iTs mE a_Ry...

Jumat, 15 Mei 2009

PENDIDIKAN KEAGAMAAN

1. Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)


2.Budhis Utami: Pendidikan Agama Jangan Menakut-nakuti

Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun.

Ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang dalam memutuskan pilihan agama. Juga saat ia berkeputusan untuk beralih agama. Faktor itu bisa ditemukan dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar di mana ia tumbuh dan mendapat pendidikan keagamaan. Tidak kalah penting adalah faktor internal dalam di sanubari orang itu sendiri. Faktor internal dan eksternal kemudian menjelma sebuah keputusan. Dan saat keputusan keimanan dibuat, tentu ada pergulatan iman yang tidak ringan. Rabu (24/12/2008), Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mengorek pergulatan iman Budhis Utami, seorang aktivis perempuan, pegiat LSM Kapal Perempuan, Jakarta. Berikut wawancaranya:

JIL: Sebagai unit sosial terkecil, keluarga berperan signifikan dalam perjalanan kehidupan keagamaan seseorang. Seperti apakah latar belakang keagamaan keluarga anda semasa kecil?

Saya berasal dari Jember, Jawa Timur. Teman-teman pasti tahu Jember itu basis keagamaannya apa. Keluarga saya dan seluruh orang di kampung adalah Islam dan NU (Nahdlatul Ulama). Keluarga saya juga Islam, meski secara politis kakek punya afiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Tapi bapak saya sangat NU meskipun masih memilih PDI waktu itu. Belakangan bapak memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena faktor Gus Dur. Mati-hidup dia ikut Gus Dur. Ibu saya anggota Muslimat NU meskipun tidak terlalu aktif. Minimal ikut pengajian-pengajian. Kakek saya dari garis ibu berasal dari Madura. Beliau ini sangat displin mengajar saya mengaji.

Jadi saya cukup fasih membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlash, al-Falaq, al-Nas dan lainnya. Kakek juga sangat disiplin memberi pendidikan agama. Jadi kalau kakek datang ke rumah saya di Jember, tiap subuh dia nggedor-nggedor pintu kamar supaya bangun salat, meski setelah bangun pura-pura ke kamar mandi, lalu masuk kamar dan tidur lagi. Poin yang ingin saya sampaikan adalah: latar belakang Islam dan NU itu sangat kental dalam keluarga saya.

JIL: Bagaimana pula dengan latar belakang keagamaan lingkungan sosial anda?

Saya melihat lingkungan tempat saya tinggal itu sangat kuat keislamannya. Tempat saya tinggal itu dekat hutan. Banyak orang berburu babi hutan. Nah, kalau ada orang yang berburu babi, akan dibilang orang Kristen. Karena babi hutan dalam Islam haram hukumnya. Dari situlah saya melihat bahwa sebenarnya lingkungan tempat saya tinggal itu memang sangat kuat keislamannya.

JIL: Bagaimana dengan internalisasi nilai-nilai agama semenjak anda kecil?

Waktu kecil, bapak-ibu saya bercerai. Jadi saya ikut keluarga paman yang memeluk Islam, meski bukan dari jenis Islam yang taat. Paman saya punya enam anak, tujuh dengan saya. Di situ saya belajar mengaji. Keluarga paman sendiri lebih menekankan bagaimana orang harus berbuat baik. Dari situ saya berpikir, apakah ini yang disebut dengan Islam abangan? Tapi kenapa anak-anaknya juga disuruh mengaji, termasuk saya?! Tapi paman memang orang yang disiplin. Dia kepingin anak-anaknya, termasuk saya, mendapatkan pendidikan yang ketat. Maka dia menyekolahkan kami di sekolah Katolik.

Tapi di antara kami bertujuh, hanya tiga orang—saya dan dua kakak sepupu saya—yang kemudian memilih untuk masuk Katolik. Jadi kalau dalam keluarga, sayalah yang pertama kali masuk Katolik. Itupun melalui sebuah proses panjang dan tidak segera disetujui oleh gereja Katolik. Sebab kalau mau masuk Katolik, harus mengikuti pendidikan agama yang panjang dulu. Saya harus jadi katekisasi (orang yang menerima pengajaran mengenai prinsip-prinsip agama Kristen sebagai persiapan menuju pembaptisan) dulu selama satu tahun. Saya mengikutinya sampai tiga kali. Dari dua sebelumnya, saya masih belum berhasil dibaptis. Sebab ada peraturan, untuk bisa dibaptis, anak-anak harus mendapat persetujuan orangtua.

Tentu saja paman dan orang tua saya tidak setuju. Tapi saya tidak mau konfrontasi dengan mereka. Saya memutuskan untuk konsentrasi belajar saja. Sebab waktu SMA nilai saya jelek, karena mesti juga belajar semua agama; belajar Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Saya benar-benar stres waktu SMA dulu mempelajari empat agama.

JIL: Dengan latar belakang keluarga dan lingkungan yang demikian kuat Islam dan NU-nya, bagaimana reaksi yang muncul ketika anda memutuskan pindah dari Islam dan memilih Katolik?

Reaksi yang keras pertama kali datang dari Ibu. Karena ibu saya ini memang betul-betul mendapat didikan dari kakek. Kakek saya rajin mengajar ngaji di mushalla. Waktu itu ibu bilang begini: “Kalau kamu masuk Kristen, saya tidak akan membiayai kamu!” Padahal setelah bapak-ibu bercerai, satu-satunya harapan saya untuk bisa sekolah adalah ibu. Akhirnya saya nurut saja. Sementara paman saya—yang saya sebut abangan itu—bilang begini: “Kamu jangan masuk Kristen, tetap saja di Islam. Orang itu tidak penting agamanya. Yang penting adalah perbuatan baiknya.” Itulah yang membuat saya bisa berkrompomi waktu itu. Dalam hati sendiri saya bilang, “Iya ya, saya masih SMP. Ya sudahlah saya fokus belajar aja. Gereja toh juga tidak akan membaptis saya kalau tidak ada persetujuan orang tua.”

Beberapa tahun kemudian saya naik SMA. Sewaktu SMA tekanannya masih sama. Respon gereja masih sama, karena keluarga saya masih belum memberikan persetujuan. Bapak saya masih diam saja, tidak berkomentar. Nah, ketika sudah berusia 23 tahun dan sudah satu tahun setengah ikut pelajaran agama Katolik, gereja tak kunjung mau membaptis saya gara-gara di dalam surat pernyataan itu tidak ada tanda tangan orang tua. Akhirnya saya balik marah ke gereja. Saya bilang begini: “Saya kan sudah berusia 23 tahun. Saya bisa mengambil keputusan sendiri dong! Tidak perlu persetujuan orang tua. Saya tidak mungkin memaksa ibu saya. Dan kalau gereja tidak mau membaptis saya, biar Yesus saja yang membaptis saya!” Saya bilang demikian ke gereja.

JIL: Bagaimana pula relasi anda dengan keluarga setelah pembaptisan itu? Apakah ada kekhawatiran muncul gap atau jarak pemisah antara anda dan keluarga?

Ya, ada kekhawatiran seperti itu. Waktu saya dibaptis, pada akhirnya saya merasa ada sesuatu yang jauh antara saya dan keluarga. Saya sudah mencecap banyak hal tentang Katolik, sementara orang tua saya adalah orangtua di kampung yang tidak tahu-menahu soal-soal demikian. Jadi saya merasa ada semacam gap atau jarak. Tapi saya sudah berjanji pada ibu waktu itu: saya pindah agama biar saya baik; baik pada orang tua, hormat dan berbakti kepada orangtua, baik pada sesama. Menghormati orang, siapapun dia, apapun latar belakang agamanya, kelasnya, dan seterusnya. Itulah yang saya pegang, dan itulah yang saya yakini sebagai sesuatu yang universal dari agama.

Jadi spirit itu yang saya ambil. Dan saya pikir spirit itu ada dalam semua agama. Saya punya teman Islam, teman-teman Budha, Hindu, dan sering berdialog dengan mereka. Ternyata mereka punya spirit yang sama. Karenanya, ketika saya masuk Kristen dengan segala perubahan-perubahan yang ada pada diri saya, ibu kemudian tidak marah dan bisa menerima saya. Meskipun kadang-kadang ibu saya—dengan logat Maduranya yang membuat saya ketawa—sering bilang: “Kamu itu kafir, pengikutnya Fir’aun!” Tapi saya tidak tersinggung. Saya justru ketawa aja sambil menimpali balik: “Ibu, di mana-mana orang Kristen itu pengikutnya Isa, bukan pengikutnya Fir’aun.” Jadi, saya bawakan secara rileks saja. Mau dibilang kafir, mau dibilang apapun, saya cuma ketawa. Yang penting saya berusaha menjadi pribadi yang baik. Saya berusaha bertanggung jawab, tidak merepotkan orangtua. Itu inti yang saya pegang. Kemudian di luar itu, orang mengatakan segala macam, saya tidak marah, tidak tersinggung.

JIL: Apakah anda cukup yakin bahwa pihak keluarga tidak menyayangkan keputusan yang anda pilih dan merelakan anda sepenuhnya?

Waktu itu, buat ibu dan bapak, relatif sudah tidak ada masalah. Terutama bapak. Dia punya guru, seorang kiai, namanya Kiai Mahmud (almarhum), yang bisa dibilang kiai besar untuk ukuran kampung saya. Kiai itu bilang ke bapak saya: “Pak Bun (nama bapak saya), biarkan aja anakmu mau masuk Kristen, mau masuk Islam, mau masuk apa, yang penting dia sungguh-sungguh meyakini agamanya dan menjalankannya!” Itu yang membukakan hati bapak saya untuk kemudian membiarkan saya berpindah agama dan tidak pernah mempersoalkan lagi.

JIL: Taruhlah urusan dalam keluarga beres. Tapi kadang-kadang lingkungan menjadi tekanan bagi keluarga dan juga anda sendiri. Mungkin mereka menyebut anda mengkhianati keluarga dan sebagainya. Bagaimana respon lingkungan sekitar?

Dalam konteks keagamaan yang saya pahami dan saya jalankan, saya sama sekali tidak merasa mengkhianati orangtua saya. Bahkan dalam banyak hal, saya selalu dijadikan contoh bagi anak-anak bapak saya dari istri keduanya. Karena di dalam keluarga, saya tidak pernah membawa embel-embel agama. Tapi perbuatanlah bagi saya yang lebih penting; bagaimana saya membantu orangtua dan adik-adik saya agar bisa sekolah. Dan saya memperjuangkan itu semua tanpa syarat. Misalnya mereka harus berbuat baik pada saya, harus ada imbalan dan lain-lain. Tidak. Ketika orang harus membantu, ya bantulah. Ketika orang harus berempati, ya berempatilah. Dan saya yakin semua agama pasti mengajarkan demikian. Karena itu, lingkungan saya tidak pernah melihat saya sebagai Budhis yang Kristen, sebagai Budhis anaknya si A atau si B.

JIL: Di samping memutuskan untuk pindah agama yang menuai pro dan kontra di lingkup keluarga sendiri, anda juga memutuskan untuk melaksanakan nikah beda agama. Bagaimana respon keluarga dan teman-teman anda saat itu?

Waktu saya mau menikah dengan suami saya yang Islam, paman datang dan bilang: “Mbok ya kamu kembali lagi ke Islam. Toh suamimu juga Islam!” Saya bilang: “Ketika saya beragama Kristen, apa paman melihat ada perubahan dalam diri saya?” Dia bilang, tidak. “Ya sudah, clear kan!” saya bilang begitu. Lantas suami saya bilang ke paman: “Saya bisa menerima dia apa adanya kok!” Saya sendiri waktu itu diledek dan ditakut-takuti sama teman-teman. Tapi di dalam hati saya bilang begini: “Lho kalau saya tidak boleh menikah dengan dia karena beda agama, padahal saya mencintainya dan ingin hidup bersamanya, terus gimana?” Apakah saya dipaksa untuk jatuh cinta dengan orang lain yang sama agamanya? Kan tidak bisa. Ini kan soal perasaan.

JIL: Bagaimana anda tetap bisa melangsungkan pernikahan beda agama tersebut? Bukankah undang-undang perkawinan kita tidak membenarkan pernikahan beda agama?

Ya, awalnya ada semacam dilema dengan hukum negara kita. Tapi bagi saya yang penting, dalam Katolik pernikahan beda agama diperbolehkan. Jadi ada dispensasi untuk menikah berbeda agama. Tapi memang harus menikah di dalam gereja Katolik. Tapi, waktu itu memang ribet sekali, karena saya tinggal di Yogyakarta, KTP saya Jakarta. Kemudian saya akan menikah di Jember, dan saya dibaptisnya di Jember. Jadi memang harus mengurus surat baptis, pendaftaran, dan segala macam. Secara organisasi, Katolik itu memang sangat ketat. Nah, karena urusannya cukup ribet, akhirnya saya memilih menikah secara Islam. Saya sendiri tetap Katolik. Dan keluarga maupun suami saya mendukung tidak perlu ada yang berpindah agama dan tidak perlu ada yang harus mengubah keyakinan. Jalanin aja masing-masing.

JIL: Dalam pernikahan beda agama, pasti banyak sekali perbedaan-perbedaan yang harus ditanggulangi. Bagaimana anda mengatasi perbedaan-perbedaan pada level konsep keagamaan, misalnya?

Ketika memilih suami, saya berprinsip suami harus punya perspektif yang sama dengan saya. Harus sama-sama punya perspektif pluralis, bisa menerima orang yang berbeda keyakinan untuk hidup bersama. Kalau saya tidak bertemu dengan laki-laki seperti itu, ya saya tidak mau. Karena bagi saya, tidak boleh ada pemaksaan dalam sebuah relasi perkawinan, termasuk pemaksaan untuk berubah keyakinan. Jadi bagi saya tidak bisa hanya berdasarkan cinta, perasaan menggebu-gebu dan berbunga-bunga saja. Tapi juga harus ditimbang-timbang cocok-tidaknya dalam hal perspektif, konsep, dan visi ke depannya. Sebab kalau tidak punya perspektif, konsep atau visi yang sama, apa bisa kita bertahan terus dalam relasi demikian?

Nah, alhamdulillah suami saya punya perspektif yang sama dengan saya. Maka kami relatif tidak mengalami hambatan di level konsep keagamaan. Kami berdua tidak melihat dengan serius perbedaan keyakinan kegamaan kami berdua. Makanya, ketika suami saya sakit dan saya harus berdoa dengan cara Islam, dengan senang hati saya melakukannya. Waktu itu ada yang kasih tahu ke saya, kalau mau suami saya sembuh, saya harus me-wirid-kan al-Fatihah 21 kali, al-Ikhlas 16 kali, al-Falaq 16 kali, dan al-Nas 16 kali. Meski wirid surat itu saya baca dalam bahasa Indonesia, tapi saya yakin Tuhan pasti tahu maksud seluruh bacaan wirid saya.

Di samping baca wirid, saya juga melakukan doa novena (doa pribadi atau doa bersama selama sembilan hari berturut-turut yang dipanjatkan guna mendapatkan suatu rahmat khusus). Jadi doa saya bisa dibilang doa yang “hybrid”. Sampai pada akhirnya ketika suami saya sudah dalam kondisi kritis, saya berdoa pakai cara sendiri: “Tuhan, suami saya sudah kritis, tunjukkan cara yang terbaik, pilihkan yang terbaik untuk dia!” Saya tidak pakai lagi surat-surat Alquran, tidak lagi pakai doa novena, betul-betul berdoa dengan cara saya sendiri. Dan doa saya terjawab dua jam kemudian; suami saya meninggal dengan tenang sekali dan saya mendampinginya.

Jadi bacaan-bacaan wirid itu, bacaan-bacaan doa novena dalam agama Katolik, dan bacaan-bacaan yang keluar dari dalam hati saya sendiri, saya pikir sama-sama didengarkan oleh Tuhan. Poin yang ingin saya sampaikan: kalau kita menjalankan nilai-nilai yang inti dan universal dalam suatu agama, kita tidak akan pernah bentrok dengan agama apapun. Termasuk dengan suami saya. Berantemnya ya persoalan pembagian pekerjaan dalam rumah tangga. Tidak pernah berantem masalah agama.

JIL: Kalau anda refleksikan ulang sekarang, faktor-faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi anda untuk menganut agama tertentu dan tidak yang lainnya?

Sebenarnya saya sendiri juga bertanya-tanya, seberapa jauh pendidikan enam tahun yang saya jalani di institusi Katolik mengkonstruksi iman saya? Padahal saya tidak pernah mengikuti pelajaran agama dengan sungguh-sungguh. Jadi kalau ada pelajaran agama Katolik, yang bukan Katolik itu keluar. Artinya saya juga tidak dimasuki oleh agama itu. Lantas saya juga bertanya-tanya tentang faktor lingkungan. Lingkungan saya Islam. Saya diajari Islam. Tapi kok saya tidak tetap di Islam dan malah pindah ke Kristen?

Dulu ketika saya belum mengenal Islam dan ketika sudah mempelajarinya, saya berpikir kok Islam itu galak banget ya. Apa-apa ada hukumannya. Kalau mati nanti ada azab neraka jika kita tidak taat dalam beragama. Bayangan neraka itu luar biasa menakutkan bagi saya. Dan saya tidak menemukan itu di Katolik. Karena surga dan neraka itu jarang dibicarakan. Yang sering dibicarakan adalah bagaimana relasi kita dengan sesama dengan penuh kasih dan sebagainya. Saya lantas berpikir, kok enak ya agama ini?! Mungkin ini salah satu yang mendorong saya untuk memilih Katolik.

Tapi saya benar-benar bingung. Saya kelas 3 SMA waktu itu. Dengan kondisi penuh kebingungan itu, di dalam hati saya berdoa: “Tuhan, tolong tunjukkan yang terbaik pada saya. Saya kepingin hidup saya baik.” Waktu itu saya benar-benar sudah pasrah.

JIL: Apakah anda merasa itu adalah pilihan terbaik dari Tuhan dan kini anda merasa sebagai true believer di agama Katolik?

Sampai sekarang, saya sendiri tidak tahu. Saya juga tidak tahu kenapa saya tetap memilih itu. Mungkin ada hal-hal yang menyentuh hati saya di dalamnya, misalnya ajarannya yang menekankan kasih. Juga dalam beberapa hal, Katolik itu kini agak lebih terbuka. Misalnya pastor-pastor di gereja biasa mengucapkan assalamu’alaikum. Jadi tidak pernah ada larangan mengucapkan selamat hari raya. Itu yang membuat saya nyaman, bisa bersilaturahmi dengan banyak saudara-saudara saya, apapun agamanya. Tapi kadang saya juga ketemu dengan pastor yang fundamentalis. Tapi saya sudah punya filter sendiri, sehingga saya bisa memilah mana yang tidak cocok dan cocok untuk teman diskusi saya. Tapi dalam berelasi, kami tetap saling menghormati.

JIL: Sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan, apa makna agama atau keberagamaan bagi diri anda sekarang?

Agama menurut saya adalah sebuah rambu-rambu bagi saya untuk menjalani hidup ini. Jadi sebuah rambu-rambu jalan saja, di mana saya bisa mengkritisinya. Makanya, secara kelembagaan, saya sering mengkritik agama Katolik. Bagaimana dia memposisikan perempuan, itu tetap saya kritisi sampai sekarang. Misalnya kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin atau imam. Saya tanya teman-teman pastor: “Sebenarnya ada tidak sih dasar Biblis-nya bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pastor, menjadi imam?” Mereka bilang tidak ada, dan itu hanya semacam tradisi. Artinya itu bisa diubah. Bagaimana mengubahnya dan kapan usaha itu akan berhasil, itulah yang menjadi persoalan. Nah, kalau sudah mikir-mikir begitu, Islam sebenarnya lebih terbuka terhadap perempuan. Akhirnya ada pikiran seperti itu.

Saya juga mempertanyakan sikap Katolik dalam soal pernikahan beda agama. Menurut Katolik hal itu boleh. Tapi pertanyaan kritis saya, kenapa anak-anaknya harus berjanji untuk tetap setia memeluk Katolik? Makanya secara kelembagaan saya tidak ngotot; pokoknya tradisi ini atau itu harus diperjuangkan. Tidak. Nah, tentang pertanyaan anda sebelumnya, apakah saya ini Katolik beneran atau—istilah anda true believer—tidak sih? Ya terserah saya mau disebut Katolik apa. Terserah orang mau menilai saya seperti apa. Bagi saya yang penting adalah apa yang saya yakini, yang saya imani, yang saya jalankan. Soal apakah saya sudah berbuat yang baik atau tidak, bukan orang yang menilainya. Tuhan yang menilainya. Persoalan saya akan masuk ke neraka atau surga, itu juga bukan urusan saya. Tidak penting saya mau diletakkan di mana, yang penting saya diberi rambu-rambu-Nya agar saya masuk dalam rambu-rambu Tuhan. Sebab, acuan saya adalah teladan Yesus.


3. Sekolah Milik Organisasi Agama dan Misi Peningkatan Kerukunan Beragama

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian SEKOLAH / SCHOOLS.
Nama (Penulis): Bambang Widiatmoko
E-mail (Penulis): ibnuwwaddy@yahoo.co.id
Saya Dosen di FKIP Universitas Islam '45 Bekasi
Judul: Sekolah Milik Organisasi Agama dan Misi Peningkatan Kerukunan Beragama
Topik: OPTIONAL
Tanggal: 2 Mei 2007

SEKOLAH MILIK ORGANISASI AGAMA DAN MISI PENINGKATAN KERUKUNAN BERAGAMA
Bambang Widiatmoko

BERKAITAN dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dikelola oleh organisasi keagamaan, khususnya Islam dan Kristen, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan. Sekolah-sekolah yang berada dalam naungan ormas agama ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan milik ormas agama meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan agama dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Salah satu kata kunci yang sangat menentukan berhasil-tidaknya upaya mempertahankan persatuan bangsa Indonesia yang multikultural adalah toleransi beragama. Meskipun telah banyak dirintis pelaksanaan dialog antarumat pemeluk agama untuk menumbuhkan rasa saling pengertian di antara para penganut ajaran bermacam agama di Indonesia, masih tetap diperlukan langkah-langkah efektif agar hasilnya lebih optimal. Pada umumnya, kecurigaan yang masih ada di antara sesama umat pemeluk agama berkait langsung dengan keyakinan pemeluk agama mengenai kebenaran dan keunggulan agama masing-masing di atas agama yang lain.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran perlunya menjaga persatuan, kita perlu meningkatkan pemahaman dan wawasan terhadap ajaran agama lain. Dengan kata lain, kecenderungan inward looking, yaitu kebiasaan selalu berorientasi dan mengutamakan ajaran agama yang kita anut, mulai diimbangi dengan outward looking, mempelajari dan mencoba memahamai pandangan dan ajaran agama yang dianut orang lain. Aktivitas ini dilakukan bukan untuk mencari agama mana yang paling unggul, atau paling benar, melainkan semata-mata mencari titik-titik persamaan dan keselarasan yang bisa dijadikan landasan mengembangkan persatuan bangsa.

Pada sisi lain, kita perlu menyadari bahwa perubahan masyarakat yang terjadi bersifat global, tidak terbatas pada wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menciptakan kondisi saling tergantung antara berbagai bangsa. Dengan demikian, antisipasi yang dilakukan harus pula bersifat global dan tidak terbatas pada lingkungan sosial dan budaya Indonesia..

Peran Sekolah Milik Organisasi Agama

Berkaitan dengan upaya pengembangan sikap toleransi beragama di Indonesia, peran institusi pendidikan formal, termasuk institusi pendidikan yang dimiliki dan dikelola oleh organisasi keislaman, sangat penting. Oleh karena itu, sumbangan mereka bagi pembentukan karakter anak didik yang intelek, religius, dan sekaligus nasionalis perlu terus dikembangkan.

Salah satu di antara lembaga pendidikan keislaman yang memiliki jumlah sekolah terbesar adalah Muhammadiyah sehingga sekolah-sekolah yang berada dalam naungan lembaga ini merupakan aset nasional yang perlu dijaga kualitasnya, baik manajemen pengelolaan maupun kualitas penyelenggaraan akademiknya. Setidaknya, jika kualitas lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah meningkat, akan meningkat pula prospek lembaga pendidikan Islam dalam mengemban misi nasional mencerdaskan bangsa sekaligus memperkuat dasar-dasar persatuan kebangsaan Indonesia.

Tokoh pendiri perserikatan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, menginginkan lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu menanamkan nilai-nilai intelektualitas, keimanan, dan keterampilan di kalangan anak didik beragama Islam sehingga mereka siap bersaing dengan kelompok masyarakat lain, sampai waktu kapan pun. Latar belakang historis kelahiran Muhammadiyah pada 1912 ini perlu dipahami oleh setiap pengelola pendidikan Muhammadiyah agar mereka tidak tercerabut dari akar sejarah. Untuk itu, perlu digalakkan berbagai kajian, seperti kajian sosiologis, politik, ekonomi, dan budaya untuk meninjau relevansi Muhammadiyah dengan tuntutan masyarakat sekarang. Agar lebih efektif, selain melibatkan personalia pengurus Muhammadiyah kajian ini juga mengikutsertakan kalangan luar, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Kajian sosiologis terkait dengan upaya menmahami pola hubungan yang dikembangkan Muhammadiyah dalam berinteraksi dengan lingkungan masyarakat di masa kelahirannya, tidak saja dengan komunitas beragama Islam, melainkan juga dengan komunitas agama, ideologi, dan keyakinan yang lain. Kebijakan yang populis ini perlu dipahami oleh para penerus Muhammadiyah agar mereka semakin sadar akan kemajemukan bangsa, yang sejak dini sangat diperhatikan oleh pendiri Muhammadiyah. Kemajemukan bangsa ini adalah kekayaan budaya yang potensi mengandung nilai-nilai positif seperti dinamika pemikiran dan dan gagasan. Kenyataan objektif berupa adanya usaha sebagian bangsa di sejumlah daerah Indonesia untuk memisahkan diri dari naungan NKRI hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi seluruh komponen bangsa akan arti pentingnya memperkukuh batu sendi persatuan bangsa, dengan sikap toleransi beragama sebagai salah satu fondasinya yang paling kokoh. Dengan diberlakukannya Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, sekarang tercipta iklim yang cukup kondusif bagi pengembangan wawasan keagamaan secara lebih luas dan bertanggung jawab.

Faktor riil politik di Indonesia (Hindia Belanda) saat kelahiran Muhammadiyah juga menjadi faktor penting yang menentukan corak dan pola strategi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dalam mencapai misi dakwahnya. Corak dan pola strategi ini terus berubah, selaras dengan dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para penerus Muhammadiyah sekarang tidak boleh terjebak pada sistem dan mekanisme dakwah yang dianggap baku dan tidak dapat direvisi atau diperbarui lagi, apalagi jika sistem itu cenderung konservatif dan tidak mampu mengapresiasi dan menyerap aspirasi masyarakat yang sarat dengan aneka tuntutan dan kebutuhan.

Pembinaan Guru

Dalam proses belajar mengajar,guru emegang pernanan vital. Guru tururt menentukan keberhasilan suatu proses pembelajaran. Guru yang memiliki kualifikasi akan menghasilkan keluaran (out put) yang memadai.

Untuk membina anak didik agar menjadi manusia yang toleran, yang memiliki wawasan luas mengenai agama, dan selalu berusaha mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis, diperlukan guru yang berkualitas dan memiliki kualifikasi. Beberapa hal perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru:

Mengikutsertakan guru dalam pendidikan tambahan, misalnya berbentuk pembekalan atau pelatihan, mengenai pentingnya menumbuhkan sikap toleran antarpemeluk agama.

Para guru perlu mendalami ajaran agama lain, untuk mendapatkan pemahaman tambahan. Mempelajari di sini bukan dengan maksud mengikuti keyakinan agama lain tetapi untuk lebih memahami seluk-beluk keyakinan orang lain agar tidak terjebak pada pandengan sempit dan picik yang sering kali menjadi sukber prasangka terhadap keyakinan agama lain.

Melalui kajian historis, sosiologis dan politis dapat dirumuskan patokan dalam perumusan ulang (rekonstruksi) filsafat pendidikan di institusi pendidikan milik organisasi massa keagamaan lain.

Perumusan-ulang filsafat pendidikan mutlak dilaksanakan, dengan fokus kegiatan:

(a) merumuskan kembali tujuan pendidikan yang diselenggarakan sekolah-sekolah ormas agama,
(b) meninjau kembali pandangan dan sikap lembaga terhadap masyarakat yang beragam etnis, agama dan keyakinan,
(c) merumuskan kembali hubungan agama dengan keluarga, masyarakat, dan negara.

Saran

Sekolah milik organisasi agama, termasuk sekolah milik Muhammadiyah, perlu secara konsisten melakukan revisi kurikulum agar tidak terkesan eksklusif dan cenderung memandang pemeluk agama lain sebagai "the other". Seiring dengan itu, di lingkungan sekolah milik organisasi agama perlu diperbanyak forum dialog yang melibatkan penganut berbagai agama. Dialog dan tukar pikiran seperti ini berdampak positif bagi perkbangan psikologis anak didik.

Dalam konteks implementasi falsafah pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan keislaman, diperlukan tafsir baru terhadap prinsip dasar yang diajarkan Al-Quran. Salah satu prinsip itu adalah gagasan lakum diinukum waliyadiin 'bagimu agamamu dan bagiku agamaku". Ajaran ini perlu diperbarui, dengan mengubah penekanan dari aspek teologis menjadi penekanan pada aspek sosiologis. Dengan demikian, terbuka peluang menjalin kerja sama dalam berbagai bidang demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dengan berbagai latar belakang agama, keyakinan, dan ideologi.

Saya Bambang Widiatmoko setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).


4. Pendidikan keagamaan
Artikel 1:
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

Artikel 2:
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah (disingkat MTs) adalah jenjang dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Pertama, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Tsanawiyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 7 sampai Kelas 9.
Murid Kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan MTs dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas.
Kurikulum Madrasah Tsanawiyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Pertama, hanya saja pada MTs terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam, misalnya mata pelajaran Bahasa Arab, Al Qur'an-Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan Sejarah Kebudayaan Islam.
Pelajar Madrasah Tsanawiyah umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.

Artikel 3:
Pesantren
Untuk Pesantren sebagai nama kecamatan, lihat Pesantren, Kediri


Murid Pesantren
Pesantren atau Pondok Pesantren (biasanya juga disebut pondok saja) adalah sekolah Islam berasrama (Islamic boarding school). Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok.
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa bahasa Arab. Istilah Pondok sendiri berasal dari Bahasa Arab (فندوق, funduuq), sementara istilah Pesantren berasal dari kata pe-santri-an.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Pesantren untuk tingkat SMP dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dikenal dengan nama Madrasah Aliyah. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salafi. Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.
Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari shalat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pun belajar ilmu formal, yang dapat diperolehnya dari sekolah umum, sementara pada waktu sore, mereka pun menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka, dengan memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah; meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.


Artikel 4:
Madrasah Aliyah
Madrasah Aliyah (disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Menengah Atas, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Aliyah ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12.
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), seperti halnya siswa SMA, siswa MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Agama (Islam) atau langsung bekerja. MA sebagaimana SMA ada MA umum yang sering dinamakan MA dan MA kejuruan (di SMA disebut SMK) misalnya MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan),dan MAPK (Madrasah Aliyah Program Ketrampilan).
Kurikulum Madrasah Aliyah sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak muatan Pendidikan Agama Islam, yaitu Fiqih, akidah, akhlak, Al Quran, Hadits, Bahasa Arab dan Sejarah Islam (Sejarah Kebudayaan Islam).
Pelajar Madrasah Aliyah umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.


Artikel 5:
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Ibtidaiyah (disingkat MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Agama. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama.
Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar, hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyak mengenai Pendidikan Agama Islam. Selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana Sekolah Dasar, juga ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti:
1. Alquran Hadits
2. Aqidah Akhlak
3. Fiqih
4. Sejarah Kebudayaan Islam
5. Bahasa Arab

Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.


Pelajar Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan terendam banjir.



5. Adian Husaini : Pendidikan Agama Kita


Pekan lalu saya diminta mengisi acara diskusi untuk guru-guru agama tingkat SMA di wilayah Jakarta. Mengingat pentingnya acara ini, saya menyempatkan diri untuk membeli sejumlah buku Pendidikan Agama Islam yang diajarkan kepada anak-anak tingkat SMA. Setelah membacanya, ada sejumlah isi buku kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari umat Islam. Secara umum, tampak bahwa pemikiran-pemikiran liberal yang sudah berkembang di berbagai Perguruan Tinggi Islam, belum memasuki buku-buku Pelajaran Agama tingkat SMA. Namun, yang perlu diperhatikan adalah soal kualitas dan beberapa kekeliruan isi buku.

Kita akan membahas sejumlah contoh berikut ini.

Dalam masalah toleransi dan aqidah, sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 3 SMA keluaran sebuah penerbit di Solo mengajarkan hal yang tegas dalam soal aqidah: �Dalam hal akidah, seorang Muslim dilarang bekerja sama dengan nonMuslim.� Juga disebutkan, bahwa ikut merayakan hari besar nonMuslim berarti telah mencampuradukkan ajaran agama.�(hal. 5). Lebih jauh dikatakan, bahwa seorang Muslim wajib mengajak orang lain untuk masuk dan mengikuti ajaran Islam. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dipaksakan. Kewajiban seorang Muslim hanya mengajak. (hal. 9).

Meskipun cukup tegas dalam menyajikan materi aqidah, buku ini mempunyai kelemahan dalam menyajikan materi tentang pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada bagian pengembangan IPTEK, hanya disebutkan sejumlah ayat yang mendorong kaum Muslim untuk berpikir dan nama-nama sejumlah ilmuwan Muslim di masa lalu, seperti Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, al-Khawarizmi, Ibn Batutah, dan sebagainya. Secara verbal, dorongan untuk menunut ilmu diberikan, tetapi cara penyajian materi IPTEK dalam buku ini tampak sangat lemah.

Harusnya, sebuah buku pelajaran juga menyajikan, bagaimana contoh kegigihan, ketinggian, dan kehebatan, ilmuwan Muslim dalam mengejar ilmu pengatahuan. Dengan demikian, para siswa bukan hanya dipaksa untuk menghafal nama-nama ilmuwan, tetapi juga memahami dan menghayati, bahkan tertarik untuk meneladani kehidupan ilmuwan Muslim.

Anehnya, buku ini justru memuat cerita tentang seorang anak yang sakit setelah mengikuti orang tuanya pindah ke rumah barunya. Konon, rumah tersebut angker, sehingga dia disarankan oleh tetangganya untuk pindah rumah saja. Setelah pindah, satu hari saja, anaknya langsung sembuh. Ditulis oleh buku ini, bahwa apa yang terjadi itu kelihatannya ajaib, tidak masuk akal, dan membenarkan anggapan bahwa rumah tersebut memang angker. Akan tetapi, sebenarnya peristiwa itu adalah hal yang logis dan masuk akal. Para ahli mengatakan bahwa pada tempat-tempat tertentu terdapat gaya medan magnet bumi. Gaya itu memengaruhi fisik dan kejiwaan orang-orang tertentu pula. Bahkan, gaya itu juga dapat memengaruhi kendaraan yang berlalu lalang di atasnya. Oleh karena itu, di tempat-tempat tertentu sering terjadi kecelakaan yang melibatkan kendaraan atau orang-orang tertentu pula. Hal ini sering kali menjadi sebab munculnya takhayul. (hal. 111).

Penulisan masalah IPTEK untuk pelajaran agama tingkat SMA harusnya dilakukan dengan memberikan data-data ilmiah yang memadai, baik data tentang sains klasik maupun modern. Jika penulis buku Pendidikan Agama tidak memahami masalah-masalah IPTEK, seharusnya berkonsultasi dengan pakar di bidangnya, agar tidak keliru ketika menulis tentang IPTEK. Pemuatan cerita tentang anak sakit ketika pindah rumah itu tidak disertai dengan data-data ilmiah, dimana terjadinya, dan apakah rumah itu memang sudah diteliti secara ilmiah, dan terbukti di situ terdapat �gaya medan magnit bumi�. Cerita semacam ini harusnya diberikan referensi dari pakar fisika atau buku tertentu yang membuktikan ada kebenaran cerita semacam itu.

Ada lagi yang perlu ditinjau dari buku Pelajaran Agama semacam ini, yaitu begitu beratnya materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa-siswa SMA, seperti pembahasan satu bab khusus tentang hukum waris. Tentu ini materi yang baik. Tetapi, apa perlunya anak-anak SMA harus menguasai secara mendetail hukum-hukum waris. Mestinya, cukup diberikan filosofi dasar hukum waris dan keadilan hukum waris dalam Islam, agar nantinya anak-anak tertarik untuk mendalami hukum waris lebih jauh.

Bagian lain yang perlu mendapat catatan adalah penyajian materi tentang sejarah Islam. Biasanya cerita yang diberikan kepada siswa adalah bahwasanya Islam memasuki Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Cerita ini memberikan kesan bahwa yang datang ke wilayah Nusantara bukanlah para dai yang sungguh-sungguh ingin menyebarkan Islam, tetapi dakwah adalah pekerjaaan sambilan para pedagang Arab itu. Padahal, para wali yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa, misalnya, adalah para ulama yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ada lagi sebuah buku Pendidikan Agama Islam untuk kelas 2 SMA keluaran sebuah penerbit di Bandung, yang dengan gegabah menyajikan materi sejarah Islam Indonesia. Sebagaimana buku �Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya� karya Prof. Harun Nasution, yang dijadikan sebagai buku pegangan Studi Islam di Perguruan Tinggi Islam, buku untuk anak SMA ini juga menyajikan perkembangan sejarah Islam pada Abad Pertengahan. Istilah �Islam Abad Pertengahan� ini jelas mencontoh periodisasi sejarah peradaban Barat yang kelam. Barat menyebut periode pertengahan ini sebagai �The Dark Ages�, zaman kegelapan.

Mengacu pada sifat peradaban Barat tersebut, buku pelajaran untuk anak SMA ini juga menceritakan wajah kelam Islam pada Zaman Pertengahan Islam (1250-1800 � tahun ini sama persis dengan yang tertulis dalam buku Harun Nasution). Buku ini memberikan gambaran kelam tentang perkembangan ilmu pengetahuan Islam: �Perkembangan ajaran Islam pada abad ini tidak sepesat beberapa abad sebelumnya. Ajaran Islam hanya dipandang sebagai pelengkap kehidupan rohani semata. Sehingga ilmu pengetahuan Islam hampir tidak mengalami perkembangan yang berarti.� Juga ditulis: �Dapat dikatakan, ajaran Islam yang berkembang pada abad pertengahan adalah ajaran tasawuf dan tarekat, yang cenderung mengungkung orang untuk berkreatifitas dan berkarya secara bebas.�

Pada bagian berikutnya dari buku ini dibahas tentang �Pengaruh Perkembangan Dunia Islam Abad Pertengahan terhadap Islam dan Umat Islam di Indonesia.� Pada bagian ini, penulisnya memberi catatan hitam atas perkembangan Islam di Indonesia. Ia memaparkan:

�Dapat dikatakan, bahwa ilmu-ilmu Islam yang berkembang pada masa itu, hanyalah ilmu tasawuf dan tarekat, disamping ilmu fiqih dan tauhid sebagai sekedar pelengkap ibadah semata. Para tokoh dan ulama yang muncul pada masa itu juga hanya ulama-ulama tasawuf dan tokoh-tokoh tarekat. Hampir tidak ditemukan nama-nama ulama fiqih, hadits, tafsir, dan yang lainnya. Di Aceh dan Sumatera misalnya, muncul beberapa ulama nusantara kenamaan, seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Abdurrauf Singkel, Syaikh Nuruddin ar-Raniri, Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani, Abdusshamad Al-Falimbani yang nota bene semua adalah ulama tasawuf dan tokoh tarekat tertentu. Di Jawa juga muncul beberapa ulama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Siti Jenar dengan kelompok wali songonya, yang juga dapat dikatakan sebagai tokoh tasawuf dan penganut tarekat tertentu. Begitu juga di Sulawesi dan Kalimantan, terdapat nama-nama besar ulama tasawuf dan tokoh-tokoh tarekat. Misalnya, Syaikh Yusuf al-Makassari, Syaikh Arsyad al-Banjari, dan Syaikh Ahmad Khatib Syambas. Mereka telah belajar cukup lama di kawasan dunia Islam, dan pulang ke tanah air sebagai tokoh tasawuf dan tarekat.� (hal. 87-90).

Cara menyajikan sejarah para ulama Indonesia seperti itu sangatlah tidak bijak, sebab terlalu mudah mengecilkan karya-karya mereka. Hingga kini, ratusan karya tulis para ulama itu masih bisa dikaji dan terus menjadi bahan penelitian di berbagai universitas di dunia. Menyamakan kedudukan Siti Jenar dengan walisongo yang lain juga kekeliruan dan kecerobohan. Penulis buku Pendidikan Agama Islam ini pun tampak begitu sengit dengan paham tasawuf, tanpa melalukan penelitian yang mendalam tentang apa itu tasawuf. Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel tahun 1453 adalah pengikut tasawuf.

Jika ulama-ulama di Nusantara itu dikecilkan semua kualitas keilmuannya, maka siapa lagi yang dipandang berjasa menyebarkan Islam di Indonesia. Bentuk pengajaran sejarah Islam seperti ini, sangatlah tidak mendidik para siswa SMA untuk mencintai khazanah Islam Indonesia. Harusnya, diberikan contoh karya ulama-ulama Nusantara dalam berbagai bidang keilmuan, agar para siswa nantinya berminat menekuni bidang sejarah Islam dan bangga sebagai Muslim Indonesia yang memiliki sejarah yang gemilang. Dari paparan tentang sejarah Islam Indonesia tersebut, tampak jelas, bahwa si penulis buku Pendidikan Agama Islam ini tidak mempunyai visi dan misi yang jelas tentang sejarah Islam Indonesia, sehingga begitu mudah mengecilkan kualitas karya-karya para ulama yang telah berjasa besar dalam menyebarkan Islam di bumi nusantara ini.

Inilah contoh-contoh materi Pendidikan Agama Islam untuk tingkat SMA. Kita bisa melanjutkan penelitian ke berbagai buku Pendidikan Agama Islam pada tingkat pendidikan lainnya. Contoh ini, mudah-mudahan sedikit menggugah kita untuk melihat kenyataan, bahwa selama ini umat Islam Indonesia sebenarnya belum melakukan upaya yang serius dalam pembenahan pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah. Padahal, usaha untuk memasukkan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, selama ini membutuhkan usaha keras. Berbagai organisasi dan tokoh Islam sampai harus terjun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demonstrasi mendukung RUU Sisdiknas yang menjadikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah.

Hingga kini, usaha untuk menggusur Pendidikan Agama di sekolah terus dilakukan dengan gencar. Interfidei Yogya, misalnya, baru menerbitkan sebuah buku berjudul �Problematika Pendidikan Agama di Sekolah� (2007). Buku ini merupakan hasil penelitian tentang Pendidikan Agama di Yogyakarta tahun 2004-2006.

Buku ini antara lain merekomendasikan:

�Pemisahan siswa berdasarkan perbedaan agama pada pelajaran agama sangat layak untuk dikaji ulang. Dalam hal ini perlu diteliti dengan cermat tentang dampak sosial pada masa depan, karena terdapat temuan dalam penelitian ini yang menunjukkan makin tinggi level pendidikan siswa tampak besar kecenderungan untuk tidak santai dengan perbedaan agama.� Juga dikatakan seorang Profesor yang memberi kata pengantar buku ini, bahwa Pendidikan Keagamaan kita belum memberikan kondisi mempersatukan bangsa dalam corak multikulturalisme bangsa untuk menyikapi ragam Agama di Indonesia, melainkan justru memperuncing perbedaan antar Agama.

Suara-suara yang menolak pendidikan Agama di sekolah-sekolah seperti itu, memang sulit kita terima. Tetapi, kita perlu mengakui, bahwa selama ini, mutu dan kualitas pendidikan Agama di sekolah-sekolah itu masih amat sangat perlu ditingkatkan. Dalam acara diskusi itu, saya mengajak para guru agama di wilayah DKI yang hadir dalam acara tersebut, untuk bersama-sama berusaha keras menjadikan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran yang paling bermutu, paling menarik, dan paling diminati oleh para siswa sekolah. Ini perlu kerja keras dan perlu guru-guru agama yang berkualitas tinggi. Wallahu a�lam. [Depok, 28 September 2007/www.hidayatullah.com]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda