iTs mE a_Ry...

Kamis, 28 Mei 2009

Educational Management Administration & Leadership

Manajemen Pendidikan Administrasi & Kepemimpinan

Gambaran Umum wacana di Bidang Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan

Jill Blackmore

ABSTRAK

Berbicara tentang keanekaragaman yang menggantikan adanya perbedaan dari keputusan sosial dalam masyarakat demokrasi. Keaneragaman paham ternyata dapat mempengaruhi kekuatan dari pengakuan kebudayaan, keagamaan, perbedaan ras dan gender di dalam negara, berbicara tentang kejadian ini dimulai antara tahun 1990-an diantara paham manajerial neolibralis yang menerima aksi sosial sepenuhnya dapat diterangkan oleh teori memaksimalkan keinginan. Keanekaragaman paham yang memulai adanya pergerakan masyarakat terhadap permintaan kaum perempuan mengenai paham bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, anti rasisme dan kebudayaan yang beragam pada tahun 1970-an dan 1980-an, yang belakangan ini mendukung timbulnya pembelajaran dan kepemimpinan sebagai prestasi individu dan bukan sebuah prestasi bersama. Demikian jika kita berbicara tentang kebanyakan keanekaragaman lebih dari aspek merubah peraturan mengenai pertumbuhan manajerial dan orientasi pasar dalam sekolah, decentring wacana yang lebih awal lebih banyak transformatori, maksud mendasarkan mengurangi ketidaksetaraan dan diskriminasi di atas dan terjadi inclusivity di dalam dan lewat sekolah. Kertas ini menyediakan kerangka kontekstual dan konseptual untuk menjelajahi persimpangan dan perbedaan wacana keanekaragaman di sekolah dan lamaran praktis mereka.

KATA KUNCI keanekaragaman, pemerataan kebijakan, kepemimpinan, keadilan sosial

Pendahuluan
Selama 1990s, wacana keanekaragaman sudah sadar kembali menggantikan wacana kesempatan setara di sektor umum dan pribadi banyak demokrasi Barat, baik seperti di semua pendidikan (Bacchi, 2000). Wacana perbaikan kependidikan yang baru saja mengemukakan bahwa sekolah, guru dan pemimpin kependidikan sebaiknya responsif ke kebudayaan, rasial, jenis kelamin, keanekaragaman seksual dan agama dalam client mereka, mahasiswa dan memang, penduduk-penduduk orang-tua dan himpunan. Demikian pula, lebih banyak masyarakat yang bermacam-macam secara kultural bisa mengharapkan keanekaragaman yang lebih luar biasa di politik, kependidikan dan pimpinan perusahaan. Di sekolah Australia, misalnya, mahasiswa mungkin belajar bahasa inggris di ruang kelas yang mana adalah bahasa kedua bagi sebagian besar, sampai dengan 24 bahasa berbeda yang digunakan di rumah, serta dialektika berbagai Aborigin. Pernyataan Adelaide atas Cita-cita Nasional untuk Sekolah pada Twenty First Century (Australian Ministerial Council atas Pendidikan, Pekerjaan, Latihan dan Urusan Pemuda [MCEETYA], 1999: 3) menghubungkan secara sosial sekolah saja dengan kebebasan dari diskriminasi, tetapi juga mengangkat dugaan bahwa mahasiswa mengerti dan mengakui nilai Aborigin kepulauan Selat Torres dan kebudayaan ke masyarakat Australia. Nilai keanekaragaman kebudayaan dan linguistik, dan mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan pengertian untuk menyumbang, dan mendapatkan keuntungan dari, keanekaragaman seperti itu di himpunan Australia dan internasional.

Walaupun ini nampaknya sikap progresif, wacana tentang keanekaragaman selama tahun1990an, saya sarankan, telah dikerahkan dan operasionalis dalam pendidikan kebijakan dan praktek di pasar dan managerialis bingkai yang cenderung untuk membatasi kemungkinan yang memberikan janji yang lebih inklusif dan adil pada sekolah. Sebagai salah satu sekolah yang kecil bekerja kelas tinggi budaya campuran sekolah menengah dinyatakan dengan mengelola sendiri pindah ke sekolah-sekolah di Victoria pada tahun 1990-an.

Utama telah mengubah fokus, berpindah dari pandangan siswa berdasarkan pada asumsi bahwa mereka semua dapat belajar dan bahwa mereka semua berhak untuk mengakses ke kehidupan Goodies (termasuk akses ke lembaga tersier), dan bahwa ia mengambil lagi dan banyak lagi, untuk melihat seorang pemuda yang harus masuk ke dalam ekonomi imperatif, akan dipoles atas dalam cara tertentu. Jika guru tidak berhasil, itu maka kesalahan terletak pada guru. Oleh karena itu adalah perubahan dari suatu sistem yang memberikan ruang untuk seorang optimis melihat tentang kaum muda dan hak mereka untuk belajar dan hak kepada kami mencoba banyak cara bagi mereka untuk belajar untuk mencapai, dan sebuah pandangan pemain musik mereka dan lembaga yang melayani mereka dan guru.

Untuk pokok ini, perbedaan yang sangat spesifik menangani tentang budaya, linguistik, kebutuhan ekonomi dan sosial; bangunan individu dan kolektif budaya dan modal sosial. Tetapi pindah ke manajerial dan pasar lebih berorientasi mengarahkan sekolah menaruh sekolahnya di bawah ancaman. Keanekaragaman siswa yang memang alasan utama untuk kegagalan sekolah ini seperti yang ditunjukkan dengan mengurangi pendaftaran. Orangtua memilih sekolah terdekat di mana terdapat orang-orang lagi seperti kami, budaya dan mencari kelas keserbasamaan (Blackmore dan Sachs, di pers). Keragaman yang beresiko terutama bila dikaitkan dengan sosial-ekonomi merugikan. Demikian juga, watak sistemik yang menguntungkan hasil mahasiswa yang distandarisasi sebagai bukti keberhasilan (pengukuran terhadap atas seperti sekolah), gagal mengenali dia keragaman populasi siswa sekolah dan bagaimana nilai tambah sekolah ini dalam cara tak dari segi kesejahteraan dan siswa memilki rasa imparting, prasyarat penting untuk belajar, dengan mempromosikan masyarakat daripada daya saing individu. Demikian pula, banyak aspirasi pemimpin perempuan yang masih mempertimbangkan pernyataan bahwa kepemimpinan, baik visual dan tekstual, adalah homogenis, monokultural, dan sering maskulinis, sehingga hati perempuan, minoritas dan pribumi pemohon (Blackmore, 1999; Brooking, 2005). Dalam sebuah kajian terhadap penurunan bunga pada umumnya dalam maskulinis, lokal pilihan prosedur yang ditemukan agar lebih homososial reproduksi; ditunjuk pemohon risiko rendah yang tidak mereagukan tantangan zona kenyamanan atau yang orang seperti kita dalam hal terbaik yang sesuai (Blackmore et al., 2005).

Artikel ini menjelajahi konteks, alam dan implikasi karena sekolah dan pimpinan kebijakan diskursif sekolah ini pindah dari kesempatan setara sampai keanekaragaman yang terjadi dengan perbaikan berpropaganda baru managerialism dan orientasi pasar di sekolah dan pimpinan sekolah baik di negara bagian maupun tingkat federal di Australia. Menggambar dari analisa yang memantau timbulnya wacana keanekaragaman di AS dan Inggris baik seperti di konteks Australia, saya mempertimbangkan bagaimana helaian diskursif yang khusus sudah dimobilisasi dengan efek berarti untuk aset. Dalam menyelesaikan, saya menyarankan bagaimana transformatori konseptual kerangka keanekaragaman dapat memberikan petunjuk strategi praktis yang sangat relevan bagi pimpinan sekolah.
Melacak Wacana Keanekaragaman
Dalam sebagian besar kebijakan pendidikan, perbedaan kini dianggap sebagai kekuatan positif dalam pendidikan bekerja. Victorian Dinas Selanjutnya Pelatihan dan Pendidikan (OTFE, 1998: 11-12) menyatakan: Manusia keragaman adalah 'sumber ketahanan masyarakat pendidikan dan vitalitas. . . prioritas pendidikan yang menarik, penting untuk setiap kampus, setiap peserta didik dan masyarakat yang lebih luas'; ia adalah 'dimensi misi pendidikan, masyarakat, kurikuler dan kualitas layanan yang lebih besar untuk masyarakat '. Sebuah organisasi 'mengelola keragaman melalui praktek terbaik' adalah salah satu 'Ditandai dengan kehadiran dari perwakilan yang kaya berbagai budaya yang berbeda, latar belakang dan perspektif', dengan komitmen asli kepada perwakilan, dan lingkungan dengan menghormati perbedaan sambil mendorong hubungan yang merawat, lintas budaya dan pemahaman umum pendidikan komitmen '(1998: 13). Mengelola keragaman adalah tentang bernegosiasi dengan beberapa interface lokal keanekaragaman, kewarganegaraan pluralistis (1998:14). Pemimpin yang diharapkan menyeimbangkan ketegangan antara rasa hormat terhadap perbedaan sementara mengembangkan dan berbagi tujuan organisasi.

Di satu sisi, gagasan keragaman sebagai dinyatakan di atas nampaknya semua meliputi segala bentuk perbedaan berdasarkan ras, etnis, cacat, perbedaan bahasa, latar belakang sosial ekonomi, serta jenis kelamin. Ini bergerak muncul lebih awal untuk memperkaya legalistik prosedural dan kesempatan sama kebijakan berdasarkan anti-diskriminasi dan tindakan afirmatif dalam perundang-undangan yang dimulai banyak negara Barat selama tahun 1980-an, melihat perbedaan bukan sebagai sumber namun kekurangan dari hubungan yang produktif. Di sisi lain, wacana keragaman yang muncul dalam krisis dengan radikal restrukturisasi pendidikan ditandai dengan pasca welfaris negara bergerak jauh dari ketentuan pendidikan penuh, kesehatan dan kesejahteraan layanan selain untuk kelompok marginal dan individu, dan menuju pemerintahan melalui peraturan, dengan akibat individualisasi tanggung jawab. Ini baru reformasi administrasi publik yang telah disokong oleh neo liberal pasar berdasarkan prinsip-prinsip dan pilihan kompetisi; modal dari diri manusia memaksimalkan otonomi individu. Dengan krisis ini, penting untuk permintaan mengapa, dan dengan apa akibatnya, wacana tentang keanekaragaman interaksi dengan atau terhadap wacana neo liberal.

Capitalising pada Diversity
Dua wacana yang disampaikan sebagai keanekaragaman di Australia dan kebanyakan negara Anglophone dapat pelaksanaan dalam hal asal usulnya lebih luas dalam ekonomi dan gerakan sosial. Salah satunya adalah wacana yang pada keanekaragaman capitalising, wacana perusahaan yang berasal dimobilisasi dalam bisnis besar dalam misi dan dicontohkan sebagai pernyataan strategis dalam kebijakan OTFE (menanggulangi dan Kalantzis, 1997). Wacana ini berfokus pada peningkatan oleh layanan publik memenuhi setiap kebutuhan klien, menyediakan keragaman budaya dan bahasa untuk mendapatkan pasar-pasar baru sebagai jawaban terhadap globalizing dari pasar baru dengan arus migrasi dari transnasional, perkembangan perusahaan-perusahaan multinasional baru mencari pasar global, dan perubahan Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan New Zealand dari manufaktur ke layanan ekonomi. Kerja yang lebih besar dan keragaman klien yang berarti meningkat pada orang ke orang untuk kontak produktivitas. Layanan membutuhkan pekerjaan baik hubungan interpersonal dan komunikasi. Layanan adalah permainan antara orang, tanpa cacat memerlukan interaksi dengan kemampuan untuk memahami dari perspektif pelanggan, mengantisipasi dan memantau kebutuhan pelanggan dan harapan, dan merespon dengan tepat dan sensitif ini untuk memenuhi kebutuhan dan harapan, yaitu pelanggan dan antar keaksaraan (Jackson et al., 1992: 14).

Kebijakan pengelolaan keragaman nilai simbolis ada di pasar internasional, dan nilai praktis dalam menangkap kreativitas yang timbul dari beragam pekerjaan -memaksa; ekonomi rasional posisi berdasarkan modal manusia dengan teori yang bertujuan untuk mempromosikan, mencernakan dan kohesi melalui konsensus atau keanekaragaman. Asimilasi ini melihat budaya organisasi sering dirayakan dengan evokatif metafora dari tempat bercampur atau mosaik budaya yang terkait dengan gambar dari kebudayaan hybridity, koeksistensi harmonis dan penuh warna keheterogenan dan kekayaan yang membawa ke berbagai kelompok organisasi (Prasad dan Mills, 1997: 4). Sedangkan anti diskriminasi dan tindakan afirmatif diakui struktural dan prosedural merugikan dalam bekerja dan berorganisasi, pengelolaan keanekaragaman sistematis adalah tentang merekrut dan mempertahankan karyawan dari berbagai latar belakang didasarkan pada pandangan bahwa organisasi tradisional monokultural tidak dapat berfungsi secara efektif dalam konteks hari ini dan besok kerja (Prasad dan Mills, 1997: 8). Fokus dalam budaya adalah ingin mengubah kepercayaan, ideologi dan nilai-nilai individu-individu untuk manfaat organisasi.
Blackmore: mendekonstruksi Wacana Keanekaragaman Keanekaragaman transformatif
Kedua wacana, satu premis pada keadilan sosial, muncul dari tahun 1970 an global gerakan sosial (hak-hak sipil, kedua gelombang feminisme) dan gerakan multicultural di Australia pada tahun 1980-an. Ini adalah wacana yang dimobilisasi oleh sebagian besar pendidikan politik dan aspirasi dari ras, etnis dan linguistik kelompok sosial bersama-sama dengan kebangkitan pengetahuan baru. Lokal dan etnis pribumi diklaim memiliki akses masyarakat ke pendidikan lebih inklusif. Transformatif wacana ini melambangkan pergeseran dari politik kembali dengan fokusnya pada kerugian sosial-ekonomi dan kelas di tahun 1960-an, ke politik pengakuan perbedaan budaya dan bahasa sebagai dasar untuk klaim yang dibuat atas bangsa negara oleh 1980-an (Fraser, 1997). Post kolonial dan feminis praktisi, guru, dan ulama berpendapat bahwa ada pengakuan dari perbedaan memerlukan transformasi mendasar dari organisasi dan harus membuat kepemimpinan lebih inklusif perempuan dan kelompok minoritas (Fraser, 1997; Mirza, 2005). Walaupun ada perbedaan yang signifikan antara feminis atau pos kolonial sampai dengan strategi untuk mencapai tujuan ini, sebagian besar akan setuju dengan kepemimpinan kolektif praktek berdasarkan partisipasi dan kapasitas untuk menghasilkan perubahan dalam demokratis dan keluarga ramah kerja. Tujuan pemimpin dari sudut ini adalah untuk mencapai hasil yang lebih adil bagi semua. Perspektif ini terus terang mengidentifikasi rasisme, sexism dan homophobia sebagai tertanam dalam hidup dan organisasi masyarakat, yang mendorong kembali organisasi kekuasaan. Melihat situs contested sebagai organisasi politik, budaya dan perbedaan sosial. Bertentangan dengan pengelolaan keanekaragaman wacana dari pandangan asimilasi budaya perusahaan, yang mengajukan argumen transformatif terhadap asumsi organisasi efektif yang memerlukan konsensus. Kreativitas berdasarkan dialog di atas perbedaan yang tidak sesuai dengan organisasi akan meningkatkan produktivitas (menanggulangi dan Kalantzis, 1997).

Transformatif ini wacana dari keanekaragaman yang berjalan di luar dan simbolis representatif kesempatan yang sama dalam kebijakan operasionalis sebagai mempromosikan token perempuan atau etnis menjadi pemimpin, atau memiliki jender ras saldo pada komite. Feminis atau post-kolonial ini juga merupakan wacana tentang fundamental asumsi yang berbeda mengenai peran dan praktek pendidikan dan kepemimpinan, dan sifat dari masyarakat dan organisasi multikultural demokratis dalam masyarakat demokratis pluralis dan masyarakat (misalnya AhNee-Benham, 2003; Battiste, 2005; Ngurruwutthun dan Stewart, 1996; Tuhiwa-Smith, 1993). Organisasi harus bekerja pada prinsip-prinsip demokratis berdasarkan pengakuan, menghormati, dan bukan dari perbedaan asimilasi. Karena itu, posisi ini melihat daya tahan yang dikuasai laki-laki putih homogen kepemimpinan dalam politik, bisnis, serta di sekolah-sekolah, sebagai demokratis dan tak ada hanya satu persoalan kependidikan.

Sehingga dipahami keragaman tersebut bersaing dalam beberapa hal, merujuk sama-sama untuk meningkatkan pelayanan, tetapi juga respon yang demokratis palen kewarganegaraan dan kohesi sosial. Tidak ada kemungkinan meramalkan dari hasil dengan wacana baik. Gagasan transformatori yang mengakui budaya dapat menghasilkan konservatif hasil ekuitas. Contoh dari hal ini, budaya yang menarik bagi tradisi apa sekarang hibrida budaya lain adalah cara di mana modus yang dominasi laki-laki juga dapat reasserted, misalnya dengan pengecualian dari perempuan dari kepemimpinan (Moreton-Robinson, 2000; NARAYAN, 1997). Tiap wacana yang berbeda dengan menganggap pandangan mengenai peran negara: capitalising pada keragaman memilih sebuah pasar bebas intervensi kurang lebih pada peran voluntaris. Berkaitan dengan keadilan, dan transformatif wacana mencari cara yang dapat memberikan keseimbangan antara politik pengakuan yang berbeda dan yang kembali dari sumber daya, yang kedua memerlukan campur tangan dalam pasar. Terdapat ketegangan inheren pada kedua wacana, nyata dalam dunia pendidikan kebijakan dan sekolah, karena di sebagian besar organisasi, antara valuing keanekaragaman (berdasarkan pada ras, bahasa dan perbedaan etnis) dan keinginan untuk kohesi sosial; perbedaan antara ide atau nilai-nilai dan konsensus.

Keanekaragaman Artikulasi dari dalam Pendidikan

Konsep keragaman adalah kuliah-kuliah yang tidak bersambungan dengan satu sama lain disampaikan dalam pengelolaan pendidikan sebagai perbedaan, untuk mengelola perbedaan, keragaman dalam pengelolaan dan diversifikasi manajemen. Artikulasi ini tidak perlu dipahami dengan konteks reformasi struktural di bidang pendidikan sejak tahun 1990-an.

Dalam pendidikan, wacana pengelolaan keragaman yang menjadi terkenal selama masa kerja restrukturisasi radikal dalam demokrasi paling anglophone ditandai dengan pengenalan publik administrasi baru yang infused prinsip-prinsip bisnis swasta ke sektor publik, mengurangi pengeluaran publik pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan; deregulasi keuangan dan pasar tenaga kerja, dan menyerahkan pemerintahan. Pendidikan restrukturisasi adalah informasi baru managerialism dan pasar pilihan, kompetisi dan kontraktualism selama tahun 1970an di Inggris, pada tahun 1980 di Selandia Baru, dan 1990-an di Australia (Blackmore dan Sachs, di pers). Pemerintah berusaha untuk menjauhkan diri mengelola sekolah dari kejauhan melalui pendanaan berdasarkan pendaftaran, dan pasar fokus yang dicari dibandingkan nasional dan internasional sebagai ukuran penampilan dengan standar hasil pendidikan. Lebih jauh lagi, wacana dari keanekaragaman juga telah dimobilisasi dalam konteks kebijakan internasionalisasi pendidikan. Pendidikan barat sekarang dianggap sebagai barang dagangan untuk dijual ke nondomestik (non-Barat) siswa dan negara. Internasionalisasi adalah wacana oleh kaum post-kolonial mengenai manfaat dari pertukaran budaya (Matthews, 2001). Keanekaragaman merupakan sumber komodifikasi pendidikan baru, pendidikan kapitalisme mempromosikan keserbaragaman dari perluasan layanan pendidikan, terutama di swasta sektor dengan outsourcing, dan kompetisi di dalam dan antara masyarakat dan sektor swasta.

Wacana yang berlangsung pada keragaman yang berbeda dalam lintasan kerja perencanaan. Di Australia, wacana yang mengelola keragaman dipromosikan dalam Karpin Laporan Manajemen Pendidikan di Australia setelah tahun 1995. Karpin (1995) prediksi dunia usaha global yang pada tahun 2010 akan bergantung pada keanekaragaman produktif dengan pemimpin enabler laki-laki atau perempuan, dan kemungkinan besar non Anglo, memiliki berbagai etnis asli dan kewarganegaraan asli. Pemimpin akan sangat memerlukan kemampuan komunikasi dan kemampuan untuk melimpahkan (1995: xi). Karpin dari mobilisasi dari pengelolaan keanekaragaman wacana bergeser kerangka kebijakan pemerataan. Australia pada tahun 1970-an dan 1980-an berdiri sebagai sebuah examplar dari kesetaraan jender dan multikultural reformasi dengan penggabungan dari perwakilan gerakan sosial melalui institusionalisasi dari femocrats (feminis birokrat) di dalam negara federal dan bureaucracies selama 1970-an, diikuti oleh kebijakan multikultural dan adat aktivis selama 1980-an dan 1990-an (Yeatman, 1998). Memobilisasi wacana memberikan kesempatan yang sama, yang menerapkan femocrats legislatif dan kerangka kebijakan kesetaraan jender reformasi, menciptakan nasional kesetaraan jender infrastruktur yang dibiayai dan didukung oleh negara di bidang kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan, informasi atas aktivisme oleh praktisi dan kebijakan aktivis yang diawasi oleh pusat tindakan afirmatif Agency (Yeatman, 1998). Dalam jadi lakukan, femocrats yang dimobilisasi managerialist teknik akuntabilitas untuk contoh jender yang memerlukan pemeriksaan terhadap semua kebijakan sebelum ke kabinet menilai terhadap perempuan, yang sekarang strategi kebijakan global yang digunakan oleh masyarakat, seperti UNESCO (Sawer, 1999). Prinsip-prinsip keadilan (e.g. Kelebihan) telah institutionalis pada kebanyakan sistem pendidikan selama tahun 1980-an, yang terdapat di pemilihan kepala sekolah dan promosi prosedur guru khususnya dengan pindah ke daerah pemilihan kepala sekolah. Pengetahuan tentang kebijakan pemerataan, misalnya, adalah kriteria promosi sekolah di Victoria.

Namun, setelah restrukturisasi 1987 wacana pendidikan kesetaraan marginal (Blackmore dan Sachs, di pers). Pada pertengahan tahun 1990-an, wacana pengelolaan keragaman yang telah dimobilisasi sebagai keragaman adalah lebih baik untuk bisnis dan di kepentingan ekonomi nasional (Sinclair, 1998: 4). Aliran manajerial perusahaan yang baru di sebagian besar negara federal dan kesetaraan bureaucracies menyerahkan tanggung jawab untuk lokal dan manajer unit, dimasukkan ke dalam ekuitas unit manusia pengelolaan sumber daya, kurang ketat dan diberikan pelatihan dan monitoring lokal pilihan panel utama. Di Selandia Baru sangat didesentralisasikan sistem, kurangnya pelatihan, atau pemantauan, Kelebihan dan keadilan bagi sekolah pilihan telah memfasilitasi kebangkitan dari sexis dan rasis diskriminasi (Brooking, 2005). Demikian juga, dianggap dkk. (1995: 105) menunjukkan bahwa dalam Pemerintahan Boards Inggris terdiri dari tiga perempuan dan 10 persen etnis minoritas perwakilan yang merasa dikecualikan dari fungsi yang berwibawa. Keadilan di lingkungan deregulasi sekarang untuk penegakan bergantung pada baik dari masing-masing eksekutif untuk meningkatkan harapan melalui persetujuan manajemen.

Di Australia, yang gelisah dan aliansi sementara antara kedua gelombang perempuan yang bergerak dan federal perusahaan Buruh roboh pada tahun 1996 dengan pemilihan dari pemerintah neo-liberal Howard. Howard dipromosikan conservativism sosial (anti feminisme, multikulturalisme dan rekonsiliasi) dan pasar radikalisme, untuk mengurangi pendanaan di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, sementara mengabaikan ekuitas implikasi deregulating pasar; meningkatkan akuntabilitas untuk memenuhi permintaan pada hasil dan keuangan, tetapi sesuai loosening mengenai pemerataan. Bulu burung yang digolongkan Howard, defunded dan downsized prasarana aset federal dan badan yang mewakili dikesampingkan. Jadi manajerial (efisiensi) daripada transformatory (keadilan) didominasi wacana nasional. Pada tahun 2005, semua negara dan pemerintah federal bureaucracies, termasuk pendidikan, telah meningkatkan kerja kebijakan pengelolaan keragaman, meskipun prinsip-prinsip kesempatan yang sama tetap mutlak tertanam dalam rencana operasional yang dibangun pada praktek masa lalu.
Sepuluh tahun, ada yang signifikan dari penyamarataan jumlah perempuan dan kelompok minoritas di posisi eksekutif kedua sektor publik dan swasta, dengan perempuan terkonsentrasi di menengah umum sistem manajemen pengelolaan sekolah dan semakin beresiko (Blackmore dan Sachs, di pers).

Dalam konteks kebijakan ini, sekolah harus membutukan klien agar lebih terfokus, sebagai dana dan fleksibilitas dalam program ini telah menjadi kesatuan dalam kinerja didasarkan pada rezim pemerintahan yang dapat menarik dan mempertahankan siswa dalam konteks mempromosikan kebijakan pilihan orang tua dan nama dari shaming kegagalan sekolah tidak dapat menarik baik para siswa dan / atau meningkatkan kinerja (Gleeson dan suami, 2001). Tapi ras, budaya dan bahasa dalam keanekaragaman dan itu sendiri seringkali seperti dikutip sebelumnya, negatif dalam menarik siswa. Memang, sekolah pilihan di Amerika Serikat (Wells et al., 1997), Inggris (Whitty dkk., 1998; Woods dkk., 1998), Australia (Teese dan Polesel, 2003), dan Selandia Baru (Wylie, 1999) cenderung meningkatkan kecenderungan untuk seperti siswa berkonsentrasi di sekolah-sekolah tertentu, mendorong kebangkitan spesialis yang selektif dan sekolah, dan secara default mempromosikan warisan yang komprehensif di sekolah, sehingga intensifikasi dengan konsentrasi keuntungan / kerugian dalam waktu tertentu dan kelompok ekuitas daerah (Sherington dan Campbell, 2003; Vinson, 2002). Sosial, bukan
penyertaan marginalis kelompok yang telah menjadi salah satu efek dari reformasi ini di Australia sebagai tempat lain (Gillborn dan Youdell, 2000; Power dkk., 2003; Teese dan Polesel, 2003).

Keanekaragaman dibingkai oleh wacana neo-liberal pilihan adalah justru untuk mengurangi pertemuan preferensi individual choosers dalam hal menawarkan keanekaragaman sekolah dan program-program, sedangkan mengabaikan bagaimana beberapa mempunyai lebih banyak pilihan, atau bagaimana pilihan memfasilitasi setiap disposisi untuk bersama-sama dengan orang-orang seperti dirinya. Ini mengelola keragaman dari perspektif yang cenderung mengabaikan tidak patut struktural spesifik dan kondisi budaya tertentu di mana sekolah mereka dan pemimpin yang beroperasi sebenarnya menghalangi kemampuan mereka untuk memberikan keadilan. Fokus pada siswa sekolah dalam keanekaragaman efektivitas atau perbaikan adalah bingkai yang dirasakan menjadi masalah untuk masing-masing pilihan, dan setiap pengobatan, tidak perbedaan kelompok, dengan cara-cara yang melihat latar belakang budaya dan dunia dilihat bahwa siswa membawa ke sekolah sebagai masalah dan tidak ada manfaatnya untuk belajar. Seperti premis perspektif yang lebih sedikit pada prinsip-prinsip inklusif masyarakat, kewarganegaraan, dan suara, atau yang timbul dari pertukaran dua budaya cara belajar, dan yang lainnya disamakan untuk setiap pilihan dalam berorientasi sistem pasar dimana orang tua yang aktif choosers akan tetapi tetap menarik dan mendapat keanekaragaman perspektif, keragaman cenderung dibangun sebagai suatu masalah manajerial dan keanekaragaman sebagai atribut individu.

Perspektif yang kedua adalah bahwa pengelolaan-untuk-keanekaragaman. Itulah sebabnya, perbedaan adalah keinginan komponen pendidikan pengalaman yang akan dipromosikan oleh pemimpin, yang 'keanekaragaman produktif'. Posisi ini memerlukan tingkat atas, dan menghormati, perbedaan yang akan melampaui individu dan memahami budaya perbedaan dan identitas kelompok. Ia paling nyata dalam mendorong untuk bahasa, budaya dan gender dalam kurikulum inclusiveness dan pedagogik selama 1980-an, seperti Bilingualism di sekolah-sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Selandia Baru dan multikulturalisme di Australia. Tetapi terlalu sering, kebijakan ini dikurangi dalam artikulasi ke multikultural festival makanan dan musik, 'berdandan lain budaya 'hari di sekolah, dan' belajar untuk hidup bersama 'sebagai bentuk 'Praktis toleransi' (Hage, 1994). Lebih baru-baru ini ia aligns dengan beberapa pendidikan fokus pada pembelajaran individual yang timbul dari baru belajar teori informasi konsep seperti multiliteracies (New London Group, 1996), multiple intelligences, belajar gaya, yang termasuk kurikulum, dan banyak lagi baru-baru ini 'budaya kesadaran' untuk dikembangkan sebagai salah satu aspek 'produktif pedagogies' (Lingard dkk., 2003; MCEETYA, 1999). Kurikulum dan pedagogi adalah Viewed menjadi tentang pembentukan identitas baru. Tetapi sekali lagi, ini progresif palen ketika frame oleh pemain dari wacana generik dan dipindahtangankan kompetensi dan keterampilan, dan standar umum hasil tes kehilangan valuing positif dari perbedaan budaya.

Baik-of-mengelola keragaman dan mengelola perbedaan-untuk-wacana sebagai Saat ini disampaikan dalam kebijakan dan praktek sekolah memerlukan sistem atau sekolah baik ke atas mereka sendiri mencerminkan kurangnya bahasa, budaya atau etnis keanekaragaman kepemimpinan, meskipun mereka diharapkan untuk melihat keragaman dan pengakuan dimasukkan sebagai kurikulum penting dan prinsip-prinsip pedagogis. Sesungguhnya, Multikultural Australia gerakan 1980-an, informasi dari beberapa budaya tradisi yang mengecualikan perempuan dari kepemimpinan, fokus pada pengembangan inclusivity dalam kurikulum dan pengajaran, tetapi harus berkata sedikit tentang budaya
keserbasamaan dari populasi feminized mengajar dan laki-laki mendominasi kepemimpinan sekolah. Bahkan pada tahun 2005, beberapa link tdk dibuat antara
normatif gambar 'putih' dan 'Angloness' yang terkait dengan pendidikan kepemimpinan dan kemampuan sekolah untuk mengelola beragam populasi mahasiswa. Sebaliknya, ada sekitar panik moral kurangnya panutan bagi laki-laki muda masculinities dalam krisis, dengan nasional bergerak ke arah positif di Australia diskriminasi untuk 'laki-laki hanya' mengajar beasiswa (Mills et al., 2004).

Kemudian ada perbedaan dalam pendekatan kepemimpinan. Ini adalah tempat 'perempuan dan kepemimpinan 'sastra, misalnya, dapat berada. Klaim adalah untuk
lebih adil (tapi tidak harus sama) keterwakilan tertentu luar kelompok. Menggambar dari budaya feminis posisi, gagasan ini representational keanekaragaman bahwa harus ada perwakilan dan pengakuan dari wanita dan cara untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Hal ini mencemaskan, pertama, karena essentialist konotasi tentang perempuan sebagai kelompok yang homogen mengabaikan urutan pertama perbedaan antara perempuan berdasarkan ras, kelas, etnis dan cara ini mirip sekali melalui gambar kepemimpinan; urutan kedua, tetapi juga perbedaan dalam hal yang lebih penting pembantahan nilai, ideologi dan posisi pendidikan di kalangan perempuan; yang 'intelektual keragaman '(Phillips, 1996). Kedua, pandangan ini juga mengabaikan cara sistemik dan sekolah wacana, budaya dan struktur bentuk kemungkinan orang-orang di sekolah untuk latihan kepemimpinan termasuk kepemimpinan dan demokratis. Selain itu, budaya feminis wacana telah terlalu mudah subsumed oleh managerialism. Perempuan (dalam kelompok) yang terlihat membawa atribut khusus untuk kepemimpinan yang diposisikan sebagai komplementer untuk atribut kepemimpinan laki-laki, tanpa mengubah masculinist rangka pendidikan kepemimpinan dan manajemen (Blackmore, 1999). Ada sedikit pertimbangan sistemik atau merugikan keuntungan, sosial hubungan kekuasaan / jenis kelamin, atau privileging tertentu sistem nilai.

Sebagian besar wacana di atas keanekaragaman mobilised sekitar menganggap beberapa gagasan essentialist statis dan budaya, perempuan 'sebagai satu kelas' atau sebuah kelompok etnis. Solusinya adalah dengan mencari penyertaan, biasanya dari perspektif assimilationist, premised atas' mosaik multikulturalisme '; yang merupakan mosaik dari berbagai' budaya ' aggregates menjadi kesatuan harmonis (Benhabib, 2002). Tidak ada pengakuan kekuasaan dan status differentials antara dan dalam kelompok budaya, namun berdasarkan gagasan yang sempit dari perwakilan liberal dalam teori, sebuah 'politik kehadiran 'yang dianggap telah memiliki perwakilan saja akan mengakibatkan suara dan reformasi (Phillips, 1996). Lain memperdebatkan bahwa gagasan produktif keanekaragaman (menanggulangi dan Kalantzis, 1996) juga memperhitungkan keragaman intelektual dalam argumentasi yang kreativitas (dan produktivitas) yang timbul dari representasi ide yang timbul dari lebih luas, perwakilan dari berbagai kelompok budaya. Tetapi hanya sebagai procedurally fokus sama kesempatan wacana berdasarkan Kelebihan telah siap dimasukkan baris dalam pengelolaan corporate governance pada tahun 1980-an, demikian pula dengan keanekaragaman dalam pendekatan kepemimpinan telah siap appropriated sebagai simbolis nilai diperoleh melalui bukti keberadaan perempuan dan kelompok minoritas sebagai signifiers yang merawat dan termasuk organisasi.

Lebih baru-baru ini, telah terjadi sementara aliran utama dalam mengambil kebijakan keragaman ini-dalam-sikap kepemimpinan. Sekarang keberadaan perempuan dan minoritas kepemimpinan dalam kelompok sekolah dianggap menjadi solusi yang muncul
bercerai dengan krisis kepemimpinan (Rawlings dan Gronn-Sinnaei, 2003). Sejumlah pemerintah dan laporan-laporan media di Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Indonesia menyebut kepala sekolah di bawah tekanan. Aplikasi untuk posisi kepemimpinan dalam menolak, terutama dalam budaya yang lebih beragam dan sering dirugikan socioeconomically sekolah (Blackmore et al., di tekan). Perempuan dan kelompok minoritas sosial semakin dilihat sebagai sumber kepemimpinan baru bakat, cocok untuk bekerja dengan orang-orang dengan siapa mereka memiliki bahasa, budaya komune dan ikatan. Tetapi ada cerita yang tak ada 'kepemimpinan berakar sehubungan budaya cara tradisional untuk mengetahui dan komitmen sosial keadilan 'yang dilakukan oleh pemimpin perempuan yang' othered 'di dominasi oleh putih dan masculinism (AhNee-Benham, 2003: 35). Bagi perempuan, adat, dan pemimpin kelompok minoritas yang terpaksa mengambil pekerjaan beresiko pendidikan kepemimpinan di bawah tatapan orang lain melalui lensa dwimakna jenis kelamin, ras, kelas, yang dianggap sebagai 'wakil' dari minoritas tertentu adalah berbahaya, karena mereka terlihat terlalu dekat dengan masyarakat melalui afiliasi. Mereka juga mungkin, dengan lebih performative sendiri-sistem pengelolaan, di mana tanggung jawab masing-masing adalah pada kepala sekolah, akan lebih rentan, sehingga untuk menanggung pukulan dari setiap kegagalan untuk membuat perbedaan ditentukan menurut externally dikenakan hasil meskipun keadaan menantang. Bahaduri pemimpin dengan cepat menjadi selebriti dalam sistem sekolah, tetapi sama dengan cepat dan lupa akan ditolak oleh sistem yang membuat posisi tidak seperti itu. Keberadaan dan suara tidak cukup, kecuali ada juga kemungkinan yang lebih inklusif proses musyawarah demokratis yang memungkinkan badan dan kapasitas untuk mempengaruhi keputusan (Blackmore dan Sachs, di tekan; dianggap, 1996; Mitchell, 2001; Sinclair, 2000a, 2000b).

Mosaik multikulturalisme ketika terhubung ke ekuitas sebagai kelompok operationalized melalui kebijakan yang menghasilkan paradoks kategori (Hart dkk., 2004). Kategori seperti ras, kelas, jenis kelamin, etnis bila dikaitkan dengan 'tidak', 'Underachieving' dan 'beresiko' menganggap otoritas tertentu melalui kebijakan dan praktek. Kategori sering menjadi kompak dan homogenized, essentializing perbedaan politik dan sosial merusak cara seperti freezes kategori dalam cara yang mendorong fragmentasi sosial yang datang daripada ketidakstabilan tumpang tindih dan beberapa kategori. Misalnya, wacana tentang 'yg berhubung dgn penyembuhan maskulinitas' tentang anak laki-laki' underachievement di sekolah hasil dari mempersempit fokus pada semua anak laki-laki sebagai kelompok yang homogen pada satu sisi, dan kinerja akademik hasil alignment dengan performative dan kompetitif budaya abad ke-21. di sekolah lainnya (Lingard 2003; Mills dkk., 2004). Sedangkan anak laki-laki berusia di atas diwakili dalam keaksaraan remediation, ini mengabaikan wacana tidak hanya bagaimana maskulinitas terus mendominasi ruang dan tempat di sekolah, dan cara tertentu masculinities (homoseks) adalah marginalised oleh dominan masculinities (heteroseks), tetapi juga cara tertentu femininities (kaum non-berbahasa Inggris latar belakang, dan pedesaan Aborigin) tidak mencapai serta putih kelas menengah masculinities. Itu adalah, tidak ada pengakuan dari bagaimana daya dan kesempatan bekerja di dalam dan melalui sosial hubungan jender intersecting dengan ras, kelas dan perbedaan bahasa. Merawat anak laki-laki sebagai kelompok yang homogen tidak hanya mengabaikan bagaimana maskulinitas membawa dengan hak istimewa tertentu, tetapi bagaimana sosio-ekonomi merugikan bertepatan dengan lokasi dan 'ras' memiliki dampak signifikan pada khususnya perempuan dan anak laki-laki (Lamb dkk., 2004). Sambil bekerja kelas, suku dan adat dan masculinities femininities berada di bawah ancaman, putih dan beberapa etnis masculinities kelas menengah dan femininities lakukan cukup baik (Lingard, 2003). Budaya, ras, kelas dan jender tidak statis atau 'naturalized' tetapi kategori sosial constructs (Benhabib, 2002). Isu kebijakan dan strategi praktis di sekolah itu harus meminta lebih bernuansa pertanyaan: yang perempuan dan anak laki-laki yang manfaat atau beresiko?

Terakhir, apa yang hilang dalam kebijakan pendidikan utama dan administrasi sastra adalah wacana transformatif ke diversifikasi manajemen dan kepemimpinan. Ini akan menempatkan posisi dominan manajemen dan kepemimpinan paradigma di bawah tatapan kritis dari 'yang lain'. It would mean mempertimbangkan bagaimana organisasi Mei lebih baik dari masalah-masalah siswa dan tenaga kerja dalam keanekaragaman lebih luas kerangka konseptual tentang bagaimana sekolah sebagai organisasi yang berhubungan dengan budaya masyarakat yang beragam. Mungkin memerlukan beberapa sekolah dan redesign dari modus kepemimpinan yang tebal, contextualized sosial dan terus di bawah revisi dan negosiasi. Dari perspektif ini, menggerakkan gagasan keanekaragaman memberikan 'kesempatan tidak hanya untuk theorise tentang hak, tetapi juga untuk mengambil stok kondisi kami lebih vaunted reflexivity juga '(Cavanagh, 1997: 47). Bagaimana hak dan bekerja di sekolah-sekolah dan sekolah melalui sistem sekitar inextricable intersections antara ras, jenis kelamin, kelas, etnis di cara yang berfokus pada hubungan kekuasaan, dan ketidakstabilan hybridity beberapa identitas lintas yang timbul dari keanggotaan dalam kelompok-kelompok yang berbeda (Benhabib 2002)? Masalah, karena itu tidak hanya satu tetapi representational konsultatif demokratis tentang praktek yang memungkinkan badan. Bagaimana dan perwakilan dinegosiasikan suara melalui struktur dan proses musyawarah untuk marginalised grup tertentu? Hal ini juga berarti mengingat kepemimpinan dan manajemen dalam hal yang mengelola dan lead melebihi proporsional keterwakilan berbagai kelompok minoritas, namun akan menanyakan pertanyaan tentang apa nilai-nilai dan daya yang diinvestasikan dalam posisi tertentu. Ini akan membutuhkan proses keputusan membuat serta struktur dan budaya administrasi untuk informasi oleh publik proses berdasarkan gagasan partisipasi sebagai edukatif, dan manajemen sebagai menyediakan tentang kondisi kondusif untuk siswa, orangtua dan guru badan, menciptakan kondisi dan proses yang menyampaikan sebuah rasa pemberdayaan untuk bertindak dan kapasitas untuk mempengaruhi keputusan (hutan, 1999). Ini akan meningkatkan pendekatan sebelumnya oleh bantalan mereka dengan jelas rasa terhadap perbedaan diluar praktek toleransi, refleksif yang terlibat dengan diri sebagai seorang pemimpin adalah hak istimewa dan diposisikan oleh ras, kelas dan jenis kelamin, dan cara dalam organisasi sekolah yang memfasilitasi budaya pertukaran dan pembelajaran dua arah.

Pertanyaannya adalah apakah pengakuan budaya sebagai mengatur prinsip sekolah ketentuan yang memadai untuk menghasilkan lebih besar dalam pemerataan pendidikan hasil dan / atau sosial. Sekolah diatur sekitar urutan pertama perbedaan jenis kelamin, ras, kelas, bahasa sebagai hasil dari orang tua untuk memilih sekolah dengan 'orang-orang seperti kami' dapat dilihat untuk mendorong fragmentasi sosial dan intoleransi dari 'yang lain'. Neo-liberal orangtua pilihan kebijakan yang cenderung membebaskan individu dan mempromosikan sosial / ekonomi pengecualian, tetapi juga dapat memobilisasi etnis tertentu / ras / kelas kelompok 'sah untuk kebutuhan pendidikan, banyak memiliki pengalaman dikeluarkan dari sekolah utama (misalnya piagam sekolah) (Wells et al., 1997). Tetapi pluralisme budaya, sosial bersama-sama dengan fragmentasi dan individualisasi dari risiko dan tanggung jawab, ketika bertemu tuntutan untuk pengakuan budaya adalah frame oleh wacana yang marketization dan managerialism. Penjajaran hak individu ini preferensi dengan sedikit sehubungan kepada keadilan sosial wacana memanggil atas legacies sejarah dan tanggung jawab dari pemerintah dan organisasi organisasi untuk kelompok-kelompok marginal. Fraser (1997) berpendapat, bahwa untuk mendapatkan keadilan sosial dan pemerataan, kebijakan harus secara simultan alamat kembali untuk memperbaiki kerugian dan diskriminasi, karena hanya itu yang dapat dilakukan oleh interaksi antara jenis kelamin, ras, kelas, etnis dialamatkan (Gewirtz, 1998). Apapun hasil perbaikan untuk siswa Anak-anak Aborigin di Australia, misalnya, memerlukan pengakuan kedua budaya tetapi juga redistributive kebijakan strategis yang berkaitan dengan sumber daya.

Jadi jika kita ingin mengelola keragaman bagi siswa yang serius dan mengambil gagasan partisipasi (inclusivity) dan badan (kapasitas untuk bertindak) dari kelompok-kelompok minoritas, maka kita harus membedakan antara formal (perwakilan) dan substantif (kapasitas untuk mempengaruhi) kewarganegaraan (dianggap dkk., 1995: 146). Yang terakhir akan memerlukan transformasi yang signifikan dari praktek-praktek manajemen dan kepemimpinan jelas berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial underpinned oleh teori demokratis. Pusat, bagaimana kita berpikir tentang sekolah dan organisasi praktek akan diidentifikasi di atas prinsip-kembali berdasarkan teori dari eksploitasi, keadilan dan kemampuan; pengakuan berdasarkan teori dari representasi, interpretasi dan komunikasi (Fraser, 1997); asosiasi berdasarkan teori yang konsultatif demokrasi (hutan, 1999; Young, 2000); dan badan berdasarkan teori tentang kondisi yang mempromosikan individu kapasitas untuk bertindak.

Jadi Apa arti untuk Pendidikan dan Kepemimpinan Praktek-praktek di sekolah?

Jika konsep keanekaragaman harus dimobilisasi dengan cara-cara yang lebih besar akan menghasilkan keadilan, perlu berada dalam kelontong lebih luas tentang peran sekolah dalam demokratis pluralistic masyarakat dalam hal warga formasi, analisis tentang bagaimana struktural dan budaya terjadi dan bagaimana ketidaksetaraan hak bekerja, dan teori keadilan sosial yang menyediakan prinsip-prinsip yang akan menginformasikan kebijakan dan praktek lokal maupun pusat. Perbedaan keduanya adalah sebuah konsep empiris (yang nampaknya netral dokumentasi yang berbeda), dan juga sebuah konsep normatif ( 'tidak apa perbedaan tersebut, tetapi kami membuat orang-orang perbedaan '), dalam hal kategori yang mempekerjakan kita tentang mahasiswa dan rekan (Riffel dkk., 1996: 113).

Kita perlu lebih memahami bagaimana perbedaan bekerja melalui sekolah oleh mempertimbangkan spesifik kelompok siswa dan memeriksa sosial-ekonomi, pendidikan dan budaya yang terkait dengan keadaan pendidikan pengalaman untuk lebih memahami faktor-faktor di belakang prestasi mereka atau kurangnya prestasi mereka. Kita juga perlu mempertimbangkan bagaimana kita sebagai guru dan administrator merespon kategori, dan bagaimana kita sendiri praktek pendidikan membentuk pengalaman. Berkaitan dengan kurikulum dan pedagogi, sebuah studi longitudinal Queensland diidentifikasi sementara guru yang sangat baik di lingkungan menciptakan merawat, banyak kekurangan yang pedagogis repertoar tentang bagaimana untuk menangani siswa dengan perbedaan (Lingard dkk., 2003). Mengembangkan repertoar ini memerlukan mendorong budaya informasi dari guru profesional dan belajar dari waktu ke waktu. Hal ini memiliki implikasi kepemimpinan di sekolah untuk istilah praktis. Strategi apa yang dapat mengangkat seorang pemimpin dan menyesuaikan diri dalam konteks tertentu?

Bekerja dari transformatif posisi diversifikasi dan manajemen kepemimpinan, dan premised pada empat prinsip pengakuan, kembali, partisipasi dan badan, berikut adalah beberapa kemungkinan. Prinsip kembali akan memerlukan meletakkan keadilan pada kebijakan (dan karena itu sumber daya) agenda. Hal ini bisa berarti menjalankan keadilan audit kebijakan sekolah, praktek-praktek dan sumber daya yang berkaitan dengan personil dan kepemimpinan, kurikulum, penilaian praktik dan pedagogies; serta audit penggunaan sekolah ruang dan waktu. Yang manfaat dari alokasi dana dan sumber daya yang misses out?

Prinsip partisipasi akan mewajibkan kita untuk bertanya: bagaimana kurikulum persembahan, disiplin kebijakan dan strategi pendaftaran mengecualikan beberapa siswa (dan kelompok) dan hak orang lain? Apakah kurikulum inklusif (isi, bahasa, penilaian) dan intelektual menantang? Apakah pedagogi ambil pengalaman belajar siswa? Guru harus menganggap tinggi aspirasi dan menyampaikan harapan tinggi untuk semua siswa kelompok. Meminta siswa tentang bagaimana mereka melihat sekolah tertentu kebijakan, kurikulum dan penilaian praktek yang informatif tentang bagaimana posisi mereka sendiri sebagai keberhasilan / kegagalan, sebagai milik sekolah atau masyarakat merasa dikecualikan.

Dengan partisipasi yang terkait prinsip agensi. Apakah proses pengambilan keputusan yang terjadi di sekolah? Yang diwakili di keputusan badan? Melakukan proses pengambilan keputusan memfasilitasi kedua suara dan badan (yakni kapasitas untuk mempengaruhi?) melalui dewan siswa, forum orang tua dan dewan sekolah / badan-badan pemerintahan? Yang memiliki orang tua suara dan yang tidak? What do staf tentang masyarakat, bagaimana mereka terlibat dengan orang tua, apakah forum, proses dan praktek-praktek yang bentuk hubungan staf-orang tua? Bagaimana orang tua dapat lebih digalakkan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah, mengingat keadaan mereka? Apakah komunikasi praktik sekolah (satu bahasa atau multi)? Adalah
Adakah peluang bagi dua arah pertukaran budaya di mana orang tua untuk dihargai budaya lokal mereka dan pengetahuan, pengalaman dan keahlian? Siswa suara adalah dimensi penting dari pemahaman masalah keterlibatan siswa, prestasi dan kesejahteraan. Apakah budaya yang dominan / gender / ras gambar kepemimpinan di sekolah bagi siswa dan staf? Bagaimana informal kepemimpinan dan kepemimpinan guru teridentifikasi dan diakui? Yang merupakan pemimpin mahasiswa?
Berdasarkan pengakuan dan gagasan representational keanekaragaman sebuah lingkungan memindai Mei mempertimbangkan jenis jaringan di mana sekolah-nya guru dan siswa berada. Apakah profil mewakili sekolah siswa bahwa dari lingkungan geografis? Jika tidak, mengapa tidak? Ini adalah keinginan dalam segi bagaimana sekolah dan pendidikan masyarakat memahami? Bagaimana dapat ada link yang dibuat lebih kuat dengan berbagai komunitas di dalam lingkungan geografis serta siswa / orang tua masyarakat? Cara seperti itu akan jaringan digunakan untuk mendorong kegiatan siswa? Apakah sekolah dan masyarakat yang memproduksi wacana marginality dan mengakibatkan permusuhan terhadap kelompok sosial tertentu? Mempertimbangkan cara-cara di mana individu dan Biografi kolektif yang dibentuk di sekolah ini dari konteks budaya. Ini memerlukan mencerminkan pada gambar dan pernyataan yang jelas dalam sekolah yang akan diakui dan dihargai untuk kegiatan apa, dan apa konteks? Siswa melakukan olah raga, akademik, prestasi semua masyarakat mendapatkan ruang dan waktu yang sama? Sama pentingnya dalam hal jumlah siswa yang terlibat kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, drama, teater, dan klub. Kegiatan ini dapat link baik kepada masyarakat, tetapi juga memberikan ruang bagi alternatif prestasi siswa dan pengakuan di luar akademik (Mansouri, dalam pers).

Menangani keragaman normatively akan membahas apa arti keadilan dan berarti perbedaan antara staf dan siswa, dan pertimbangan tentang bagaimana mereka operationalized melalui kebijakan dan praktek. Kebijakan dan praktek tokenistic ini, praktis toleransi, keterlibatan atau bermakna? Dalam membahas masalah-masalah keanekaragaman, mungkin berarti staf melalui pengembangan profesional yang refleksif tentang sejarah pribadi mereka Biografi dan profesional pertama daripada memfokuskan pada merugikan atau perbedaan orang lain. Apakah ini berarti bagi mereka maka praktek? Ia akan berarti mengakui bahwa semua siswa dan keluarga mereka ada aspirasi pendidikan dan kehidupan ambisi-ambisi, dan keinginan, kegelisahan keadaan mengasingkan diri dan tidak hanya berinvestasi di kelompok sosial tertentu (Mansouri, di tekan: 18; Mirza, 2005). Asosiasi antara identitas dan prestasi sekolah yang implisit dan eksplisit. Mansouri (dalam tekan) dalam kajian Arab Berbicara Latar (ASB) Australia sekunder siswa menyimpulkan bahwa: pendidikan dan pengalaman sosial dan non-ASB ASB siswa berbeda dalam tombol yang berkaitan dengan daerah guru-murid mitra, persepsi dari interethnic hubungan di sekolah, dalam mencapai suatu keyakinan perguruan tempat, kepercayaan mengenai apakah rasisme mempengaruhi belajar dan perilaku keluarga dan penekanan pada sikap dan terhadap pendidikan. ASB murid lebih mungkin untuk mengekspresikan ketidakpercayaan terhadap guru, terutama yang berbasis di sekitar dirasakan kurangnya pemahaman budaya. Mereka kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk mencapai pendidikan atau pelatihan di luar sekolah menengah, dan lebih mungkin untuk memiliki ambisi-ambisi pendidikan lebih terbatas daripada siswa dari latar belakang lainnya. Walaupun semua siswa cenderung untuk berpikir bahwa mereka pendidikan orang tua harus dianggap penting, ASB siswa kurang cenderung membicarakan pendidikan mereka dengan orang tua mereka. Beberapa ASB siswa, terutama perempuan muda, yang dinyatakan ketegangan antara mereka yang budaya dan peran mereka ambisi-ambisi pendidikan. Penelitian juga menunjukkan bahwa ASB kaum muda, terutama anak laki-laki, prihatin tentang tingkat rasisme dan diskriminasi yang mereka hadapi dalam konteks sosial yang lebih luas. Titik terakhir ini sangat penting mengingat negatif dampak sosial dan pengecualian marginalisation dapat memiliki salah satu dari rasa berharga dan milik.

Pendidik perlu memahami perbedaan dan keanekaragaman dalam satu kemanusiaan agar pendidikan lebih adil bagi semua setiap hari. Hal ini berarti semakin praktis melebihi toleransi, dan yang terakhir mendapatkan persamaan / perbedaan ketegangan (kita semua diperlakukan sama atau mengurangi semua perbedaan ke 'lain' daripada yang dominan). Dan dengan semua masalah keadilan, ini berarti adalah tentang politik oleh pemerintah, reflexivity pada bagian dari pemimpin, mobilising sumber daya untuk keadilan, pemerataan dan kuat kebijakan lokal dan pusat. Ini juga menempatkan tekanan pada pemimpin sekolah untuk menempatkan masalah-masalah keanekaragaman pada agenda tetapi karena saya berpendapat, frame oleh prinsip-prinsip keadilan sosial dalam rangka untuk bekerja dalam atau melalui pendidikan terhadap pasar dan manajerial accountabilities (Blackmore, 2002). Namun 'apa yang membuat kami', saya telah ditunjukkan, tergantung atas kerangka kerja konseptual yang kita mengambil dari dan dalam konteks apa. Sebuah wacana dari keragaman dalam bingkai liberal pluralist, misalnya, sementara berdasarkan palen pada toleransi dan keadilan, memberikan prioritas kepada individu melalui kelompok hak. J sosial demokratis posisi akan menyatakan bahwa keanekaragaman juga tentang pengakuan kedua hak individu dan kolektif dalam gagasan yang lebih luas dari baik dan masyarakat demokratis.

Penghargaan

Saya berterima kasih kepada mereka untuk anonim pemeriksa kritik konstruktif dari versi sebelumnya.

BSNP

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI),
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH
(SMP/MTs), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar
Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH
IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs),
DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA).
Pasal 1
(1) Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah
aliyah (SMA/MA) mencakup kriteria minimum sarana dan kriteria
minimum prasarana.
(2) Standar Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen
dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 (seribu) jiwa dan
yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak
tempuh 3 (tiga) kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak
membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
3
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional.
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I.
Muslikh, S.H.
NIP.131479478


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007

95
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG
STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka perluasan akses sosialisasi Standar Isi dan
Standar Kompetensi Lulusan, perlu mengubah Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005;
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
96
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERUBAHAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 22
TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DAN PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal I
Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah diubah sebagai berikut.
1. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
(4) Satuan pendidikan dapat mengadopsi atau mengadaptasi model
kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional bersama unit utama terkait.
2. Ketentuan dalam Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah:
a. menggandakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,
panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah, dan model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
97
menengah, serta mendistribusikannya kepada setiap satuan pendidikan
secara nasional;
b. melakukan bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah.
c. melakukan usaha secara nasional agar sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mendukung penerapan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Februari 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 2007
Tentang
STANDAR
Proses
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH
Badan Standar Nasional Pendidikan
Tahun 2007

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayahNya, sehingga Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyelesaikan
Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Standar ini dikembangkan oleh tim adhoc selama delapan bulan pada tahun 2006. Tim adhoc ini dibentuk oleh BSNP, dan anggota tim ini terdiri dari para ahli dan praktisibidang
pendidikan. Alhamdulillah standar proses ini telah menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 tahun 2007, tentang Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pengembangan standar proses ini melalui perjalanan yang cukup panjang yaitu: temu awal, pengakajian bahan dasar,
pengumpulan data lapangan, pengolahan data lapangan, penyusunan naskah akademik, penyusunan draf standar, reviu
draf standar dan naskah akademik, validasi draf standar dan naskah akademik, lokakarya pembahasan draf standar dan naskah akademik, pembahasan draf standar dengan Unit Utama Depdiknas, finalisasi draf standar dan naskah akademik untuk uji publik, uji publik yang melibatkan pihak-pihak terkait dalam skala yang lebih luas, finalisasi draf standar dan naskah akademik, dan terakhir rekomendasi draf final standar proses dan naskah akademik. BSNP juga membahas dalam setiap
iv
perkembangan draf standar dan naskah akdemik.
BSNP menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih
kepada semua anggota tim ad hoc yang telah bekerja giat dengan semangat yang tinggi serta kepada semua pihak yang telah memberi masukan pada draf standar proses dan naskah akademiknya. Semoga buku ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam pelaksanaan pendidikan di setiap tingkat
dan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Jakarta, November 2007, Ketua,
Prof. Djemari Mardapi, Ph.D
v
Daftar Isi
KATA PENGANTAR......................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................... v
Salinan PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG
STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH ............................................. 1
L
AMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN
NASIONAL NOMOR 41 TAHUN 2007
TANGGAL 23 NOVEMBER 2007 STANDAR PROSES
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN
MENENGAH.................................................................... 5
I. PENDAHULUAN....................................................... 5
II. PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN......... 7
A. Silabus ................................................................ 7
B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ................. 8
C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP......................... 11
III. PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN.......... 12
A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran 12
B. Pelaksanaan Pembelajaran ................................ 14
vi
IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN........................ 18
V. PENGAWASAN PROSES PEMBELAJARAN........... 18
A. Pemantauan......................................................... 18
B. Supervisi.............................................................. 19
C. Evaluasi............................................................... 19
D. Pelaporan............................................................. 20
E. Tindak lanjut......................................................... 20
GLOSARIUM................................................................... 21
SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2007
TENTANG
STANDAR PROSES
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR
DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Standar Proses
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
1
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia
Nomor 4496);
3.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan
Organisasi, dan Tatakerja Kementerian
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
4.
Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai pembentukan Kabinet Indonesia
Bersatu sebagaimana
telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR PROSES
UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
2
Pasal 1
(1) Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,
dan pengawasan proses pembelajaran.
(2) Standar Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 November 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 41 TAHUN 2007

TANGGAL 23 NOVEMBER 2007
STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN
DASAR DAN MENENGAH
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan
nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang ber5
langsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan,
dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.
Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang
dan karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan
pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada
6
jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran,
dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya
proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
II. PERENCANAAN PROSES
PEMBELAJARAN
Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi
dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.
A. Silabus
Silabus
sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber
belajar. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah
7
Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan. Pengembangan silabus disusun
di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung
jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pendidikan
untuk SMA dan SMK, serta departemen yang menangani
urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.
B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP
dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan
belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun
RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
RPP
disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP adalah :
1. Identitas mata pelajaran
Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran
atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.
2. Standar kompetensi
Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan
minimal peserta didik yang menggambarkan
8
penguasaan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.
3. Kompetensi dasar
Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu
sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi
dalam suatu pelajaran.
4. Indikator pencapaian kompetensi
Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian
mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional
yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil
belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik
sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi ajar
Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
7. Alokasi waktu
Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk
pencapaian KD dan beban belajar.
8. Metode pembelajaran
Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela9
jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan
metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi
dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap
indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI.
9. Kegiatan pembelajaran
a. Pendahuluan
Pendahuluan
merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk
membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
b. Inti
Kegiatan
inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
c. Penutup
Penutup
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan,
penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak
10
lanjut.
10. Penilaian hasil belajar
Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar
disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi
dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar
Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP
1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas,
inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.
3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis
Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan
kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan,
dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut
RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.
11
5. Keterkaitan dan keterpaduan
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi,
penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan
pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi,
sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
III. PELAKSANAAN PROSES
PEMBELAJARAN
A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran
1. Rombongan belajar
Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar
adalah:
a. SD/MI : 28 peserta didik
b. SMP/MT : 32 peserta didik
c. SMA/MA : 32 peserta didik
d. SMK/MAK : 32 peserta didik
2. Beban kerja minimal guru
a. beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, membim12
bing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan
tugas tambahan;
b. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf
a di atas adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh
empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
2. Buku teks pelajaran
a. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah/
madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;
b. rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;
c. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku referensi
dan sumber belajar lainnya;
d. guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di perpustakaan
sekolah/madrasah.
3. Pengelolaan kelas
a. guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik
peserta didik dan mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;
b. volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik;
c. tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;
d. guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan
dan kemampuan belajar peserta didik;
e. guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenya13
manan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan
dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;
f. guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap
respons dan hasil belajar peserta didik selama
proses pembelajaran berlangsung;
g. guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan status
sosial ekonomi;
h. guru menghargai pendapat peserta didik;
i. guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
j. pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus
mata pelajaran yang diampunya; dan
k. guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran
sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
B. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan
pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan
14
uraian
kegiatan sesuai silabus.
2. Kegiatan Inti
Pelaksanaan
kegiatan inti merupakan proses pembelajaran
untuk mencapai KD yang dilakukan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kegiatan
inti menggunakan metode yang disesuaikan
dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran,
yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
a. Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip
alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran,
media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan,
dan sumber belajar lainnya;
4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap
kegiatan pembelajaran; dan
5) memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan
di laboratorium, studio, atau lapangan.
15
b. Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis
yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang
bermakna;
2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan
gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis,
menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;
8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran,
turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;
9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya
diri peserta didik.
c. Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun
16
hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi
dan elaborasi peserta didik melalui berbagai
sumber,
3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator
dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
b) membantu menyelesaikan masalah;
c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;
e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
3. Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru:
a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;
b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten
dan terprogram;
c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
17
d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan
konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas
individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
e. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN
Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan
hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram
dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk
tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.
V. PENGAWASAN PROSES
PEMBELAJARAN
A. Pemantauan
1. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
18
2. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara,
dan dokumentasi.
3. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
B. Supervisi
1. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
2. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.
3. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas
satuan pendidikan.
C. Evaluasi
1. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan
kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
2. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan
cara:
a. membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan
guru dengan standar proses,
b. mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran
sesuai dengan kompetensi guru.
3. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan
kinerja guru dalam proses pembelajaran.
19
D. Pelaporan
Hasil
kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasiproses
pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan.
E. Tindak lanjut
1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.
2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar.
3. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran
lebih lanjut.
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478
20
GLOSARIUM
Afektif
:
Berkaitan dengan sikap, perasaan dan nilai.
Alam takam-
bang jadi guru
:
Menjadikan alam dalam lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, tempat berguru.
beban kerja
guru
:
1. Sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam
satu minggu, mencakup kegiatan pokok merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan (UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 35 ayat 1 dan 2).
2. Beban maksimal dalam mengorganisasikan proses belajar dan pembelajaran yang bermutu
: SD/MI/SDLB 27 jam @ 35 menit, SMP/MTs/
SMPLB 18 jam @ 40 menit, SAM/MA/SMK/MAK/SMALB 18 jam @ 45 menit (Standar Proses).
Belajar
:
Perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas
pribadi seseorang sebagai akibat pengolahan
atas pengalaman yang diperolehnya dan praktik yang dilakukannya.
belajar aktif
:
Kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan,
merefleksi rangsangan, dan memecahkan
masalah.
belajar mandiri
:
Kegiatan atas prakarsa sendiri dalam menginternalisasi
pengetahuan, sikap dan keterampilan,
tanpa tergantung atau mendapat bimbingan
langsung dari orang lain.
21
Budaya membaca menulis
:
Semua kegiatan yang berkenaan dengan kemampuan
berbahasa (mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis). Proses penulisan
dilakukan dengan keterlibatan peserta didik dengan tahapan kegiatan: pra penulisan, buram 1, revisi, buram 2, pengecekan tanda baca,
dan terakhir publikasi di mana peserta didik menentukan karyanya dimuat di buku kelas, mading,
majalah sekolah, atau majalah yang ada di daerah setempat.
Daya saing
:
Kemampuan untuk menunjukkan hasil lebih baik, lebih cepat atau lebih bermakna.
indikator kompetensi
:
Bukti yang menunjukkan telah dikuasainya kompetensi
dasar
klasikal
:
Cara mengelola kegiatan belajar dengan sejumlah
peserta didik dalam suatu kelas, yang memungkinkan belajar bersama, berkelompok dan individual.
kognitif
:
Berkaitan dengan atau meliputi proses rasional untuk menguasai pengetahuan dan pemahaman konseptual. Periksa taksonomi tujuan belajar kognitif.
kolaboratif
:
Kerjasama dalam pemecahan maalah dan atau penyelesaian suatu tugas dimana tiap anggota melaksanakan fungsi yang saling mengisi dan melengkapi.
kolokium
:
Suatu kegiatan akademik dimana seseorang mempresentasikan
apa yang telah dipelajari kepada
suatu kelompok atau kelas, dan menjawab
pertanyaan mengenai presentasinya dari anggota kelompok atau kelas.
22
kompetensi
:
1. Seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung
jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.
2. Keseluruhan sikap, keterampilan, dan pengetahuan
yang dinyatakan dengan ciri yang dapat diukur.
kompetensi dasar (KD)
:
Kemampuan minimal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan efektif.
kooperatif
:
Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok demi untuk kepentingan bersama (mutual benefit).
metakognisi
:
Kognisi yang lebih komprehensif, meliputi pengetahuan
strategik (mampu membuat ringkasan, menyusun struktur pengetahuan), pengetahuan tentang tugas kognitif (mengetahui tuntutan kognitif
untuk berbagai keperluan), dan pengetahuan
tentang diri (Briggs menggunakan istilah “prinsip”).
paradigma
:
Cara pandang dan berpikir yang mendasar.
pembelajaran
:
(1) Proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU Sisdiknas);
(2) Usaha sengaja, terarah dan bertujuan oleh seseorang atau sekelompok orang (termasuk
guru dan penulis buku pelajaran) agar orang lain (termasuk peserta didik), dapat memperoleh pengalaman yang bermakna.
Usaha ini merupakan kegiatan yang berpusat
pada kepentingan peserta didik.
23
pembelajaran berbasis masalah
:
Pengorganisasian proses belajar yang dikaitkan dengan masalah konkret yang dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan atau mata pelajaran. Misalnya masalah “bencana alam” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan Agama.
pembelajaran berbasis proyek
:
Pengorganisasian proses belajar yang dikaitkan
dengan suatu objek konkret yang dapat ditinjau
dari berbagai disiplin keilmuan atau mata
pelajaran. Misalnya objek “sepeda” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa, IPA, IPS, dan Penjasorkes.
penilaian otentik
:
Usaha untuk mengukur atau memberikan penghargaan
atas kemampuan seseorang yang benar-benar menggambarkan apa yang dikuasainya. Penilaian ini dilakukan dengan berbagai
cara seperti tes tertulis, kolokium, portofolio,
unjuk kerja, unjuk tindak (berdikusi, berargumentasi, dan lain-lain), observasi dan lain-lain.
portofolio
:
Suatu berkas karya yang disusun berdasarkan sistematika tertentu, sebagai bukti penguasaan atas tujuan belajar.
prakarsa
:
Daya atau kemampuan seseorang atau lembaga untuk memulai sesuatu yang berdampak positif terhadap diri dan lingkungannya.
reflektif
:
Berkaitan dengan usaha untuk mengolah atau mentransformasikan rangsangan dari
penginderaan
dengan pengalaman, pengetahuan,
dan kepercayaan yang telah dimiliki.
remedi
:
Usaha pengulangan pembelajaran dengan cara yang lain setelah dilakukan diagnosa masalah belajar.
24
sistematik
:
Usaha yang dilakukan secara berurutan agar tujuan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
sistemik
:
Holistik: cara memandang segala sesuatu sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.
standar isi (SI)
:
Ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi
tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi
mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu (PP 19 Tahun 2005).
standar kom-petensi (SK)
:
Ketentuan pokok untuk dijabarkan lebih lanjut
dalam serangkaian kemampuan untuk melaksanakan
tugas atau pekerjaan secara efektif.
standar kompetensi lulusan (SKL)
:
Ketentuan pokok untuk menunjukkan kemampuan
melaksanakan tugas atau pekerjaan setelah
mengikuti serangkaian program pembelajaran.
strategi
:
Pendekatan menyeluruh yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dan biasanya dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori tertentu.
sumber belajar
:
Segala sesuatu yang mengandung pesan, baik yang sengaja dikembangkan atau yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengalaman dan atau praktik yang memungkinkan terjadinya
belajar. Sumber belajar dapat berupa narasumber,
buku, media non-buku, teknik dan lingkungan.
25
taksonomi tujuan belajar kognitif
:
(1) Meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi (Benjamin
Bloom dkk, 1956).
(2) Terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan
yang terdiri atas faktual, konseptual, prosedural, dan metakognisi, dan dimensi proses kognitif yang meliputi mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi dan mencipta (Lorin W. Anderson dkk, 2001, sebagai revisi
dari taksonomi Bloom dkk.).
tematik
:
Berkaitan dengan suatu tema yang berupa subjek atau topik yang dijadikan pokok pembahasan.
Contoh: pembelajaran tematik di kelas I SD dengan tema ”Aku dan Keluargaku”. Tema tersebut dijadikan dasar untuk berbagai mata pelajaran, termasuk Bahasa Indonesia, Agama, Matematika dan lain-lain.
26


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2008

SALINAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2008
TENTANG
STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah;
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH.
Pasal 1
(1) Standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah mencakup kepala perpustakaan sekolah/madrasah dan tenaga perpustakaan sekolah/madrasah.
(2) Standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2008
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478
SALINAN
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 25 TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008
STANDAR TENAGA PERPUSTAKAAN SEKOLAH/MADRASAH
A. KUALIFIKASI
Setiap sekolah/madrasah untuk semua jenis dan jenjang yang mempunyai jumlah tenaga perpustakaan sekolah/madrasah lebih dari satu orang, mempunyai lebih dari enam rombongan belajar (rombel), serta memiliki koleksi minimal 1000 (seribu) judul materi perpustakaan dapat mengangkat kepala perpustakaan sekolah/madrasah.
1. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Pendidik
Kepala perpustakaan sekolah/madrasah harus memenuhi syarat:
a. Berkualifikasi serendah-rendahnya diploma empat (D4) atau sarjana (S1);
b. Memiliki sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah;
c. Masa kerja minimal 3 (tiga) tahun.
2. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah yang melalui Jalur Tenaga Kependidikan
Kepala perpustakaan sekolah dan madrasah harus memenuhi salah satu syarat berikut:
a. Berkualifikasi diploma dua (D2) Ilmu Perpustakaan dan Informasi bagi pustakawan dengan masa kerja minimal 4 tahun; atau
b. Berkualifikasi diploma dua (D2) non-Ilmu Perpustakaan dan Informasi dengan sertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah dengan masa kerja minimal 4 tahun di perpustakaan sekolah/madrasah.
3. Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah
Setiap perpustakaan sekolah/madrasah memiliki sekurang-kurangnya satu tenaga perpustakaan sekolah/madrasah yang berkualifikasi SMA atau yang sederajat dan bersertifikat kompetensi pengelolaan perpustakaan sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
B. KOMPETENSI
1. Kepala Perpustakaan Sekolah/Madrasah
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.1.1 Mengarahkan tenaga perpustakaan untuk bekerja secara efektif dan efisien
1.1.2 Menggerakkan tenaga perpustakaan untuk bekerja secara efektif dan efisien
1.1.3 Membina tenaga perpustakaan untuk pengembangan pribadi dan karir
1.1 Memimpin tenaga perpustakaan sekolah/madrasah
1.1.4 Menjadi teladan dalam melaksanakan tugas
1.2.1 Merencanakan program pengembangan
1.2.2 Merencanakan pengembangan sumber daya perpustakaan
1.2 Merencanakan program perpustakaan sekolah/madrasah
1.2.3 Merencanakan anggaran
1.3.1 Melaksanakan program pengembangan
1.3.2 Melaksanakan pengembangan sumber daya perpustakaan
1.3.3 Memanfaatkan anggaran sesuai dengan program
1. Kompetensi Manajerial
1.3 Melaksanakan program perpustakaan sekolah/madrasah
1.3.4 Mengupayakan bantuan finansial dari berbagai sumber
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.4.1 Memantau pelaksanaan program pengembangan
1.4.2 Memantau pengembangan sumberdaya perpustakaan
1.4 Memantau pelaksanaan program perpustakaan sekolah/madrasah
1.4.3 Memantau penggunaan anggaran
1.5.1 Mengevaluasi program pengembangan
1.5.2 Mengevaluasi pengembangan sumber daya perpustakaan
1.5 Mengevaluasi program perpustakaan sekolah/madrasah
1.5.3 Mengevaluasi pemanfaatan anggaran
2.1.1 Memiliki pengetahuan mengenai penerbitan
2.1.2 Memiliki pengetahuan tentang karya sastra Indonesia dan dunia
2.1.3 Memiliki pengetahuan tentang sumber biografi tokoh nasional dan dunia
2.1.4 Menggunakan berbagai alat bantu seleksi untuk pemilihan materi perpustakaan
2.1.5 Mengkoordinasi pemilihan materi perpustakaan bekerja sama dengan tenaga pendidik bidang studi
2. Kompetensi Pengelolaan Informasi
2.1 Mengembangkan koleksi perpustakaan sekolah/madrasah
2.1.6 Membuat kriteria tentang buku hadiah dan lembaga donor
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
2.1.7 Mengevaluasi dan menyeleksi sumber daya informasi
2.1.8 Bekerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengembangan koleksi
2.1.9 Melakukan pemesanan, penerimaan, dan pencatatan
2.1.10 Mendayagunakan teknologi tepat guna untuk keperluan perawatan bahan perpustakaan
2.2.1 Membuat deskripsi bibliografis (pengatalogan) sesuai dengan standar nasional
2.2.2 Menentukan deskripsi subjek dan menggunakan Dewey Decimal Classification edisi ringkas
2.2.3 Menggunakan daftar tajuk subjek dalam bahasa Indonesia
2.2.4 Menjajarkan kartu katalog
2.2 Mengorganisasi informasi
2.2.5 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengorganisasian dan penelusuran informasi
2.3 Memberikan jasa dan sumber informasi
2.3.1 Merancang dan memberikan jasa informasi, termasuk referensi
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
2.3.2 Menyelenggarakan jasa sirkulasi
2.3.3 Memiliki pengetahuan mengenai sumber referensi
2.3.4 Memberikan bimbingan penggunaan perpustakaan bagi komunitas sekolah/madrasah
2.4.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan
2.4 Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
2.4.2 Membimbing komunitas sekolah/madrasah dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
3.1.1 Memahami tujuan dan fungsi sekolah/madrasah dalam konteks pendidikan nasional
3.1.2 Memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang berlaku
3.1.3 Memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar
3.1 Memiliki wawasan kependidikan
3.1.4 Memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri
3. Kompetensi Kependidikan
3.2 Mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi
3.2.1 Menganalisis kebutuhan informasi komunitas sekolah/madrasah
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.2.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi proses pembelajaran
3.2.3 Membantu komunitas sekolah/madrasah menggunakan sumber informasi secara efektif
3.3.1 Mengorganisasi promosi perpustakaan
3.3.2 Menginformasikan kepada komunitas sekolah/ madrasah tentang materi perpustakaan yang baru
3.3 Mempromosikan perpustakaan
3.3.3 Membimbing komunitas sekolah/madrasah untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan
3.4.1 Mengidentifikasi kemampuan dasar literasi informasi pengguna
3.4.2 Menyusun panduan dan materi bimbingan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna
3.4.3 Membimbing pengguna mencapai literasi informasi
3.4.4 Mengevaluasi pencapaian bimbingan literasi informasi
3.4 Memberikan bimbingan literasi informasi
3.4.5 Memotivasi dan mengembangkan minat baca komunitas sekolah/madrasah
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.4.6 Menciptakan kiat pengembangan perpustakaan sekolah/madrasah
4.1.1 Disiplin, bersih, dan rapi
4.1.2 Jujur dan adil
4.1 Memiliki integritas yang tinggi
4.1.3 Sopan, santun, sabar, dan ramah
4.2.1 Mengikuti prosedur kerja
4.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu
4.2.3 Bertindak secara tepat
4.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan
4.2.5 Meningkatkan kinerja
4. Kompetensi Kepribadian
4.2 Memiliki etos kerja yang tinggi
4.2.6 Melakukan evaluasi diri
5.1.1 Berinteraksi dengan komunitas sekolah/madrasah
5.1 Membangun Hubungan sosial
5.1.2 Bekerja sama dengan komunitas sekolah/madrasah
5.2.1 Memberikan jasa untuk komunitas sekolah/madrasah
5. Kompetensi Sosial
5.2 Membangun Komunikasi
5.2.2 Mengintensifkan komunikasi internal dan eksternal
6.1.1 Membuat karya tulis, di bidang ilmu perpustakaan dan informasi
6.1.2 Meresensi dan meresume buku
6. Kompetensi Pengembangan Profesi
6.1 Mengembangkan ilmu
6.1.3 Menyusun pedoman dan petunjuk teknis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
6.1.4 Membuat indeks
6.1.5 Membuat bibliografi
6.1.6 Membuat abstrak
6.2.1 Menerapkan kode etik profesi
6.2.2 Menghormati hak atas kekayaan intelektual
6.2 Menghayati etika profesi
6.2.3 Menghormati privasi pengguna
6.3.1 Menyediakan waktu untuk membaca setiap hari
6.3 Menunjukkan kebiasaan membaca
6.3.2 Gemar membaca
2. Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.1.1 Melaksanakan pengembangan perpustakaan
1.1.2 Mengorganisasi sumber daya perpustakaan
1.1.3 Melaksanakan fungsi, tugas, dan program perpustakaan
1.1 Melaksanakan kebijakan
1.1.4 Mengevaluasi program dan kinerja perpustakaan
1.2.1 Melakukan perawatan preventif
1.2 Melakukan perawatan koleksi
1.2.2 Melakukan perawatan kuratif
1. Kompetensi Manajerial
1.3 Melakukan pengelolaan anggaran dan keuangan
1.3.1 Membantu menyusun anggaran perpustakaan
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.3.2 Menggunakan anggaran secara efisien, efektif, dan bertanggung jawab
1.3.3 Melaksanakan pelaporan penggunaan keuangan dan anggaran
2.1.1 Memiliki pengetahuan mengenai penerbitan
2.1.2 Memiliki pengetahuan tentang karya sastra Indonesia dan dunia
2.1.3 Memiliki pengetahuan tentang sumber biografi tokoh nasional dan dunia
2.1.4 Menggunakan berbagai alat bantu seleksi untuk pemilihan materi perpustakaan
2.1.5 Berkoordinasi dengan tenaga pendidik bidang studi terkait dalam pemilihan materi perpustakaan
2.1 Mengembangkan koleksi perpustakaan sekolah/madrasah
2.1.6 Melakukan pemesanan, penerimaan, dan pencatatan
2.2.1 Membuat deskripsi bibliografis (pengatalogan) sesuai dengan standar nasional
2.2.2 Menentukan deskripsi subjek dan menggunakan Dewey Decimal Classification edisi ringkas
2. Kompetensi Pengelolaan Informasi
2.2 Melakukan pengorganisasian informasi
2.2.3 Menggunakan daftar tajuk subjek dalam bahasa Indonesia
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
2.2.4 Menjajarkan kartu katalog
2.2.5 Memanfaatkan teknologi untuk pengorganisasian informasi dan penelusuran
2.3.1 Memberikan layanan baca di tempat
2.3.2 Memberikan jasa informasi dan referensi
2.3.3 Menyelenggarakan jasa sirkulasi (peminjaman buku)
2.3.4 Memberikan bimbingan penggunaan perpustakaan bagi komunitas sekolah/madrasah
2.3 Memberikan jasa dan sumber informasi
2.3.5 Melakukan kerja sama dengan perpustakaan lain
2.4.1 Membimbing komunitas sekolah/madrasah dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
2.4 Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
2.4.2 Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan kebutuhan
3.1.1 Memahami tujuan dan fungsi sekolah/ madrasah dalam konteks pendidikan nasional
3. Kompetensi Kependidikan
3.1 Memiliki wawasan kependidikan
3.1.2 Memahami kebijakan pengembangan kurikulum yang berlaku
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.1.3 Memahami peran perpustakaan sebagai sumber belajar
3.1.4 Memfasilitasi peserta didik untuk belajar mandiri
3.2.1 Menganalisis kebutuhan informasi komunitas sekolah/madrasah
3.2.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi proses pembelajaran
3.2 Mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi
3.2.3 Membantu komunitas sekolah/madrasah menggunakan sumber informasi secara efektif
3.3.1 Menginformasikan kepada komunitas sekolah/ madrasah tentang materi perpustakaan yang baru
3.3.2 Membimbing komunitas sekolah/madrasah untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan
3.3.3 Mengorganisasi pajangan dan pameran materi perpustakaan
3.3 Melakukan promosi perpustakaan
3.3.4 Membuat dan menyebarkan media promosi jasa perpustakaan
3.4 Memberikan bimbingan literasi informasi
3.4.1 Mengidentifikasi kemampuan dasar literasi informasi pengguna
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.4.2 Menyusun panduan dan materi bimbingan literasi informasi sesuai dengan kebutuhan pengguna
3.4.3 Membimbing pengguna mencapai literasi informasi
3.4.4 Mengevaluasi pencapaian bimbingan literasi informasi
3.4.5 Memotivasi dan mengembangkan minat baca komunitas sekolah/madrasah
4.1.1 Disiplin, bersih, dan rapi
4.1.2 Jujur dan adil
4.1 Memiliki integritas yang tinggi
4.1.3 Sopan, santun, sabar, dan ramah
4.2.1Mengikuti prosedur
4.2.2Mengupayakan hasil
4.2.3Bertindak secara tepat
4.2.4Fokus pada tugas
4.2.5Meningkatkan kinerja
4. Kompetensi Kepribadian
4.2 Memiliki etos kerja yang tinggi
4.2.6 Melakukan evaluasi diri
5.1.1 Berinteraksi dengan komunitas sekolah/madrasah
5.1 Membangun Hubungan sosial
5.1.2 Bekerja sama dengan komunitas sekolah/madrasah
5.2.1 Memberikan jasa untuk komunitas sekolah/madrasah
5. Kompetensi Sosial
5.2 Membangun
Komunikasi
5.2.2 Mengintensifkan komunikasi internal dan eksternal
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
6.1.1 Membuat karya tulis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi
6.1.2 Meresensi dan meresume buku
6.1.3 Menyusun pedoman dan petunjuk teknis ilmu perpustakaan dan informasi
6.1.4 Membuat indeks
6.1.5 Membuat bibliografi
6.1 Mengembangkan ilmu
6.1.6 Membuat abstrak
6.2.1 Menerapkan kode etik profesi
6.2.2 Menghormati hak atas kekayaan intelektual
6.2 Menghayati etika profesi
6.2.3 Menghormati privasi pengguna
6.3.1 Menyediakan waktu untuk membaca setiap hari
6. Kompetensi Pengembangan Profesi
6.3 Menunjukkan kebiasaan membaca
6.3.2 Gemar membaca
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2008

SALINAN
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2008
TENTANG
STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/ Madrasah;
Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2005;
1
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH.
Pasal 1
(1) Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah mencakup kepala tenaga administrasi, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus sekolah/madrasah.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar tenaga administrasi sekolah/madrasah yang berlaku secara nasional.
(3) Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggara sekolah/madrasah dapat menetapkan perangkapan jabatan tenaga administrasi pada sekolah/madrasah yang diselenggarakannya.
Pasal 3
Penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan standar tenaga administrasi sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, selambat-lambat 5 (lima) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2008
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478
2
SALINAN
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008
STANDAR TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH/MADRASAH
A. KUALIFIKASI
Tenaga administrasi sekolah/madrasah terdiri atas kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus.
1. Kepala Tenaga Administrasi SD/MI/SDLB
Kepala tenaga administrasi SD/MI/SDLB dapat diangkat apabila sekolah/ madrasah memiliki lebih dari 6 (enam) rombongan belajar. Kualifikasi kepala tenaga administrasi SD/MI/SDLB adalah sebagai berikut:
a. Berpendidikan minimal lulusan SMK atau yang sederajat, program studi yang relevan dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 4 (empat) tahun.
b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Kepala Tenaga Administrasi SMP/MTs/SMPLB
Kepala tenaga administrasi SMP/MTs/SMPLB berkualifikasi sebagai berikut:
a. Berpendidikan minimal lulusan D3 atau yang sederajat, program studi yang relevan, dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/ madrasah minimal 4 (empat) tahun.
b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
3. Kepala Tenaga Administrasi SMA/MA/SMK/MAK/SMALB
Kepala tenaga administrasi SMA/MA/SMK/MAK/SMALB berkualifikasi sebagai berikut:
a. Berpendidikan S1 program studi yang relevan dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 4 (empat) tahun, atau D3 dan yang sederajat, program studi yang relevan, dengan pengalaman kerja sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah minimal 8 (delapan) tahun.
b. Memiliki sertifikat kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah dari lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah.
3
4. Pelaksana Urusan Administrasi Kepegawaian
Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat, dan dapat diangkat apabila jumlah pendidik dan tenaga kependidikan minimal 50 orang.
5. Pelaksana Urusan Administrasi Keuangan
Berpendidikan minimal lulusan SMK/MAK, program studi yang relevan, atau SMA/MA dan memiliki sertfikat yang relevan.
6. Pelaksana Urusan Administrasi Sarana dan Prasarana
Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat.
7. Pelaksana Urusan Administrasi Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat, dan dapat diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 9 (sembilan) rombongan belajar.
8. Pelaksana Urusan Administrasi Persuratan dan Pengarsipan
Berpendidikan minimal lulusan SMK/MAK, program studi yang relevan.
9. Pelaksana Urusan Administrasi Kesiswaan
Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat dan dapat diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 9 (sembilan) rombongan belajar.
10. Pelaksana Urusan Administrasi Kurikulum
Berpendidikan minimal lulusan SMA/MA/SMK/MAK atau yang sederajat dan diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki minimal 12 rombongan belajar.
11. Pelaksana Urusan Administrasi Umum untuk SD/MI/SDLB
Berpendidikan minimal SMK/MAK/SMA/MA atau yang sederajat.
4
12. Petugas Layanan Khusus
a. Penjaga Sekolah/Madrasah
Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.
b. Tukang Kebun
Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat dan diangkat apabila luas lahan kebun sekolah/madrasah minimal 500 m2 .
c. Tenaga Kebersihan
Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.
d. Pengemudi
Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat, memiliki SIM yang sesuai, dan diangkat apabila sekolah/madrasah memiliki kendaraan roda empat.
e. Pesuruh
Berpendidikan minimal lulusan SMP/MTs atau yang sederajat.
B. KOMPETENSI
1. Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah
Kompetensi kepribadian, sosial, teknis, dan manajerial bagi kepala tenaga administrasi sekolah/madrasah adalah sebagai berikut.
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik
1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya
1.1.3 Berperilaku jujur
1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia
1.1.4 Menunjukkan komitmen terhadap tugas
1.2.1 Mengikuti prosedur kerja
1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu
1.2.3 Bertindak secara tepat
1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan
1.2.5 Meningkatkan kinerja
1.2 Memiliki etos kerja
1.2.6 Melakukan evaluasi diri
1. Kompetensi Kepribadian
1.3 Mengendalikan diri
1.3.1 Mengendalikan emosi
5
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.3.2 Bersikap tenang
1.3.3 Mengendalikan stres
1.3.4 Berpikir positif
1.4.1 Memahami diri sendiri
1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri
1.4.3 Bertanggung jawab
1.4 Memiliki rasa percaya diri
1.4.4 Belajar dari kesalahan
1.5.1 Mengupayakan keterbukaan
1.5.2 Menghargai pendapat orang lain
1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain
1.5 Memiliki fleksibilitas
1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain
1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya
1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas
1.6 Memiliki ketelitian
1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja
1.7.1 Mengatur waktu
1.7.2 Menaati aturan yang berlaku
1.7 Memiliki kedisiplinan
1.7.3 Menaati azas yang berlaku
1.8.1 Berpikir alternatif
1.8.2 Kaya ide/gagasan baru
1.8.3 Memanfaatkan peluang
1.8.4 Mengikuti perkembangan Ipteks
1.8 Memiliki kreativitas dan inovasi
1.8.5 Melakukan perubahan
1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan
1.9.2 Berani mengambil resiko
1.9 Memiliki tanggung jawab
1.9.3 Tidak melimpahkan kesalahan kepada pihak lain
2.1.1. Berpartisipasi dalam kelompok
2. Kompetensi Sosial
2.1 Bekerja sama dalam tim
2.1.2. Menghargai pendapat orang
6
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
lain
2.1.3. Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan
2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar
2.2.3 Berempati kepada pelanggan
2.2.4 Berpenampilan prima
2.2.5 Menepati janji
2.2.6 Bersikap ramah dan sopan
2.2.7 Mudah dihubungi
2.2 Memberikan layanan prima
2.2.8 Komunikatif
2.3.1. Memahami struktur organisasi sekolah/madrasah
2.3.2. Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif
2.3.3. Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota
2.3.4. Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi
2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi
2.3.5. Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah
2.4.1 Menjadi pendengar yang baik
2.4.2 Memahami pesan orang lain
2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas
2.4 Berkomunikasi efektif
2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal
2.5.1. Melakukan hubungan kerja yang harmonis
2.5.2. Memposisikan diri sesuai dengan peranannya
2.5 Membangun hubungan kerja
2.5.3. Memelihara hubungan internal dan eksternal
3. Kompetensi Teknis
3.1 Melaksanakan administrasi
3.1.1. Memahami pokok-pokok peraturan kepegawaian
7
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.1.2. Membantu melaksanakan prosedur dan mekanisme kepegawaian
3.1.3. Membantu merencanakan kebutuhan pegawai
kepegawaian
3.1.4. Menilai kinerja staf
3.2.1. Memahami peraturan keuangan yang berlaku
3.2.2. Membantu menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/Madrasah (RAPBS/M)
3.2 Melaksanakan administrasi keuangan
3.2.3. Membantu menyusun laporan pertanggung jawaban keuangan sekolah/madrasah
3.3.1 Memahami peraturan administrasi sarana dan prasarana
3.3.2 Membantu menyusun rencana kebutuhan
3.3.3 Membantu menyusun rencana pemanfaatan sarana operasional sekolah/madrasah
3.3 Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana
3.3.4 Membantu menyusun rencana perawatan
3.4.1 Membantu kelancaran kegiatan komite sekolah/madrasah
3.4.2 Membantu merencanakan program keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders)
3.4.3 Membantu membina kerja sama dengan pemerintah dan lembaga masyarakat
3.4 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat
3.4.4 Membantu mempromosikan sekolah/madrasah dan mengkoordinasikan
8
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
penelusuran tamatan
3.4.5 Melayani tamu sekolah/madrasah
3.5.1 Memahami peraturan kesekretariatan
3.5.2 Membantu melaksanakan program kesekretariatan
3.5.3 Membantu mengkoordinasikan program Kebersihan, Kesehatan, Keindahan, Ketertiban, Keamanan, Kekeluargaan, dan Kerindangan (7K)
3.5 Melaksanakan administrasi persuratan dan pengarsipan
3.5.4 Menyusun laporan
3.6.1 Membantu penerimaan siswa baru
3.6.2 Membantu orientasi siswa baru
3.6.3 Membantu menyusun program pengembangan diri siswa
3.6 Melaksanakan administrasi kesiswaan
3.6.4 Membantu menyiapkan laporan kemajuan belajar siswa
3.7.1 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Isi
3.7.2 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Proses
3.7.3 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Kompetensi Lulusan
3.7 Melaksanakan administrasi kurikulum
3.7.4 Membantu menyiapkan administrasi pelaksanaan Standar Penilaian Pendidikan
3.8 Melaksanakan administrasi layanan khusus
3.8.1 Mengkoordinasikan petugas layanan khusus: penjaga sekolah/madrasah, tukang kebun tenaga kebersihan, pengemudi , dan pesuruh
9
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.8.2 Membantu mengkoordinasikan program layanan khusus antara lain Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), layanan konseling, laboratorium/bengkel, dan perpustakaan
3.9.1 Memanfaatkan TIK untuk kelancaran pelaksanaan administrasi sekolah/madrasah
3.9 Menerapkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.9.2 Menggunakan TIK untuk mendokumentasikan administrasi sekolah/madrasah
4.1.1 Membantu merencanakan pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan
4.1.2 Membantu mengkoordinasikan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan
4.1 Mendukung pengelolaan standar nasional pendidikan
4.1.3 Membantu mendokumentasikan hasil pemantauan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan
4.2.1 Menentukan prioritas
4.2.2 Melakukan penugasan
4.2.3 Merumuskan tujuan
4.2.4 Menetapkan sumber daya
4.2.5 Menentukan strategi penyelesaian pekerjaan
4.2 Menyusun program dan laporan kerja
4.2.6 Menyusun laporan kerja
4.3.1 Menyusun uraian tugas tenaga kependidikan
4.3.2 Memberikan pemahaman tupoksi
4.3.3 Menyesuaikan rencana kerja dengan kemampuan organisasi
4. Kompetensi Manajeri
4.3 Mengorganisasi-kan staf
4.3.4 Menggunakan pendekatan
10
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
persuasif untuk mengkoordinasikan staf
4.3.5 Berinisiatif dalam pertemuan
4.3.6 Meningkatkan keefektifan kerja
4.3.7 Mengakomodasi ide-ide staf
4.3.8 Menjabarkan kebijakan organisasi
4.4.1 Memberi arahan kerja
4.4.2 Memotivasi staf
4.4 Mengembangkan staf
4.4.3 Memberdayakan staf
4.5.1 Mengidentifikasi masalah
4.5.2 Merumuskan masalah
4.5.3 Menentukan tindakan yang tepat
4.5.4 Memperhitungkan resiko
4.5 Mengambil keputusan
4.5.5 Mengambil keputusan partisipatif
4.6.1 Menciptakan hubungan kerja harmonis
4.6.2 Melakukan komunikasi interaktif
4.6 Menciptakan iklim kerja kondusif
4.6.3 Menghargai pendapat rekan kerja
4.7.1 Memberdayakan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dana, dan sumber daya alam
4.7 Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
4.7.2 Mengadministrasikan aset organisasi berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dana, dan sumber daya alam
4.8.1 Memantau pekerjaan staf
4.8.2 Menilai proses dan hasil kerja
4.8.3 Memberikan umpan balik
4.8 Membina staf
4.8.4 Melaporkan hasil pembinaan
4.9 Mengelola konflik
4.9.1 Mengidentifikasi sumber konflik
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
4.9.2 Mengidentifikasi alternatif penyelesaian
4.9.3 Menggali pendapat-pendapat
4.9.4 Memilih alternatif terbaik
4.10.1 Mengkoordinasikan penyusunan laporan
4.10 Menyusun laporan
4.10.2 Mengendalikan penyusunan laporan
2. Pelaksana Urusan
Kompetensi kepribadian, sosial, dan teknis pelaksana urusan adalah sebagai berikut.
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik
1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya
1.1.3 Berperilaku jujur
1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia
1.1.4 Menunjukkan komitmen terhadap tugas
1.2.1 Mengikuti prosedur kerja
1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu
1.2.3 Bertindak secara tepat
1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan
1.2.5 Meningkatkan kinerja
1.2 Memiliki etos kerja
1.2.6 Melakukan evaluasi diri
1.3.1 Mengendalikan emosi
1.3.2 Bersikap tenang
1.3.3 Mengendalikan stres
1. Kompetensi Kepribadian
1.3 Mengendalikan diri
1.3.4 Berpikir positif
11
12
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.4.1 Memahami diri sendiri
1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri
1.4.3 Bertanggung jawab
1.4 Memiliki rasa percaya diri
1.4.4 Belajar dari kesalahan
1.5.1 Mengupayakan keterbukaan
1.5.2 Menghargai pendapat orang lain
1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain
1.5 Memiliki fleksibilitas
1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain
1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya
1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas
1.6 Memiliki ketelitian
1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja
1.7.1 Mengatur waktu
1.7.2 Mentaati peraturan yang berlaku
1.7 Memiliki kedisiplinan
1.7.3 Mentaati peraturan asas yang berlaku
1.8.1 Berpikir alternatif
1.8.2 Kaya ide/gagasan baru
1.8.3 Memanfaatkan peluang
1.8.4 Mengikuti perkembangan ipteks
1.8 Kreatif dan inovatif
1.8.5 Melakukan perubahan
1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan
1.9.2 Berani mengambil resiko
1.9 Memiliki tanggung jawab
1.9.3 Tidak melimpahkan kesa-lahan kepada pihak lain
2.1.1 Berpartisipasi dalam kelompok
2. Kompetensi Sosial
2.1 Bekerja sama dalam tim
2.1.2 Menghargai pendapat
13
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
orang lain
2.1.3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan
2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar
2.2.3 Berempati kepada pelanggan
2.2.4 Berpenampilan prima
2.2.5 Menepati janji
2.2.6 Bersikap ramah dan sopan
2.2.7 Mudah dihubungi
2.2 Memberikan layanan prima
2.2.8 Komunikatif
2.3.1 Memahami struktur organisasi Sekolah/madrasah
2.3.2 Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif
2.3.3 Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota
2.3.4 Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi
2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi
2.3.5 Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah
2.4.1 Menjadi pendengar yang baik
2.4.2 Memahami pesan orang lain
2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas
2.4 Berkomunikasi efektif
2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal
2.5.1 Melakukan hubungan kerja yang harmonis
2.5 Membangun hubungan kerja
2.5.2 Memposisikan diri sesuai dengan peranannya
14
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
2.5.3 Memelihara hubungan internal dan eksternal
Pelaksana Urusan Kepegawaian
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.1.1 Memahami pokok-pokok peraturan kepegawaian berdasarkan standar pendidik dan tenaga kependidikan
3.1.2 Membantu merencanakan kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan
3.1.3 Melaksanakan prosedur dan mekanisme kepegawaian
3.1.4 Mengelola buku induk, administrasi Daftar Urut Kepangkatan (DUK)
3.1.5 Melaksanakan registrasi dan kearsipan kepegawaian
3.1.6 Menyiapkan format- format kepegawaian
3.1.7 Memproses kepangkatan, mutasi, dan promosi pegawai
3.1 Mengadminis-trasikan kepegawaian
3.1.8 Menyusun laporan kepegawaian
3.2.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik kepegawaian
3.2.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan kepegawaian
3.2 Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.2.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kepegawaian
3. Kompetensi Teknis
Pelaksana Urusan Administrasi Keuangan
15
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.3.1 Membantu menghitung biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal
3.3 Mengadministrasikan keuangan sekolah/madra-sah
3.3.2 Membantu pimpinan mengatur arus dana
3.4.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik keuangan
3.4.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan keuangan
3.4 Menggunakan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.4.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan keuangan
Pelaksana Urusan Administrasi Sarana dan Prasarana
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.5.1 Mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana
3.5.2 Membantu merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana
3.5.3 Mengadakan sarana dan prasarana
3.5.4 Menginventarisasikan sarana dan prasarana
3.5.5 Mendistribusikan sarana dan prasarana
3.5.6 Memelihara sarana dan prasarana
3.5.7 Melaksanakan penghapusan sarana dan prasarana
3.5 Mengadministra-sikan standar sarana dan prasarana
3.5.8 Menyusun laporan sarana dan prasarana secara berkala
3.6.1 Menyusun dan menyajikan data/statistik sarana dan prasarana
3.6 Menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.6.2 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan
16
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
sarana dan prasarana
3.6.3 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan sarana dan prasarana
Pelaksana Urusan Administrasi Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.7.1 Memfasilitasi kelancaran kegiatan komite sekolah/madrasah
3.7.2 Membantu merencanakan program keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholders)
3.7.3 Membina kerja sama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat
3.7.4 Mempromosikan sekolah/madrasah
3.7.5 Mengkoordinasikan penelusuran tamatan
3.7 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat
3.7.6 Melayani tamu sekolah/madrasah
3.8.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan hubungan sekolah dengan masyarakat
3.8 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.8.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan hubungan sekolah dengan masyarakat
Pelaksana Urusan Administrasi Persuratan dan Pengarsipan
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.9.1 Menerapkan peraturan kesekretariatan
3.9 Melaksanakan administrasi persuratan dan
3.9.2 Melaksanakan program
17
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
kesekretariatan
3.9.3 Mengelola surat masuk dan keluar
3.9.4 Membuat konsep surat
3.9.5 Melaksanakan kearsipan sekolah/madrasah
3.9.6 Menyusutkan surat/dokumen
pengarsipan
3.9.7 Menyusun laporan administrasi persuratan dan pengarsipan
3.10.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi persuratan dan pengarsipan
3.10 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.10.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan persuratan dan pengarsipan
Pelaksana Urusan Administrasi Kesiswaan
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.11.1 Membantu kegiatan penerimaan peserta didik baru
3.11.2 Membantu kegiatan masa orientasi
3.11.3 Membantu mengatur rasio peserta didik per kelas
3.11.4 Mendokumentasikan prestasi akademik dan nonakademik
3.11.5 Membuat data statistik peserta didik
3.11.6 Menginventarisir program kerja pembinaan peserta didik secara berkala
3.11.7 Mendokumentasikan program kerja kesiswaan
3.11 Mengadministrasikan standar pengelolaan yang berkaitan dengan peserta didik
3.11.8 Mendokumentasikan program pengembangan diri
18
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.12.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi kesiswaan
3.12 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.12.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan urusan kesiswaan
Pelaksana Urusan Administrasi Kurikulum
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.13.1 Mendokumentasikan standar isi
3.13.2 Mendokumentasikan kurikulum yang berlaku
3.13 Mengadministra-sikan standar isi
3.13.3 Mendokumentasikan silabus
3.14.1 Menyiapkan format silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan penilaian hasil belajar
3.14 Mengadministra-sikan standar proses
3.14.2 Menyiapkan perangkat pengawasan proses pembelajaran
3.15.1 Mendokumentasikan bahan ujian/ulangan
3.15 Mengadministra-sikan standar penilaian
3.15.2 Mendokumentasikan penilaian hasil belajar oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah
3.16.1 Mendokumentasikan standar kompetensi lulusan satuan pendidikan
3.16.2 Mendokumentasikan standar kompetensi lulusan mata pelajaran
3.16 Mengadministra-sikan standar kompetensi lulusan
3.16.3 Mendokumentasikan
19
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
kriteria ketuntasan minimal
3.17.1 Membantu memfasilitasi pelaksanaan kurikulum dan silabus
3.17.2 Mendokumentasikan pemetaan kompetensi dasar tiap mata pelajaran per semester
3.17.3 Mendokumentasikan kurikulum, silabus, dan RPP
3.17.4 Mendokumentasikan Daftar Kumpulan Nilai (DKN) atau leger
3.17.5 Membantu menyusun grafik daya serap ketuntasan belajar per mata pelajaran
3.17 Mengadministra-sikan kurikulum dan silabus
3.17.6 Menyusun daftar buku-buku wajib
3.18.1 Membuat layanan sistem informasi dan pelaporan administrasi kurikulum
3.18 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.18.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kurikulum
Pelaksana Urusan Administrasi Umum SD/MI/SDLB
SD/MI/SDLB yang memiliki maksimal 6 (enam) rombongan belajar tidak perlu Kepala Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah, melainkan Pelaksana Urusan Administrasi Umum Sekolah/Madrasah, dengan kompetensi teknis sebagai berikut.
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.19.1 Melaksanakan administrasi kepegawaian
3.19.2 Melaksanakan administrasi keuangan
3.19 Melaksanakan administrasi sekolah/madra-sah
3.19.3 Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana
20
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.19.4 Melaksanakan administrasi hubungan sekolah dengan masyarakat
3.19.5 Melaksanakan administrasi persuratan dan pengarsipan
3.19.6 Melaksanakan administrasi kesiswaan
3.19.7 Melaksanakan administrasi kurikulum
3.20.1 Mengoperasikan peralatan kantor/komputer
3.20 Menguasai penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
3.20.2 Memanfaatkan TIK untuk mengadministrasikan kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, persuratan dan pengarsipan, kesiswaan, dan kurikulum
3. Petugas Layanan Khusus
Kompetensi kepribadian, sosial, dan teknis petugas layanan khusus adalah sebagai berikut.
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.1.1 Berperilaku sesuai dengan kode etik
1.1.2 Bertindak konsisten dengan nilai dan keyakinannya
1.1.3 Berperilaku jujur
1.1 Memiliki integritas dan akhlak mulia
1.1.4 Menunjukan komitmen terhadap tugas
1.2.1 Mengikuti prosedur kerja
1.2.2 Mengupayakan hasil kerja yang bermutu
1. Kompetensi Kepribadian
1.2 Memiliki etos kerja
1.2.3 Bertindak secara tepat
21
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.2.4 Fokus pada tugas yang diberikan
1.2.5 Meningkatkan kinerja
1.2.6 Melakukan evaluasi diri
1.3.1 Mengendalikan emosi
1.3.2 Bersikap tenang
1.3.3 Mengendalikan stres
1.3 Mengendalikan diri
1.3.4 Berpikir positif
1.4.1 Memahami diri sendiri
1.4.2 Mempercayai kemampuan sendiri
1.4.3 Bertanggung jawab
1.4 Memiliki rasa percaya diri
1.4.4 Belajar dari kesalahan
1.5.1 Mengupayakan keterbukaan
1.5.2 Menghargai pendapat orang lain
1.5.3 Menerima diri sendiri dan orang lain
1.5 Memiliki fleksibilitas
1.5.4 Menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain
1.6.1 Melaksanakan kaidah-kaidah yang terkait dengan tugasnya
1.6.2 Memperhatikan kejelasan tugas
1.6 Memiliki ketelitian
1.6.3 Menyelesaikan tugas sesuai pedoman kerja
1.7.1 Mengatur waktu
1.7.2 Menaati aturan yang berlaku
1.7 Memiliki kedisiplinan
1.7.3 Menaati asas yang berlaku
1.8.1 Berpikir alternatif
1.8.2 Kaya ide/gagasan baru
1.8.3 Memanfaatkan peluang
1.8.4 Mengikuti perkembangan Ipteks
1.8 Kreatif dan inovatif
1.8.5 Melakukan perubahan
22
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
1.9.1 Melaksanakan tugas sesuai aturan
1.9.2 Berani mengambil resiko
1.9 Memiliki tanggung jawab
1.9.3 Tidak melimpahkan kesalahan kepada pihak lain
2.1.1 Berpartisipasi dalam kelompok
2.1.2 Menghargai pendapat orang lain
2.1 Bekerja sama dalam tim
2.1.3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
2.2.1 Memberikan kemudahan layanan kepada pelanggan
2.2.2 Menerapkan layanan sesuai dengan prosedur operasi standar
2.2.3 Berempati kepada pelanggan
2.2.4 Berpenampilan prima
2.2.5 Menepati janji
2.2.6 Bersikap ramah dan sopan
2.2.7 Mudah dihubungi
2.2 Memberikan layanan prima
2.2.8 Komunikatif
2.3.1 Memahami struktur organisasi sekolah/madrasah
2.3.2 Mewujudkan iklim dan budaya organisasi yang kondusif
2.3.3 Menghargai dan menerima perbedaan antar anggota
2.3.4 Memiliki tanggungjawab mencapai tujuan organisasi
2. Kompetensi Sosial
2.3 Memiliki kesadaran berorganisasi
2.3.5 Mengaktifkan diri dalam organisasi profesi tenaga administrasi sekolah/madrasah
23
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
2.4.1 Menjadi pendengar yang baik
2.4.2 Memahami pesan orang lain
2.4.3 Menyampaikan pesan dengan jelas
2.4 Berkomunikasi efektif
2.4.4 Memahami bahasa verbal dan nonverbal
2.5.1 Melakukan hubungan kerja yang harmonis
2.5.2 Memposisikan diri sesuai dengan peranannya
2.5 Membangun hubungan kerja
2.5.3 Memelihara hubungan internal dan eksternal
Penjaga Sekolah/Madrasah
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.1.1 Mengenal peta wilayah sekolah/madrasah dengan baik
3.1 Menguasai kondisi keamanan sekolah/madra-sah
3.1.2 Memanfaatkan peta wilayah sekolah/madrasah untuk kepentingan keamanan sekolah/madrasah
3.2.1 Menguasai teknik bela diri
3.2 Menguasai teknik pengamanan sekolah/madra-sah
3.2.2 Merespons peristiwa dengan cepat dan tepat
3.3.1 Membuat dokumen/catatan tentang keamanan sekolah/madrasah
3.3.2 Melakukan tindakan pengamanan
3.3.3 Menggunakan peralatan keamanan
3. Kompetensi Teknis
3.3 Menerapkan prosedur operasi standar pengamanan sekolah/madra-sah
3.3.4 Menyampaikan laporan sesuai tugasnya
24
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
Tukang Kebun
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.4.1 Menggunakan peralatan pertanian dan atau perkebunan
3.4 Menguasai penggunaan peralatan pertanian dan atau perkebunan
3.4.2 Merawat peralatan pertanian dan atau perkebunan
3.5.1 Mengenal teknik penanaman
3.5 Menguasai pemeliharaan tanaman
3.5.2 Merawat tanaman
Tenaga Kebersihan
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.6.1 Menggunakan peralatan kebersihan
3.6 Menguasai teknik-teknik kebersihan
3.6.2 Memelihara peralatan kebersihan
3.7.1 Mewujudkan kebersihan sekolah/madrasah
3.7 Menjaga kebersihan sekolah/madra-sah
3.7.2 Memelihara kebersihan sekolah/madrasah
Pengemudi
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.8.1 Mengemudikan kendaraan
3.8.2 Mematuhi aturan lalu lintas
3.8 Menguasai teknik mengemudi
3.8.3 Memahami dan menggunakan peta
3.9.1 Merawat kendaraan
3.9 Menguasai teknik perawatan kendaraan
3.9.2 Mengurus kelengkapan dokumen kendaraan
Pesuruh
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
3.10 Mengenal
3.10.1 Mengenal peta wilayah
25
DIMENSI KOMPETENSI
KOMPETENSI
SUB-KOMPETENSI
setempat
wilayah
3.10.2 Memanfaatkan peta wilayah untuk kepentingan penyampaian dokumen
3.11.1 Mengenal buku ekspedisi/lembar pengantar
3.11 Menguasai prosedur pengiriman dokumen dinas
3.11.2 Menggunakan buku ekspedisi/lembar pengantar dalam pengiriman dokumen
3.12.1 Membayar tagihan telepon, air, dan listrik
3.12.2 Menyiapkan kebutuhan rumah tangga sekolah/madrasah
3.12 Melayani kebutuhan rumah tangga sekolah/madra-sah
3.12.3 Merawat peralatan rumah tangga sekolah/madrasah
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendikan Nasional
Kepala Bagian Punyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan
Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tatakerja
Kementrian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
2
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor
0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006, Nomor
0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei, dan Nomor
0225/BSNP/V/2006 tanggal 10 Mei 2006;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN UNTUK
SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan
kelulusan peserta didik.
(2) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan
menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran,
dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
(3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2003
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2006

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 2006
TENTANG
STANDAR ISI
UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat
(3), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2),
dan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang
Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementrian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
2
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
Memperhatikan : Surat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor
0141/BSNP/III/2006 tanggal 13 Maret 2006 dan Nomor
0212/BSNP/V/2006 tanggal 2 Mei;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN
PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.
Pasal 1
(1) Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang
selanjutnya disebut Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan
tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan
minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
(2) Standar Isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2006
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007
TENTANG
STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH (SD/MI),
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH
(SMP/MTs), DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar
Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 62 Tahun 2005;
4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG STANDAR SARANA DAN PRASARANA
UNTUK SEKOLAH DASAR/MADRASAH
IBTIDAIYAH (SD/MI), SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH (SMP/MTs),
DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH
ALIYAH (SMA/MA).
Pasal 1
(1) Standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah (SD/MI), sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah (SMP/MTs), dan sekolah menengah atas/madrasah
aliyah (SMA/MA) mencakup kriteria minimum sarana dan kriteria
minimum prasarana.
(2) Standar Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen
dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 (seribu) jiwa dan
yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak
tempuh 3 (tiga) kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak
membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
3
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional.
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I.
Muslikh, S.H.
NIP.131479478


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,


Menimbang : bahwa dalam rangka mengendalikan mutu hasil pendidikan
sesuai standar nasional pendidikan yang dikembangkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Standar
Penilaian Pendidikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional;

Mengingat : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);

2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M PERATURAN


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,


Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4496);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK
INDONESIA TENTANG STANDAR PENGELOLAAN
PENDIDIKAN OLEH SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN
MENENGAH.
.
Pasal 1
(1) Setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pengelolaan pendidikan
yang berlaku secara nasional
(2) Standar pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2007
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya.
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan
Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478