang percaya diri dan memiliki positive thingking dan feeling (perasaanpada anak usia dini penting untuk mempermudah dalam memberikan stimulan pada anak dan mempermudah proses pembentukan syakhsiyah Islam sesuai dengan tahap perkembangan anak. Konsep diri sebagai anak unggul tercipta melalui pemberian motivasi-motivasi positif kepada anak sejak dini usia.

Penanaman konsep diri yang positif agar menjadi anak unggul ini telah dicontohkan baginda Rasulullah Muhammad Saw. Beliau dikenal sangat perhatian terhadap anak-anak. Sampai-sampai diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata, "Suatu hari aku sedang bersama anak-anak. Tiba-tiba muncul Rasulullah SAW dan berkata, 'Assalamualaikum, hai anak-anak'."

Rasulullah pun senantiasa memberikan label-label positif untuk mendidik para generasi sahabat terdahulu. Adalah Abdullah bin Umar yang tidak pernah menegakkan sholat malam, lalu Nabi bersabda 'Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, jika ia melaksanakan sholat malam.' Apa yang terjadi? Sesudah itu Abdullah pun banyak mengerjakan sholat malam dan tidur hanya sebentar.

Subhanallah. Sebuah ungkapan positif yang luar biasa yang mampu memotivasi seseorang tanpa menjatuhkan mental dan harga dirinya. Tentu akan berbeda dampaknya jika kepada Abdullah bin Umar waktu itu dikatakan ‘kamu ini laki-laki yang buruk karena tidak pernah sholat malam.’ Bisa jadi, Abdullah bin Umat bukannya terdorong untuk sholat malam melainkan akan semakin malas mengerjakan sholat malam.

Dari Abdullah bin Ja'far RA ia berkata, "Rasulullah Saw pada suatu hari menaikkan saya di belakang kendaraan beliau. Beliau mengatakan suatu rahasia yang tidak saya bocorkan kepada siapapun juga.” Demikian pula yang terjadi pada Anas ra tatkala dia terlambat pulang karena urusannya dengan Rasulullah Saw. Sang ibu bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau terlambat?” Anas menjawab: “rahasia.” Sang ibu berkata: “Jangan sampai engkau buka rahasia Rasulullah Saw kepada siapapun.” Anak itu pun tidak membuka rahasia kepada ibunya. Ia juga menyimpan rahasia dari Tsabit yang biasa mendengar hadits darinya. Anaspun berkata kepada Tsabit: “Demi Allah Swt, jika saya telah menyampaikan rahasia itu kepada seseorang niscaya saya pasti mengatakan kepadamu.”

Begitulah, kepercayaan yang diberikan Rasulullah Saw kepada seorang anak untuk menyimpan rahasia tidak lain adalah untuk membangun rasa percaya diri pada sang anak. Anak merasa dihargai dan dianggap orang penting karena dijadikan tempat untuk menyimpan rahasia penting.

Rasulullah menanamkan rasa percaya diri pada anak dan rasa tanggung jawab memikul suatu amanah. Rasulullah tidak pernah mencela, tetapi selalu menanamkan konsep diri yang positif kepada anak-anak sehingga terlahir generasi yang berkepribadian kuat dan memandang kehidupan dengan penuh optimisme. Contoh anak-anak unggul yang lahir pada era Islam: Abdullah bin Umar, Hasan dan Husein, Abdullah bin Zubair, Usamah bin Zaid, Hubaib bin Zaid, Dirwas bin Hubaib, Iyas bin Muawwiyah, dll.

Dengan demikian, besarkanlah buah hati kita dengan memberikan label-label positif seperti anak sholeh, anak pintar, anak hebat, anak yang baik, anak yang sabar, anak yang penurut, anak yang rajin, ayo kamu pasti bisa, dll. Sebaliknya, jangan menjatuhkan mental anak dengan memberi label-label negatif seperti dasar anak bodoh, anak nakal, anak cengeng, anak bandel, anak badung, sudah besar masak nggak bisa sih, kamu nggak bakalan bisa, alaaah paling juga gagal, jangan coba-coba nanti jatuh, nggak usah membantu malah bikin berantakan, dll. Suatu hal yang berbahaya bila memberikan label-label negatif kepada anak usia dini karena akan melekat terus di benaknya dan terekam hingga ia dewasa. Hal itu akan menghancurkan masa depannya kelak.

Penanaman konsep diri yang positif perlu diikuti dengan pemberian rangsangan (stimulasi) terhadap semua indera anak dengan meberikan informasi yang dikaitkan dengan fakta berdasarkan tahap perkembangannya. Usia 0-2/3 tahun anak belum dapat melakukan komunikasi dua arah sehingga belum bisa memperoleh feedback yang seimbang. Sehingga hal yang harus menonjol dilakukan adalah pemberian informasi dan fakta yang sebanyak-banyak pada anak. Anak sudah dibiasakan mendengarkan ayat-ayat alqur’an dan kalimat-kalimat uang baik (kalimah thoyyibah), berbagai bentuk dan warna. Selain itu perkembangan motorik yang terjadi baru motorik kasar sambil mengasah motorik halus. Suatu hal yang wajar bila anak masih sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam melakukan perbuatan yang terkait dengan gerakan motorik. Usia 2/3-4/5 tahun, anak sudah bisa diajak berkomunikasi dan bisa dirangsang daya nalar dan daya imajinasi. Usia ini anak sudah memiliki perkembangan gerakan motorik halus yang baik sehingga sudah bisa diajak melakukan perbuatan-perbuatan dengan benar, misalnya sholat, berwudlu, makan dengan tangan kanan, membuang sampah dengan benar, dll. Saat ini anak sudah bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan disiplin sikap. Periode 4/5 tahun – 6 tahun anak sudah bisa memberikan hujjah/alasan terhadap kesalahan yang dilakukannya. Pada saat ini anak sudah bisa diajak berdialog untuk mengungkapkan pendapat dan perasaanya sambil diikuti dengan meluruskan alasan yang benar dan tepat tetapi tidak dengan cara memaksakan apalagi kekerasan fisik.. Fase ini anak sudah mulai diajak melakukan perbuatan dengan benar dan tepat dan dimulai menerapkan disiplin waktu, misalnya melaksanakan sholat tepat waktu.

Periode kedua adalah tahap pra-baligh, yakni pada usia nyasekolah dasar hingga memasuki usia baligh. Periode ini merupakan tahap latihan dan pendisiplinan bagi anak agar menjadi anak unggul.. Pada masa ini anak sudah mulai terbiasa melakukan suatu aktivitas dengan benar dan tepat dan sudah bisa menerapkan perbuatan yang terkait dengan disiplin waktu. Bila masih melakukan kesalahan dengan sengaja orangtua sudah bisa melakukan pemberian sanksi bertujuan melatih anak untuk sudah terikat dengan suatu aturan. Rasulullah Saw telah bersabda: “Perintahlah anak-anakmu shalat di usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat di usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur anak satu dengan yang lainnya.” Pemberian sanksi berupa pemukulan hanya diberlakukan bagi pelanggaran kewajiban bukan terhadap yang sunnah dan mubah. Itupun dilakukan dengan sebelumnya telah melatih anak melakukan sholat pada usia 7 tahun.

Periode ketiga, yakni usia baligh hingga dewasa. Tahap ini merupakan periode pematangan dan penguatan kualitas anak unggul. Pada usia ini seorang anak harus sudah siap menerima kewajiban-kewajiban sebagai seorang mukaalf (orang yang dibebani hukum). Anak sudah dengan sukarela menjalankan sholat, menutup aurat, mengaji, dan berbagai kewajiban lainnya tanpa paksaan. Anak sudah memiliki kesadaran akan hakikat hidup dan posisinya sebagai hamba Allah Swt. Anak sudah memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikapnya sudah terbentuk sesuai dengan standar Islam. Periode ini akan dapat dilalui oleh seorang anak dengan mudah jika pondasinya sudah ditanamkan pada masa usia dini dan telah dibiasakan pada usia pra-baligh.

Dengan demikian, tampak jelasnya pentingnya pendidikan usia dini bagi perkembangan anak pada tahap-tahap kehidupan sesudahnya. Jika pendidikan pada usia dini ini sukses, maka insya Allah akan mampu mengantarkan anak menjadi pribadi yang unggul, harapan orang tua, umat dan negara.


Pelaku Pendidikan Anak Dini Usia

Keberhasilan pendidikan anak usia dini tergantung pada peran serta semua komponen yang terlibat di dalamnya, yakni keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara.

1. Keluarga

Orang tua adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak, terutama ibunya. Dari ibunyalah anak belajar merasakan kehangatan, kasih sayang dan berbagai rangsangan. Anak adalah amanat Allah Swt yang tak ternilai harganya. Kesucian jiwa seorang anak merupakan pertaruhan bagi setiap orang tua agar tak ternoda. Oleh karena itu, setiap perkembangan jiwa dan raga anak harus menjadi perhatian serius setiap orangtua. Jangan sampai kesucian jiwa anak terkontaminasi oleh virus-virus kemungkaran yang dapat merusak akidahnya, pendidikannya, akhlaknya dan masa depannya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang membuatnya menjadi yahudi, majusi dan nasrani” (HR.Muslim)

Salah satu caranya adalah dengan menanami jiwa mereka yang masih suci dan polos dengan akar akidah ketauhidan, ditaburi benih-benih akhlak yang mulia, disirami kasih sayang, dan dipenuhi limpahan perhatian. Insya Allah mereka akan menjadi anak yang sholeh. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka mempersiapkan generasi yang tangguh dan berkualitas.

Rasulullah melakukan itu semua, karena anak merupakan buah hati dan makhluk suci. "Anak adalah 'buah hati', karena itu termasuk dari bau surga" (HR Tirmidzi) Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri). Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan dia asuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga.” (HR Al Bukhary).

Imam Al-Ghazali berkata, “Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya.”

Pendidikan yang baik merupakan pemberian terbaik orangtua kepada anak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR.At-Tirmidzy)

Pentingnya pendidikan bagi anak oleh orang tua juga ditegaskan shahabat 'Aly bin Abi Thalib r.a; “Ajarilah anak anakmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu.” Maknanya, orang tua harus mengajarkan segala hal kepada anak agar ia kelak siap menghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah.

Orang tua memiliki kelebihan dalam mendidik anak karena dapat dilakukan sepanjang waktu dan disertai kasih sayang. Berbeda dengan pendidikan di sekolah di mana waktunya terbatas dan tidak disertai kasih sayang hakiki. Kasih guru kepada muridnya tentu berbeda dengan kasih orang tua kepada anaknya.

Pada usia dini (terutama 1-3 tahun) seringkali anak sudah dilibatkan dalam kegiatan sekolah yang disebut preschool atau play group. Bahkan akibat gencarnya gerakan wanita karier, tidak sedikit anak-anak di bawah 1 tahun (baca: bayi) sudah harus diasuh di sekolah-sekolah (tepatnya penitipan anak). Ini bisa berdampak kurang baik bagi perkembangan anak.

Penelitian menunjukkan, anak yang tidak diasuh ibunya mempunyai keterbelakangan mental psikologi bila dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh ibunya. Di dalam penelitiannya Rene Spitz membandingkan perkembangan bayi yang diasuh di penitipan anak dan bayi yang lahir di penjara namun mendapat perawatan ibunya. Rene menemukan bahwa unsur kelekatan antara ibu dan anak ternyata memegang peranan penting, di mana anak di penitipan anak terlihat depresi mental dan kurang kasih sayang. (Rene Spitz dalam Roberta Berr, 1985).

Selain itu, Bronfenbrenner dalam penelitiannya di Amerika Serikat membuktikan, anak-anak yang pernah memasuki penitipan anak dalam kesehariannya akan bersosialisasi dengan kawan sebayanya saja, sehingga mempunyai sikap lebih agresif, egosentris dan impulsive dibanding anak-anak yang mendapat perawatan di rumah. (Roberta Berr, 1985). Karena itu, wajib bagi ibu untuk mendidik anak-anak di rumah pada usia dini karena memang itulah tugas seorang ibu.

Bagaimana pola pengasuhan dan pendidikan anak ini? Pengasuhan anak di keluarga umumnya berlangsung dalam lingkungan yang over protectif dari ibunya. Akibatnya anak menjadi kurang kreatif dan bersifat menunggu. Menurut Parsons, dalam differensiasi peranan antara orang dan anak kadangkala orang tua memakai sumbu vertikal di mana ibu/bapak adalah leader dan anak adalah follower (Parsons, 1992). Di sini posisi anak dipandang semata-mata sebagai obyek yang tidak berdaya, harus menurut dan sederet sebutan yang memandang anak pada posisi lemah. Pendidikan yang berorientasi pada orang tua (parents perspective) ini sangat tidak menguntungkan bagi tumbuh kembang anak.

Pendidikan dan pengasuhan anak yang harus dikembangkan dalam upaya mengembangkan kreativitas dan tumbuh kembang anak usia dini adalah children perspective, yakni pendidikan yang berpusat pada anak. Ini akan membuat anak sejak usia dini sudah mengenal rasa tanggung jawab, empati dan tidak pemalu (karena pendapatnya didengar atau diterima). Mengapa harus demikian? John Bolby mengatakan, pada dasarnya praktik pengasuhan anak selalu ditandai dengan adanya attachment yaitu interaksi yang terjadi antara ibu dan anak dalam rangka pemenuhan kebutuhan anak. Pada usia dini, anak memang sepenuhnya akan menyandarkan diri dalam memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan anak yang terpenuhi akan menjadikan rasa aman sehingga membentuk rasa percaya diri (John Bolby dalam Elizabeth B Hurlock, 1990)


2. Sekolah

Sedangkan usia 4-6 tahun anak-anak biasanya duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak (TK). Karena itu, selain keluarga, sekolah di mana anak-anak usia dini ini berada sangat berperan dalam membentuk konsep diri anak. Untuk itu sekolah harus memiliki visi dan misi untuk membentuk anak unggul, bukan hanya cerdas dari sisi IQ semata, melainkan anak sholeh dan sehat. Para pembina di sekolah, terutama guru yang paling intens berinteraksi dengan anak harus memahami konsep-konsep pendidikan anak usia dini selaras dengan apa yang dipahami orang tua di rumah. Dengan demikian tidak terjadi kerancuan pemahaman bagi anak dan tidak terjadi dikotomi antara ‘pelajaran’ di rumah dengan pelajaran di sekolah. Ini penting untuk menciptakan figur orang tua sebagai guru di rumah. Umumnya, anak yang sudah mengenal pendidikan sekolah akan lebih percaya pada gurunya dibanding orang tuanya dalam hal pembelajaran. Ini yang harus diubah.

Di masa usia TK ini pula anak-anak tidak seharusnya diwajibkan untuk belajar ‘serius’, tetapi harus sambil bermain. Penelitian Kemajuan Belajar Anak SD di DKI Jakarta yang dilakukan Universitas Indonesia (1981) menunjukkan, anak usia TK yang diforsir dengan belajar dan belajar memiliki dampak yang tidak menguntungkan. Mungkin saja anak-anak cepat pintar pada usia TK, dan kemudian pintar pada kelas 1, 2 dan 3, namun makin lama menjadi makin tidak pintar di kelas yang lebih tinggi. Ini karena anak usia TK belum siap dengan sistem belajar yang serius sehingga kelak timbul kejenuhan, meskipun dia sudah bisa ‘dididik’.

Karena itu, proses belajar di TK haruslah dengan sistem bermain. Sebab penelitian tersebut membuktikan, mereka yang kebutuhan bermainnya terpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunia lebih lanjut dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang sesuai potensi yang dimilikinya. Ia terlatih untuk terus menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan.

Ada dua pendekatan dalam metode pembelajaran di TK. Pertama, pendekatan yang berpusat pada guru (teacher oriented) di mana guru berperan mengajarkan anak, anak sebagai pendengar (pasif). Pada pendekatan pertama ini guru kurang memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir, kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaannya dan menemukan pemecahan masalahnya sendiri. Anak-anak lebih banyak duduk di bangku mendengarkan penjelasan guru. Guru hanya memfokuskan diri pada kurikulum. Guru berasumsi bahwa anak adalah ibarat botol kosongd an guru mengisi botol tersebut dengan berbagai informasi yang sudah matang.

Kedua, pendekatan yang berpusat pada anak (children oriented), di mana guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran anak (anak yang aktif). Pada pendekatan ini guru berpegang pada panduan kemampuan yang akan dicapai anak. Di sini guru memberikan kesempatan pada anak untuk mengutarakan pengalaman dan perasaannya melalui berbagai interaksi antara guru dengan anak atau antarsesama anak. Pengaturan bangku kelas tidak seperti di sekolah, terkadang dibuat lingkaran, dalam kelompok kecil dan terkadang di tikar atau halaman luar. Sehingga anak dengan bebas dapat melakukan apapun, memegang atau menulis dengan caranya sendiri dan menguraikan pengalamannya sendiri.


3. Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat tempat tinggal anak adalah tempat anak menyerap informasi, fakta dan belajar bahasa. Tempat di mana anak bergaul dan bersosialisasi ini turut mendukung terwujudnya konsep diri anak yang unggul. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kesadaran penuh untuk memberikan suasana yang kondusif bagi perkembangan mental anak.

Lingkungan sekitar anak usia dini haruslah dapat menciptakan kebutuhan untuk mengeksplorasi diri secara aman, tersedianya kesempatan bermain yang beragam dan sesuai dengan perkembangannya. Semakin dini usianya maka semakin besar kebutuhannya akan ruang yang dapat dieksplorasi secara fisik.

Selain itu, lingkungan harus turut mendukung terciptanya nilai-nilai tauhid dalam diri anak dan pembiasaan-pembiasaan yang baik bagi perkembangan ruhiyahnya. Lingkungan yang penuh dengan kemaksiatan jelas akan berbahaya bagi perkembangan mental anak. Misalnya lingkungan yang menjadi pusat perjudian atau mabuk-mabukan.


4. Negara

Negara wajib memberikan fasilitas bagi terselenggarakannya pendidikan anak usia dini, khususnya agar anak dapat mengeksplorasi lingkungan dengan aman dan nyaman. Misalnya dengan membangun sarana-sarana bermain anak yang memadai. Selama ini, akibat pembangunan seringkali lahan bermain anak-anak menjadi korban. Lapangan, taman atau kebun tempat bermain semakin minim, khususnya di kota-kota besar. Kalaupun ada taman bermain, harus membayar dengan biaya yang tidak sedikit.

Negara juga wajib menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung bagi optimalisasi pendidikan anak usia dini. Antara lain memberikan penyuluhan akan pentingnya PAUD, meningkatkan kualitas para ibu dan instansi yang berkaitan dengan PAUD, memberikan kesempatan kepada para wanita (kaum ibu) untuk mendidik anaknya sendiri tanpa harus dibebani tugas mencari nafkah, dll. Negara juga harus mengontrol berbagai hal agar mendukung pelaksanaan tugas-tugas para ibu secara optimal.

Bukan itu saja, negara juga wajib menjamin kecukupan pangan bagi masyarakatnya agar anak usia dini tidak menjadi korban, misalnya malnutrisi atau menjangkitnya penyakit yang menyerang anak usia dini. Karena itu, fasilitas kesehatan yang murah wajib diberikan kepada masyarakat.

Dengan sinergi antara keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dan negara dalam perannya masing-masing, insya Allah penanaman konsep anak unggul pada anak usia dini dapat dilakukan tanpa hambatan. Dengan demikian hasilnya dapat dipanen di masa mendatang.


5. Gencarkan Pendidikan Anak Usia Dini

Sambas,- Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.

Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.

Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.

Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.

Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.

Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.

Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.(mur)

< Pendidikan Anak Usia Dini atau biasa disingkat PAUD, menurut Ny Naskah Burhanuddin, merupakan salah satu program yang harus digencarkan di Kabupaten Sambas. “PAUD penting dalam menyukseskan Terpikat Terigas yang merupakan visi dan misi daerah ini,” ujar Ketua Dewan Penasehat Muslimat NU Kabupaten Sambas, kemarin, saat meresmikan PAUD Az-Zahra Muslimat NU Kabupaten Sambas, di Pendopo Rumah Dinas Bupati.

Naskah mengatakan bahwa PAUD penting karena disini yang diajari adalah anak-anak sebelum memasuki sekolah. Berbagai pengetahuan disampaikan oleh tutor kepada anak usia dini tersebut, terutamai permainan yang melatih emosi dan kecerdasan. Sehingga demikian mereka memiliki bekal yang mantap ketika berada di sekolah dasar.

Hadir pada peresmian PAUD di Pendopo Bupati kemarin yaitu Pengusus PC Muslimat NU Kabupaten Sambas, Kabid Dikluspora Diknas Kabupaten Sambas, tenaga pengajar dan calon pesert PAUD ditemani oleh orang tuanya. Rencananya untuk kelas pertama ini, di PAUD Az-Zahra yang beralamat di Jalan Sultan M Tsyafioedin Sambas tersebut akan dididik sebanyak 25 siswa.

Ketua PC Muslimat NU Kabupaten Sambas Raden Dewi Kencana, mengatakan menyambut baik pendirian PAUD Az-Zahra. Menurutnya hadirnya pendidikan anak usia dini tersebut merupakan program Dinas Pendidikan Kalbar melalui Pengurus Wilayah Muslimat NU Kalbar. “Mudah-mudahan PAUD ini ikut berperan dalam membangun SDM di Kabupaten Sambas,” tegasnya.

Mengingat program PC Muslimat NU seiring dengan visi dan misi Kabupaten Sambas, ujar Dewi Kencana, mereka tentunya akan terus menjalin kemitraan dengan Pemkab di daerah ini. “Harapan Kami nantinya kegiatan PAUD ini dapat berkelanjutan,” imbuhnya.

Arsyad, Kabid Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas, menegaskan mereka selalu siap untuk mendukung program pembangunan SDM yang memang merupakan tupoksi dari instansinya. “Pembinaan dan pemantauan tetap akan dilakukan terhadap lembaga pendidikan seperti ini,” ujarnya.

Kabid Dikluspora berpesan agar pengelolaan PAUD dilakukan seprofesional mungkin. Sehingga aktivitasnya dapat terus berkelanjutan dalam menciptakan SDM berkualitas sebagaimana menjadi salah agenda Kabupaten Sambas. “Semua harus berpartisipsi tentunya disini,” ungkapnya.(mur)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda